Bab 3. Kunjungan Tak Terduga

1990 Kata
Aurora berdiri di depan pintu ruang dekan dengan perasaan campur aduk. Jantungnya berdebar cepat tanpa alasan jelas. Panggilan ini terasa aneh. Bukankah biasanya urusan mahasiswa baru ditangani langsung oleh bagian tata usaha? Kenapa harus dipanggil ke ruang dekan? Ada sesuatu yang tidak beres, pikirnya. Ia mengetuk pintu pelan. Ruangan itu terbuka, menampilkan sebuah interior yang jauh lebih mewah daripada bayangannya. Ruang tamu luas dengan sofa empuk, karpet tebal, dan aroma wangi bunga segar memenuhi udara. Dari sana, tampak beberapa pintu lain berjejer dengan nama dekan masing-masing tertera di atasnya. “Selamat siang.” Aurora melangkah masuk, suaranya terdengar hati-hati. “Saya Aurora. Saya mendapat panggilan untuk datang ke sini.” Seorang wanita cantik di balik meja langsung menoleh. Wajahnya nyaris sempurna: riasan tipis tapi menawan, bibir merah yang dilapisi lipstik glossy, dan rambut bergelombang tergerai rapi. Di depan mejanya tertera nama Ziela Artica. Tatapan Ziela menelusuri Aurora dari kepala sampai kaki, lama, seolah menimbang setiap detail dari gadis itu. Aurora refleks ikut menunduk, melirik pakaiannya sendiri. Dress sederhana warna pastel, jaket tipis, dan sepatu sneakers. Apa yang salah? Kenapa rasanya seperti sedang dihakimi dengan mata saja? “Kau ditunggu Pak Matthew di ruang itu.” Ziela menunjuk salah satu pintu di sudut ruangan. Nada suaranya datar, tapi matanya menyiratkan sesuatu—antara heran dan tidak percaya. Aurora menghela napas. Hatinya langsung merosot. Tentu saja… siapa lagi kalau bukan pria itu? “Miss,” Aurora menoleh dengan wajah serius. “Tolong katakan pada Bapak Matthew yang terhormat, kalau saya sibuk. Permisi.” Ucapan itu membuat Ziela nyaris tersedak ludahnya sendiri. Matanya melebar kaget. Selama ia bekerja di sini, belum pernah sekalipun ia melihat ada orang berani menolak bertemu Matthew Emmanuel. Nama besar itu saja sudah cukup membuat banyak orang rela mengantri berjam-jam, apalagi bila bisa bertemu langsung. Ziela sendiri masih merasakan degup jantungnya tak karuan sejak pria itu masuk tadi. Matthew Emmanuel—keturunan langsung keluarga penguasa EM Corp., salah satu pria terkaya di dunia. Dari dekat, pesonanya lebih berbahaya daripada foto-foto yang ia lihat di majalah. Ziela sampai merasa tubuhnya lumpuh seketika, nyaris terseret pada hipnotis alami dari pria itu. Namun di depan matanya, seorang gadis biasa saja, mahasiswa baru, menolak mentah-mentah bertemu dengannya. Ziela hampir tidak percaya apa yang barusan ia dengar. Aurora sudah hendak keluar ketika sebuah suara bariton, rendah dan seksi, terdengar dari belakang. Suara itu begitu khas, membuat bulu kuduknya langsung meremang. “Menghindariku, eh?” Aurora menutup matanya erat, menghela napas panjang. Sial. Ia bisa mengenali suara itu bahkan dalam tidurnya. Dengan berat hati, ia berbalik. “Pak Matthew yang terhormat,” ucapnya dengan intonasi jelas, penuh sarkasme. “Saya yakin Anda sangat sibuk. Jadi, Anda tidak perlu sampai mengunjungi saya ke kampus hanya untuk hal sepele.” Matthew berdiri tak jauh dari pintu. Senyum tipis menghiasi bibirnya, sebelah alis terangkat, tatapannya penuh tantangan. “Aku hanya ingin bertemu dengan istr—” Aurora langsung melangkah cepat, meraih pergelangan tangan Matthew, dan menyeretnya masuk ke ruang tunggu khusus di balik pintu. Begitu mereka masuk, ia menutup pintu rapat-rapat lalu memutarnya kunci dengan gemetar. Gadis itu berbalik, berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang, matanya menyala marah. “Apa sebenarnya yang kau lakukan di sini?!” serunya, suaranya nyaris berbisik namun penuh ledakan emosi. Matthew menjatuhkan tubuhnya santai ke sofa, kaki panjangnya disilangkan, seolah ruangan itu miliknya. “Sudah kukatakan, aku hanya ingin bertemu istriku.” Aurora nyaris melemparkan vas bunga ke kepalanya. “Ya Tuhan… kita tinggal serumah, Matt! Kau tidak bosan melihat wajahku setiap hari?!” Nada jengkelnya membuat udara di ruangan semakin panas. Ia tahu betul, jika ada orang lain mengetahui status mereka, nyawanya bisa terancam. Ia tidak ingin namanya muncul di headline gosip murahan, apalagi menjadi target orang-orang yang iri atau marah. “Ah…” Matthew menyandarkan punggung, senyum miring muncul di wajahnya. “Jadi itu artinya kau bosan melihatku?” “Ya!” jawab Aurora cepat tanpa ragu. “Jadi pergilah! Cari kesibukan lain, temui klienmu, pacarmu, siapa pun—asal jangan pernah menggangguku di kampus. Aku tidak ingin ada yang tahu kalau aku sudah menikah, apalagi menikah denganmu!” Matthew mencondongkan tubuh sedikit, matanya menatap Aurora dalam-dalam. “Dan… apa alasanmu menyembunyikannya?” Aurora mengusap wajahnya kasar. “Alasannya? Karena kalau mereka tahu aku istrimu, besok aku mungkin sudah ditemukan di tempat sampah. Mati. PUAS?” Matthew justru tergelak. Tawa rendahnya bergema di ruangan itu, membuat Aurora semakin naik darah. Sebelum ia sempat protes, Matthew menarik pergelangan tangannya dengan sekali gerakan. Tubuh mungil Aurora jatuh ke pangkuannya. Gadis itu terlonjak kaget, matanya membelalak. Pria itu menunduk, jemarinya memainkan anak rambut Aurora yang terurai, bibirnya nyaris menyentuh telinga istrinya. “Kalau ada yang berani menyakitimu…” bisiknya pelan, namun penuh ancaman, “aku akan menemukannya, dan membuatnya menyesal pernah dilahirkan. Mengerti, Love?” Aurora menahan napas. Sentuhan itu membuat tubuhnya tegang, namun ia tak berdaya. Matthew mengecup leher putihnya singkat. Aurora refleks mencengkeram jas pria itu erat, menahan desahan yang hampir lolos dari bibirnya. Matthew tersenyum kecil, lalu menahan tengkuk Aurora dengan lembut. Ia mengecup bibir istrinya sebentar, lumatan ringan tanpa gairah, hanya sekadar sentuhan—namun cukup membuat jantung Aurora berdegup dua kali lipat. “Baiklah,” ujarnya setelah melepaskannya. “Aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi di kampus ini.” Aurora buru-buru berdiri, wajahnya memerah. “Good!” sahutnya cepat, menutupi kegugupannya. Matthew tertawa pelan. Ia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah kartu berwarna emas, meletakkannya di meja. “Ini kartu identitasmu, sekaligus kartu kantin. Gold edition. Hanya segelintir orang yang memilikinya.” Aurora menatap kartu itu dengan alis terangkat. Namanya terukir rapi di permukaan emas. “Kenapa warnanya berbeda? Aku ingin seperti yang lain.” Matthew tersenyum congkak. “Karena kau istriku. Istri dari pewaris tunggal EM Corp.” Aurora berdecak sebal. “Itu justru akan mempersulitku. Kalau mereka bertanya, aku harus jawab apa?” “Tidak ada tawar-menawar, Love. Sama seperti pernikahan kita.” Aurora malas berdebat. Ia meraih kartu itu dan memasukkannya ke dalam dompet. Matthew, dengan cepat, meraih dompetnya, membukanya tanpa izin. “Kaya sekali istriku,” sindirnya saat melihat hanya ada beberapa koin receh di dalamnya. “Tidak usah menghina! Kembalikan dompetku.” Aurora berusaha merebutnya, tapi Matthew terlalu kuat. Pria itu malah mengeluarkan beberapa lembar uang seratus dolar, lalu memasukkannya ke dalam dompet Aurora. “Setidaknya jangan biarkan dompetmu kosong. Itu memalukan untuk ukuran istriku.” Ia menambahkan sebuah black card yang bisa membeli hotel sekalipun, lalu mengembalikan dompet itu dengan santai. “Dan kau bahkan tidak menyimpan fotoku di dalamnya.” Aurora mendengus. “Aku memang tidak ingin ada yang tahu kalau kau suamiku.” Matthew mendekat sedikit, tatapannya menusuk. “Kau ingin mencari pacar baru?” Aurora menatap balik tanpa gentar. “Aku bukan tipe orang yang tidak setia.” Matthew tersenyum samar, puas. “Bagus.” Ia berdiri, merapikan jasnya. “Oh, by the way, nanti aku makan siang dengan Rose.” Aurora membeku. “Rose?” gumamnya, otaknya cepat bekerja. Nama itu familiar. Ia mengingat komentar di i********:—Rose_M. Hatinya mencelos. “Dia kekasihku sebelum aku menikah denganmu.” Aurora tersenyum tipis, pura-pura santai. “Yayaya. Pergilah.” Ia melambaikan tangannya, seolah mengusir anjing liar yang mengganggu. Matthew nyaris tak percaya. Wanita lain pasti akan melarang, cemburu, atau marah. Tapi Aurora? Ia justru acuh tak acuh. Pria itu menahan langkah Aurora sebelum keluar, tubuhnya menghadang pintu. “Apa lagi?” Aurora menatapnya polos, meski ada kegelisahan di matanya. Matthew menunduk, suaranya rendah, berbisik tepat di telinganya. “Kalau saja kita sedang di rumah, aku pasti sudah menidurimu sekarang, Love.” Aurora merinding hebat. Bisikan itu seperti racun manis yang berbahaya. Ia buru-buru menjauh, wajahnya panas, jantungnya kacau. Ia tahu, pria itu bukan tipe yang suci—Matthew pasti sudah tidur dengan banyak wanita. Tapi mendengar kata-kata itu langsung darinya membuat tubuh Aurora bergetar tanpa kendali. “Cih!” dengusnya, lalu ia menghentakkan kakinya dan keluar dari ruangan, mencoba mengusir sisa sensasi yang ditinggalkan Matthew. Namun langkahnya terasa goyah. Dalam hati, Aurora mengutuk dirinya sendiri karena masih bisa merasakan degupan itu… hanya dari satu ciuman singkat. * Matt tiba tepat pukul setengah satu siang, langkahnya mantap, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Begitu ia masuk ke ruang VIP, pandangannya langsung menangkap sosok yang sudah lama tidak ditemuinya. Rose, dengan gaun merah elegan yang membalut tubuhnya, duduk sendirian di meja bundar. Ia tampak gelisah, namun begitu melihat Matt, wajahnya langsung berbinar. “Matt!” serunya, nyaris tak percaya, sebelum beranjak cepat dari kursinya. Tanpa menunggu, ia langsung merangkul pria itu, memeluknya seolah takut pria itu akan lenyap jika ia melepaskannya. “I miss you so much, Matt…” suaranya bergetar, penuh kerinduan yang dipendam lama. Matt berdiri kaku sejenak, membiarkan dirinya dipeluk, sebelum akhirnya Rose perlahan menarik diri dan mencoba menyambungkan bibirnya ke bibir pria itu. Namun gerakan itu tertahan. Jari manis Matt terangkat, menempel di bibir Rose, menghentikan langkahnya. Dan di sana, berkilau cincin pernikahan di jarinya—sebuah tanda yang berbicara lebih keras daripada kata-kata. Mata Rose membesar, sementara suara Matt terdengar rendah, nyaris dingin. “Aku tidak ingin karirku hancur, Rose. Kau tahu sendiri aku sudah menikah. Aku tidak sebebas dulu lagi.” Rose menelan ludah, hatinya perih. “Aku berharap… kalian cepat bercerai. Aku ingin kita melanjutkan kisah kita, Matt.” Pria itu tidak menjawab dengan kata-kata, hanya tersenyum samar, senyum yang selalu sulit ditebak artinya. Ia lalu menekan tombol kecil di meja kaca. Sesaat kemudian, pelayan berseragam hitam datang dengan gerakan penuh hormat. Begitu melihat siapa yang duduk di sana, ia menunduk dalam. “Menu favoritmu masih sama?” tanya Matt pelan pada Rose, seakan ingin mengalihkan pembicaraan. Rose hanya bisa mengangguk, hatinya campur aduk. Tanpa bertanya lagi, Matt menyebutkan pesanan: steak medium rare untuk Rose, salad dengan dressing lemon, segelas jus delima. Semua sesuai dengan apa yang biasa disukai Rose. Selama setahun hubungan mereka, Matt hafal betul selera wanita itu. Setelah pelayan pergi, Rose menyandarkan dagunya di punggung tangannya, menatap Matt dengan mata sayu. “Ah, bahkan untuk mencium bibirmu pun sekarang aku tak bisa,” keluhnya manja, meski air mata hampir jatuh. “Aku sakit hati… sementara kau bisa melakukan apa saja dengan istrimu.” Matt mengangkat alis, tatapannya tenang namun dalam. “Benarkah?” Ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya terdengar menusuk. “Kalau begitu… lupakan aku, Rose. Carilah pria lain.” Wajah Rose berubah panik seketika. “Tidak akan!” serunya, cepat dan tegas. “Aku rela menunggumu selama satu tahun, Matt. Kau pikir aku tidak bisa? Aku sudah melakukannya, dan aku bisa melakukannya lagi.” Matt hanya tersenyum tipis. Senyuman yang selalu membuat siapa pun sulit menebak isi kepalanya. Rose mengenalnya sebagai pria lembut, penuh perhatian, dan selalu hangat saat bersamanya. Namun apa yang tidak ia sadari adalah, wajah Matt di depannya hanyalah satu sisi dari dirinya. Matt adalah pria yang pandai memainkan peran. Ia tahu kapan harus tersenyum, kapan harus diam, kapan harus bersikap ramah, dan kapan harus menebar ketakutan. Bagi Matt, hidup adalah permainan strategi. Jika ia tidak memanipulasi, maka ia yang akan dimanipulasi. Kini, melihat Rose yang begitu mudah terbuka di depannya, Matt hanya bisa menatap tanpa ekspresi berarti. “Mulai sekarang,” ucapnya pelan namun tegas, “sebaiknya kita berhenti. Tidak ada lagi pertemuan rahasia, tidak ada lagi pesan di tengah malam. Aku tidak bisa membiarkan namaku hancur dan jadi incaran musuh hanya karena… ini.” Rose tercekat, kedua tangannya mengepal di pangkuannya. “Matt…” suaranya lirih, hampir berbisik. Ia ingin melawan, ingin memaksa, tapi tatapan mata Matt membuatnya lumpuh. Keheningan menyelimuti ruangan VIP itu sejenak. Pelayan masuk membawa hidangan, aroma daging panggang memenuhi udara, namun keduanya bahkan tidak melirik makanan itu. Akhirnya, Rose menunduk, menerima kenyataan meski hatinya memberontak. “Hm…” suaranya gemetar. “Kalau begitu… aku akan menunggumu. Selama apa pun. Aku akan tetap menunggumu, Matt.” Matt tidak menanggapi. Ia hanya menyunggingkan senyum samar—senyum yang tidak pernah bisa ditebak, bahkan oleh Rose yang sudah setahun bersamanya. Dan di balik senyum itu, hanya Matt sendiri yang tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. -TBC-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN