Redana melangkah mendekati pagar samping rumah Mario. Ia lalu naik ke pondasi pagar dan kepalanya muncul di atas pagar besi yang membuat Caca semakin terbatuk-batuk. Redana tersenyum begitu manis dan menyapa Caca, “Halo kawan lama.”
Caca memukul-mukul dadanya sendiri masih terbatuk-batuk dengan sudut mata yang sudah berair. “Elo.”
“Yes. I am Redana Vantoga, your bestie Claris.” Redana melambaikan tangannya dengan senyum yang merekah.
Caca masih terbatuk-batuk, namun kali ini sambil menangis tersedu-sedu. Rasanya sedih dan senang secara bersamaan. Akhirnya ia bertemu Redana lagi. Sesuai apa yang Redana ucap tadi, Caca dan dia memang berteman dekat. Sejak kecil selain Qeenan, Caca juga berteman dengan Redana Vantoga.
Keluarga Vantoga ini lebih menguasai hal-hal yang berbau api, panas dan merah. Asal mula keluarga ini tidak banyak yang tahu, karena keluarga Vantoga lebih tertutup dan tidak memiliki banyak keturunan. Redana saja hanya satu-satunya cucu yang Milan Vantoga miliki, Milan ini Kakek Redana yang juga berteman dengan Kakek Tanbarch. Konon katanya, jika Keluarga Vantoga ada yang mati mereka akan hilang dengan sendirinya dari dunia ini dengan cara membakar diri dari api yang keluar sendiri dari tubuh mereka.
Keluarga Vantoga merupakan keluarga elite yang garang dan tidak terlalu peduli dengan keluarga-keluarga lainnya. Mereka bisa irit bicara atau tidak menanggapi perkataan orang lain kalau mereka memang tak suka dengan orang itu. Tapi, berbanding terbalik dengan orang yang mereka suka, mereka akan mencurahkan semua tenaga mereka untuk mengomel dan bercerita panjang lebar. Tapi, satu hal yang membuat Caca suka dengan keluarga Vantoga yaitu mereka selalu setia dibalik sikap acuh tak acuh yang mereka punya.
Jadi waktu itu sekitar lima tahun yang lalu, Caca dan keluarganya liburan bersama dengan Redana sekeluarga ke rumah singgah yang Keluarga Vantoga miliki di paling Utara benua Eropa. Lucunya saat itu Caca beserta ke enam Kakak laki-lakinya dan dua orang tua mereka dan juga Kakek Tan seperti pemiliki asli rumah itu karena saking ramainya keluarga mereka berbanding terbalik dengan Redana yang terhitung hanya berempat dengan Kakek Milan dan dua orang tuanya.
Tragis, liburan itu tidak sesuai dengan ekspektasi yang akan menyenangkan. Awalnya Caca dan Redana pergi berdua ke belakang rumah untuk membuat boneka salju yang besar. Jarak mereka dengan rumah cukup jauh, sebab halaman belakang rumah itu tak dipagari sama sekali, jadi Caca dan Redana mencari gundukan salju yang lebih banyak disana. Lalu kedua gadis itu mulai sibuk bermain dan tidak menyadari ada kawanan orang jahat yang mengintai mereka.
Kawanan itu merupakan penjahat kelas kakap yang mencuri dan menghabisi nyawa tawanannya.
Karena asyik bermain dengan membuat bola-bola salju berukuran besar, Caca dan Redana tak merasakan kehadiran dua orang kawanan itu yang mendekat ke arah mereka.
Dalam sekali gerak, mereka berdua sudah tertangkap. Caca langsung berteriak kencang dan meronta-ronta. Redana pun tidak kalah, ia menendang-nendang ke segela arah dan menyikut kuat wajah salah satu kawanan yang menangkapnya dan berhasil lepas. Ia segera membantu Caca dan menarik gadis itu untuk segera berlari.
Karena mereka bukan mahkluk biasa, tingkat kecepatan mereka berlari sangat mengesankan meskipun di atas salju sekalipun. Kawanan itu pun berteriak dan mencoba mengejar, namun nihil karena mereka selalu terperosok ke dalam salju tebal dan tertinggal jauh.
Akhirnya Caca dan Redana sampai juga di belakang rumah. Mereka langsung masuk dan membuka pintu belakang yang langsung terhubung ke dapur. Membuat Kalen yang merupakan Kakak laki-laki Caca nomor tiga terkejut bukan main. Ia sedang membuat mie instant di sana.
Dengan napas ngos-ngosan, Caca dan Redana menceritakan apa yang terjadi pada Kalen. Situasi bertambah serius saat Hansfa Kakak kedua Caca bergabung di dapur.
Karena Hansfa selalu berkelana ke ujung dunia, ke tempat-tempat yang ekstrem dan jarang berpenghuni, ia tahu betul dengan kawanan penjahat itu.
Mereka merupakan mantan perompak dan mengupgrade kemampuan mereka untuk bisa mencuri juga di daratan. Dengan bentuk fisik besar-besar dan wajah yang sangar, mereka sudah banyak membuat nyawa orang-orang melayang dan barang-barang yang telah dicuri bisa mencapai puluhan juta dolar. Karena waktu itu mereka sempat masuk koran kota karena telah berhasil mencuri uang di bank sentral metropolitan dengan meninggalkan nyawa dua orang pegawai bank yang melayang sia-sia.
Mereka tidak pernah berhasil di tangkap, karena kawanan mereka bisa mencapai seratus orang lebih. Namanya juga dulu perompak di lautan dengan kapal besar yang tentu saja harus memiliki puluhan anak buah kapal. Dan seiring berjalannya waktu kawanan mereka bertambah, baik itu orang-orang yang memang terniat bergabung dan orang-orang yang telah putus asa hidup karena ditindas terus menerus di dunia yang keras ini dan berubah menjadi bagian dari kawanan itu.
Seketika itu juga mereka langsung mengadakan rapat darurat di dapur. Seluruh anggota keluarga Tanbarch dan Vontaga memenuhi dapur dan mendengar kembali apa yang baru saja menimpa Caca dan Redana serta cerita dari Hansfa tentang siapa sebenarnya kawanan itu.
Setelah berunding dan opsi masuk kalau mereka semua harus bergegas pergi dan jangan sampai meninggalkan jejak di sini. Karena berbahaya kalau sampai pertempuran terjadi dan akan memakan korban jiwa. Dan semua orang setuju untuk segera berkemas.
Namun, setelah satu jam dari Caca dan Redana yang berhasil lepas dari tangkapan kawanan itu, dari luar rumah terdengar suara tembakan tiga kali. Caca mengintip dari jendela kamarnya di lantai dua, ia sedang bersama Mamanya merapikan baju ke dalam koper besar. Di luar kawanan itu sudah mengepung mereka. Caca bergidig ngeri dan langsung menutup gorden jendela dan gemetar ketakutan.
Situasi di dalam rumah berubah genting. Semuanya ketakutan dan bingung harus berbuat apa. Karena menurut hukum di dunia mereka tidak boleh menggunakan kekuatan terhadap manusia meskipun dalam situasi genting sekalipun. Karna saat itu struktural pemimpin kekuatan baru saja dibentuk dan pemimpin mereka tidak bijaksana sama sekali dalam mengendalikan dunia mereka yang terlalu besar.
Mereka semua lalu berkumpul di ruang tengah. Caca yang menangis langsung memeluk Rafa dan ke lima kakak laki-laki Caca juga saling berpelukan. Para orang tua mulai berdiskusi secara cepat. Sedangkan Redana terduduk sendiri dengan pandangan lurus menatap ke balik gorden yang tertutup.
Dari pandangan Redana, ia bisa melihat jelas kawanan itu sedang berdiskusi dengan benda kotak di tengah-tengah mereka. Agaknya di dalam kotak itu ada senjata. Dan benar saja, saat salah satu kawanan itu Membuka gembok besar yang mengunci kotak tersebut, ia mengeluarkan dua buah senjata api dan satu granat lempar. Redana menelan saliva gugup karnanya, dan rasa-rasanya aliran api yang ada di tubuhnya bereaksi.
Ia lalu melirik Caca yang tampak pucat pasi di pelukan Rafa. Ia mendekat dan duduk di samping Caca.
"Caca," panggilnya seraya menarik tangan Caca untuk ia genggam.
Seketika rasa hangat menjalar dan Caca merasakan kenyamanan dari genggaman Redana.
"Caca nanti kita main lagi, ya. Tunggu aku," ujarnya lagi lalu berdiri dan duduk ke tempat semula.
Waktu itu, Caca kira omongan Redana tidak bermaksud apa-apa. Ia kembali meringkuk di dalam pelukan Rafa dan memejamkan matanya.
Sekian menit bergulir begitu lambat, Redana berjuang sendiri menahan rasa panas dari dalam tubuhnya. Hingga ia tak sanggup dan berlari mendekati Mamanya. Mereka saling pandang dan seakan mengerti, Mama Redana pun mengajukan opsi lain. Yaitu membakar rumah ini. Keluarga Tanbarch tentunya harus pergi melewati portal sebelum rumah sepenuhnya terbakar. Itu opsi berbahaya, tapi tak ada jalan pilihan lain saat terdengar suara granat di lempar ke teras depan dan meledak menimbulkan asap serta kaca jendela yang pecah.
Mau tak mau semuanya setuju. Ayah Caca lalu membuat portal besar dengan kesiur angin dan cahaya putih di sekelilingnya, portal setinggi orang dewasa itu terbentuk. Kakak laki-laki Caca bergegas masuk, mulai dari Rafa hingga Rafka yang menggenggam tangan Caca untuk ikut serta masuk ke dalam portal. Namun, Caca melepaskan genggamannya saat Redana mengeluarkan api dari tubuhnya.
Dari buku yang pernah Caca baca, kalau keluarga Vontaga itu mati dan dengan membakar dirinya sendiri sebagai tanda kalau dirinya sudah tiada. Dan di dalam pikiran Caca, Redana sudah mati dan pergi meninggalkan dirinya. Gadis itu terisak dan menolak masuk ke dalam portal. Ia tidak mau ditinggal begitu saja oleh temannya yang sudah berjanji akan bermain lagi dengannya nanti.
Caca berontak tapi tetap dipaksa masuk ke dalam portal. Mamanya langsung memeluk ia erat dan Caca tidak bisa lagi melihat Redana saat seluruh tubuh gadis itu dipenuhi api yang mulai menjalar ke karpet rumah. Caca yang berada di dalam pelukan Mamanya didorong masuk portal dan itu terakhir kali Caca melihat Redana.
Dan tentu saja saat pertama kali bertemu lagi dengan Redana, Caca pangling tak terkira.
Redana lalu melompati pagar untuk memeluk Caca, mebuat Mario terpekik karna terkejut dengan tingkah gadis itu.
Caca masih membeku dan tidak membalas pelukan Redana meskipun ia sudah menangis tanpa suara sejak tadi.
"Eh lo gak kangen sama gue?" Redana protes dan melepaskan pelukannya.
"Ini beneran Redana yang itu? Yang waktu itu kita bikin orang-orangan salju di belakang rumah lo yang segede istana itu?"
Redana mengangguk.
"Bu.. bukannya lo kebakar ya?" Caca berujar pelan dan menganga menatap Redana.
Redana berdecak pelan. Ia lalu membuka tangannya dan seketika itu juga api keluar begitu saja menyelimuto tangan Redana dan menghilang begitu saja dengan kulit Redana yang sama sekali tak terbakar.
Caca menganga takjub, sedangkan Mario berteriak kencang dan berlari masuk ke dalam rumahnya meninggalkan suara bantingan pintu.
Redana mengernyit pelan, "Tu cowok lucu ya, kagetnya baru sekarang, padahal dari tadi gue udah ngomong kalau gue ini bukan manusia kayak dia."
Caca terkekeh geli. "Manusia zaman sekarang tuh kebanyakan emang sok berani, tapi dikasih liat langsung begimana cara kerja kita baru deh lari ketakutan."
Caca mendekat lalu menyentuh telapak tangan Redana yang mengeluarkan api tadi. "Bener-bener gak kebar. Asli ini gila. Lo belajat debus dimana?" Kemudian tergelak saat mendapati wajah kesal Redana.
"Aaaaa akhirnya kita ketemu lagi!!!" Caca lalu melompat-lompat kegirangan sembari memeluk erat Redana.
Gadis dengan helaian rambut merah yang sesekali muncul saat rambutnya bergoyang itu hanya berdecak pelan, namun tetap mengikuti Caca dan melompat-lompat berdua seraya berpelukan merayakan pertemuan mereka lagi sembari tertawa.
**
Qeenan memelankan mobilnya saat Ia akan berkelok masuk ke area apartemen Zeon. Malam ini ia ingin menginap di sana. Rasanya kepalanya mau pecah saat ia sudah berhasil memunculkan satu kalimat di buku sejarah itu. Ia ingin bantuan Zeon, siapa tahu cowok itu bisa memunculkan tulisan di satu halaman tersebut.
Dan juga sekalian ia memastikan kalau Zeon ini ialah salah satu teman bermainnya dulu di kastil Moran saat mereka masih kecil. Dan memberitahu juga tentang buku sejarah ini serta beberapa hal tentang keluarga Larasfa yang ia tahu dari hasil mencuri dengar di kastil Moran. Serta jangan lupa dengan sosok dingin yang menemui Caca di sekolah tadi.
Qeenan memarkirkan mobilnya di area parkir bawah tanah apartemen, dan menaiki lift menuju lantai delapan dimana tempat tinggal Zeon berada.
Setelah denting lift berbunyi dan pintu besi itu terbuka Qeenan keluar dan berjalan menuju pintu dengan nomor 808. Ia melangkah santai awalnya namun saat berada di depan pintu 808, Qeenan ragu untuk menekan bel.
Rasanya ada sesuatu yang menunggunya di dalam sana, ia merasa tidak enak dan mulai was-was. Apa Zeon baik-baik saja? Atau sesuatu itu sudah melakukan hal jahat pada Zeon lalu tetap di sana dan menunggunya datang untuk melakukan hal yang sama padanya?
Itu terlalu overthinking, tapi jujur saja Qeenan selalu percaya dengan instingnya. Ia lalu menekan bel dengan perasaan was-was yang masih kentara.
Suara langkah kaki terdengar mendekat, lalu pintu pun terbuka muncul kepala Zeon yang menatap Qeenan bingung.
"Loh kok lo bisa ada di sini?"
Qeenan berdecak pelan. "Zen stop pura-pura gak kenal sama gue."
Zeon mematung sebentar dan menghitung di dalam hati, satu.. dua.. tiga.. kemudian ia tergelak lepas dan menarik Qeenan ke dalam seraya memeluk cowok itu.
"Yeay akhirnya gue bebas dari p********n Kakek lo!!" Zeon berteriak senang setelah melepas pelukannya dari Qeenan. Ia lalu menunjukkan jari manisnya dimana cincin hitam itu dulu tersemat di sana. "Liat kan cincinnya udah gak ada lagi."
Qeenan melihat dan menarik jari manis tangan kiri Zeon ke depan wajah seraya memutarnya beberapa kali. Ia takjub karna cincin itu sudah tak ada di sana dan tak ada juga jejak bekas memakai cincin. Setahunya cincin itu amat penting untuk anak buah Moran jikalau mereka kabur atau hilang saat sedang menjalankan perintah.
"Wah gila. Keren banget. Gimana caranya lo bisa lepas dari cincin itu?" Qeenan mengerjap-ngerjapkan mata penasaran. Karna yang ia tahu cincin itu semacam bukti konkrit kalau Zeon adalah orang suruhan Moran. Dan dengan terbebasnya Zeon dari belenggu cincin itu, maka terbebas pula cowok itu dari Moran.
"Selamat akhirnya temen gue bisa bebas." Kini gantian Qeenan yang memeluk Zeon. Ia tentu saja bahagia dengan berhasilnya Zeon lepas dari kungkungan Moran, kakeknya sendiri.
"Teman?" Tiba-tiba ada suara yang menginterupsi kebahagian mereka.
Zeon dan Qeenan kompak menoleh dengan ekspresi berbeda dari raut wajah mereka. Zeon tersenyum senang sedangkan Qeenan mengernyitkan kening lalu kemudian mengigil ketakutan.
Ia tanpa sadar mencengkram lengan Zeon kuat dan mundur selangkah ke belakang.
Zeon yang tak tahu apa-apa malah membawa Qeenan untuk mendekat ke Lana. Ia ingin memperkenalkan kedua orang itu. Tapi, ia sama sekali tak paham situasi tegang yang sedang terjadi.
Meskipun Lana tersenyum dengan wajah yang tampan itu dibaliknya ia ingin segera menyerang Qeenan, setidaknya memberi satu pukulan saja di wajah.
Lana sebenarnya hanya dendam pada Moran, namun ia tidak bisa membalaskan dendamnya langsung kepada Moran. Ia tahu kalau apa yang akan ia lakukan benar-benar pengecut, tapi sungguh kisah-kisah lama itu lebih membuatnya seperti pengecut.
Dan saat Zeon sudah membawa Qeenan tepat berdiri di hadapan Lana. Dengan segera, Lana mengarahkan tangannya ke leher Qeenan dan mendorong cowok itu beberapa meter ke belakang sampai membentur pintu dengan keras. Secepat angin semua itu terjadi, sampai Zeon perlu beberapa detik untuk menyadari situasi.
Ia langsung berlari dan menarik lengan Lana agar melepaskan cengkramannya di leher Qeenan. Di situ, Qeenan sudah Terbatuk-batuk dan pucat pasi.
"Bang, lepasin Qeenan. Dia temen gue Bang." Zeon masih berusaha menarik lengan Lana yang hanya sia-sia saja ia lakukan, sebab bagai dahan kayu yang paling kokoh, lengan Lana begitu kuat dengan urat-urat yang timbul di sepanjang ototnya.
Qeenan semakin pucat, tangannya terjatuh lunglai begitu saja di samping tubuhnya dan matanya mulai terpejam.
"QEENAN!"
**