Bagian 2

2033 Kata
Mama Rama, memutar ulang cctv yang menunjukkan pergerakkan dari Khai. Ia tersenyum miring melihat interaksi antara Khai dan asisten rumah tangga baru yang ia pekerjakan. Dari interaksi yang mereka tunjukkan, Khai terlihat sangat menyukai wanita itu. Wanita paruh baya tersebut sangat tau dengan jelas jika Khai akan melakukan apa nantinya. Khai pasti akan terus mendekati wanita tersebut hingga wanita tersebut bisa ia miliki. Mama Rama mematikan layar monitor yang ada di depannya. Mungkin sudah saatnya ia melakukan tugasnya. Menyingkirkan semua hal yang menurutnya menganggu. Ia tidak ingin ada satu orang pun yang menganggu rencananya. Mama Rama mengambil tas jinjingnya. Ia sedikit merapikan rambutnya, setelah itu ia berjalan keluar dari ruangan tersebut dan berjalan menuju rumah yang ditemati oleh Khai. Ia memang tidak perlu untuk mengganti pakaian atau berdandan dengan cantk. Pasalnya penampilannya di rumah sehari-hari sudah sangat modis dan anggun. Tidak butuh lama untuk sampai di rumah Khai. Hanya dengan lima belas menit menggunakan mobil, mama Rama sudah sampai di rumah tersebut. Rumah yang sangat jauh berbeda dengan rumah yang ia tempati. Wanita ini kadang merasa kasihan dengan Khai yang hanya tinggal sendiri di rumah ini tanpa keluarga. Ia sebenarnya sangat ingin membawa Khai untuk masuk ke dalam rumah utama dan membuat Khai merasa di cintai. Tetapi ia tidak bisa melakukan hal tersebut. Setiap kali hati nuraninya timbul, ia kembali teringat dengan mama kandungnya Khai. Wanita cantik dan pintar itu mampu membuatnya hancur dalam semalam. Ketika wanita itu datang menunjukkan perut besarnya, membuat semua dunia dan rumah tangga mama Rama hancur seketika. Ia masih sangat ingat dengan jelas betapa wanita itu berlutut dan meminta maaf kepadanya. Ia memang tidak bisa menyalahkan wanita tersebut karena suaminya juga salah di masalah itu. Tetapi mamanya Khai tetap menjadi penghancur rumah tangganya. Mamanya Rama menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau kembali mengingat masa kelam itu. Ia pun melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah ini. "Nyonya Risma." Seorang pelayan paruh baya menunduk hormat kepadanya. Mama Rama mengedarkan pandangannya untuk mencari wanita muda yang sudah berhasil mencuri perhatian dari Khai. Tetapi dia sama sekali tidak menemukan wanita tersebut. Mama Rama-Risma, berjalan menuju tangga untuk menemui Khai. Ia yakin Khai sedang ada di kamarnya sekarang. Langkahnya kakinya yang perlahan menjadi cepat membuat beberapa pelayan yang sudah lama tinggal di sini hanya bisa diam. Mereka tau jika nyonya mereka itu akan melampiaskan emosinya kepada Khai. Ketika Risma sudah sampai di depan pintu kamar Khai, dia dengan sigap langsung membuka pintu tersebut tanpa mengetuk terlebih dahulu. Dan betapa terkejutnya ia melihat Khai bersama dengan pelayan muda tersebut yang sedang duduk saling berbicara. Khai dan Tasya dengan cepat langsung berdiri ketika melihat Risma sudah ada di kamarnya. Raut wajah mereka terlihat sangat gugup sekaligus takut. Apalagi ketika melihat tatapan tajam dari Risma. Perlahan, Risma berjalan mendekati Tasnya ia tersenyum sinis melihat wajah Tasya. "Siapa nama mu?" Tanya Risma dengan nada yang mengintimidasi. "T-Tasya Nyonya," Jawab Tasya dengan terbata. Ia bahkan sudah menundukkan kepalanya. Dia sangat takut melihat tatapan mata Nyonya nya ini. "Saya tidak tau kalau pelayan rendahan seperti kamu ini berani untuk menggoda tuannya." "Ma.." Khai tidak suka jika mama tirinya itu mengatakan hal tersebut. Ia tidak suka jika ada yang merendahkan orang lain di depan dirinya. "Kamu sudah mulai melawan dengan saya? Hanya karena wanita rendahan ini, Khai?!" Suara Risma sudah naik satu oktaf. Khai menghela napas panjang. Ia lelah dengan semua drama yang diciptakan oleh mama tirinya ini. Khai dengan berani menatap balik mama tirinya. "Anda tidak berhak untuk ikut campur dengan urusan pribadi saya!" Teriak Khai di depan wajah mama tirinya. Tasya sampai terkejut mendengar perkataan Khai. Akhirnya suara nyaring itu terdengar. Suara nyaring itu menggema di ruang kamar Khai. Satu tamparan mendarat di pipi Tasya. Khai sangat terkejut melihat apa yang dilakukan oleh mama tirinya itu. Air mata Tasya perlahan menetes tanpa bisa ia cegah. Ia merasakan perih yang sangat di pipi kanannya ini. Ia tidak bisa melawan ataupun membantah apa yag dikatakan dan diperbuat oleh Risma. Ia tidak ingin kehilangan pekerjaannya di rumah ini. "Karena kamu, Khai berani membentak saya. Karena membela wanita seperti kamu." Risma berusaha untuk meredakan emosinya. Kali ini ia benar-benar terkejut. Anak yang sudah ia kenal lama dan yang selalu menuruti dirinya berani untuk membentaknya. "Sekarang kamu keluar." Perintah Risma kepada Tasya. Dengan cepat Tasya langsung berjalan keluar dari kamar Khai dan meninggalkan ibu dan anak itu. Risma memegang kuat rahang Khai dan melayangkan tatapan mematikan kepada Khai. Khai hanya bisa diam mendapatkan perlakuan seperti itu. Pasalnya ini bukan kali pertama ia mendapatkan perlakuan seperti itu. Jadi Khai sudah sangat terbiasa dengan hal tersebut. "Kamu saya pertahankan di sini karena saya masih merasa kasihan kepada kamu. Tapi ini balasan kamu sama saya?! Berani kamu melawan sama saya." Risma melepaskan tangannya dari rahang Khai. Ia mencoba untuk meredakan emosinya. Sedangkan Khai ia hanya bisa menundukkan kepalanya. Ia tidak berani untuk menatap mama tirinya ini lagi. Ia tau jika mamanya tirinya ini sedang emosi, ia tidak akan segan-segan untuk melakukan apapun untuk melampiaskan emosinya itu. Pandangan Risma beralih ke sebuah buku yang ada di meja belajar di dekatnya. Ia langsung melangkah menuju meja belajar tersebut dan mengambil buku komik yang ada di atas meja. Emosinya kembali memuncak ketika melihat komik tersebut. Ia mengangkat komik tersebut dan menunjukkannya kepada Khai. "Kamu baca ini?" Pertanyaan singkat itu terdengar sangat menyeramkan untuk Khai. Tatapan tajam dari Risma serta suara Risma yang tegas membuat nyali Khai semakin menurun. "Iya.. Saya baca buku itu," Jawab Khai. Ia tidak bisa bohong jika memang dialah yang membacanya. Lagian jika bukan dia, siapa lagi yang membaca buku itu. "Pertama kamu melakukan kesalahan dengan berhubungan dengan wanita itu dan sekaran kamu sudah mulai berani terang-terangan membaca buku ini?!" "Buku itu pemberian dari Rama," Tutur Khai. Ia tau jika seharusnya ia tidak boleh mengatakan hal itu. Sama saja ia akan melibatkan Rama nantinya. Khai tau jika Rama juga akan mendapatkan amukan dari mamanya ini. Tetapi ia yakin jika amukan yang mama tirinya ini berikan kepada Rama akan lebih manusiawi ketimbang amarah Risma dengannya. Risma menghela napas panjang mendengar penuturan Khai. Ia pun meletakkan buku yang ia pegang kembali ke atas meja. Mungkin kali ini ia tidak akan memperpanjang masalah buku ini. "Saya akan lupakan masalah buku ini. Tapi saya tidak akan melupakan masalah perempuan itu," Putus Risma. Ia tidak mau Khai menjadi semakin pembangkang dengan adanya wanita yang dapat mempengaruhi dirinya di usia yang masih labil ini. Setelah mengatakan hal tersebut, Risma berjalan pergi meninggalkan kamar Khai. Khai langsung bernapas lega setelah kepergian mama tirinya itu. Mungkin ini adalah hari yang buruk bagi Khai, karena mama tirinya datang ke rumahnya ini. Ia tidak tau bagaimana nasib Tasya nantinya. Risma berjalan menuju ke arah dapur dengan sikap tegas dan mengintimidasi itu. Semua asisten rumah tangga yang ada di rumah ini sudah berdiri dengan pandangan yang menunduk. Mereka mendengar kegaduhan dari kamar Khai. Apalagi ketika mereka melihhat Tasya, pelayan baru yang keluar dengan pipi merah serta air mata yang menetes. Mereka sangat yakin telah terjadi sesuatu yang membuat Risma marah. Langkah Risma berhenti tepat di depan Tasya yang masih meneteskan air matanya. Tasya hanya bisa menundukkan wajahnya. Ia tidak berani menatap Risma. "Pelayan ini.. pecat dia dan ganti dengan pelayan baru!" Tunjuk Risma kepada Tasya. Suara lantang Risma membuat semua pelayan yang ada di ruangan ini seketika terkejut. Tidak ada yang berani membuka suaranya. Tasya berusaha untuk menahan isakan tangisnya. Ia tidak mau terlihat lemah di depan Risma. Biarpun dia sudah terlihat lemah tadi. "Saya tidak mau melihat wanita ini di rumah ini lagi. Ini adalah pertemuan terakhir saya dengan dia," Sambung Risma lagi. Setelah mengatakan itu, Risma kembali melanjutkan jalannya keluar dari rumah ini. Suara heals nya terdengar sangat tegas. Setelah sepeninggalan Risma, Tasya langsung terduduk dengan lemas di lantai. Ia tidak dapat lagi menahan air mata dan juga kekesalannya. Ia sangat kesal karena merasa tidak adil dengan semua ini. Semua pelayan langsung mendekati Tasya. Mereka mencoba untuk menenangkan Tasya. Keputusan yang Risma buat pasti tida dapat untuk di ganggu gugat lagi. Mereka sama-sama tau tentang hal itu. "Sudah lah.. Kamu harus banyak sabar," Ucap beberapa teman sejawat Tasya. Tasya sama sekali tidak merespon ucapan mereka. Semua yang terjadi berusan seperti mimpi untuknya. Ia sangat membutuhkan pekerjaan di tempat ini. Gaji nya yang cukup besar membuat Tasya sangat berat meninggalkan rumah ini. Tasya mencoba untuk menengka dirinya. Ia menghapus air matanya dengan kasar dan berdiri dari duduknya. Ia menatap para teman sejawatnya yang memandangnya dengan wajah penuh kasihan. "Saya baik-baik saja. Terimakasih atas kerja sama yang telah kita lalui bersama," Tutur Tasya mencoba untuk tegar. Setelah mengatakan itu, Tasnya berjalan menuju kamarnya. Ia akan menyusun semua barang-barangnya dan segera pergi dari rumah ini. Ia tau ia tidak akan dibutuhkan lagi di rumah ini. Dan sebentar lagi, kamarnya ini akan ditempati oleh pelayan yang baru. Sesampainya di dalam kamar, tanpa pikir panjang Tasya langsung mengambil kopernya dan memasukkan semua barang-barangnya di dala koper. Baru setengah jalan, ia menghentikan kegiatannya. Air matanya kembali jatuh. Baru berjalan dua minnggu dia bekerja di rumah ini dan sekarang ia akan keluar dari rumah ini. Tasya menggelengkan kepalanya. Ia tidak boleh lemah seperti ini. Ia segera melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda tadi. Setelah selesai dengan membereskan barang-barangnya, Tasya bangkit dan menggeret kopernya. Tetapi langkahnya berhenti ketika seorang pelayan senior masuk ke dalam kamarnya dengan senyuman iba. Wanita paruh baya tersebut mendekati Tasya dan memegang lengan Tasya dengan lembut. Ia tau bagaimana rasanya di pecat dengan tidak adil seperti ini. "Maaf.. saya telah mengecewakan ibu," Ucap Tasya. Ia tau jika banyak orang-orang yang ada di dekatnya, yang selama ini mendukungnya di rumah ini kecewa dengannya. Bagaimana pun juga, ia ikut salah di situasi ini. Kalau saja ia tidak berduaan di kamar bersama dengan tuan mudanya itu, kejadian ini pasti tidak akan terjadi. "Kamu tidak salah.. wajar saja jika kamu tertarik dengan Tuan Khai. Hanya saja kita semua tau jika Nyonya Risma sedikit sensitif dengan semua hal yang berkaitan dengan tuan Khai." Tasya menganggukkan kepalanya. Ia sangat yakin jika Nyonya rumah ini memang memiliki sesuatu hal yang membuatnya selalu menyalahkan Khai. "Tapi kamu tenang aja. Nyonya tidak sepenuhnya jahat. Dia memberikan gaji mu sebelum kamu keluar dari rumah ini," Wanita paruh baya itu mengeluarkan sebuah amplop coklat dari kantong bajunya. Ia memberikan kepada Tasya amplop tersebut. Tasya pun menerima ampolop tersebut. Ia membuka amplop tersebut dan seketika matanya melebar. "Ini.. bukankah terlalu banyak untuk saya?" Tanya Tasya. Ia sangat yakin jika yang ada di dalam amplop ini, lebih dari gajinya satu bulan. "Kata Nyonya, ia lebihkan untuk kamu berobat. Pipi kamu masih terlihat sangat merah. Terima aja, Tasya.. Kamu bisa mempergunakan uang itu selama kamu belum mendapatkan pekerjaan," Tutur wanita tersebut dengan lembut. Tasya menganganggukkan kepalanya. Ia pun menyimpan amplop tersebut di dalam tas sandangnya. "Terimakasih.. kalau begitu saya pamit." Tasya pun kembali melanjutkan jalannya. Ia keluar dari kamarnya dan berjalan melewati ruang makan. Suasana di ruang makan sudah sepi. Mungkin semua orang kembali bekerja di tempatnya. Tasya hanya bisa tersenyum miris. Ini adalah kali terakhir ia akan menginjakkan kakinya di rumah ini. Dan mungkin ini kali terakhir ia akan melihat wajah Khai lagi. Langkah berat Tasya perlahan telah keluar dari rumah sederhana ini. Ia sekali lagi melihat rumah yang sudah ia tempat beberapa minggu ini. "Terimakasih dan selamat tinggal," Ucap Tasya sambil menatap ke arah kamar Khai yang terlihat kosong. Ia sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan Khai selama ini. Tasya saja yang hanya melakukan kesalahan kecil bisa sampai diperlakukan seperti ini. Apalagi dengan Khai. Khai yang selalu hidup di kekang oleh orang tuanya. Tasya yakin jika suatu hari nanti, Khai pasti akan mendapatkan kebebasannya sendiri. Ia yakin jika Khai sebentar lagi akan keluar dari semua kesengsaraannya. Ia banyak belajar dari pria muda yang membuatnya merasa bahagia tinggal di rumah ini. Di dalam lubuk hati Tasya, ia sangat berharap bisa bertemu kembali dengan Khai di luar rumah ini. Biarpun ia tau jika kemungkinan ia bertemu kembali dengan Khai sangat rendah. Ia pun kembali berjalan dan kali ini benar-benar pergi keluar dari pekarangan rumah. Tasya berjalan mencari sebuah taksi yang bisa membawanya pulang ke rumahnya. Rumah yang ia rindukan. Rumah di mana seorang adik menunggunya pulang. Tasya mungkin akan mengecewakan adiknya karena telah dipecat dari pekerjaan ini. Tetapi akan akan berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak lagi untuk menghidupkan mereka berdua kedepannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN