Bab 4. “Ya, Bukan Urusanmu”

1646 Kata
Aurora menjatuhkan tubuhnya ke sofa empuk ruang keluarga begitu pulang kuliah. Rasanya betisnya sudah bukan lagi miliknya sendiri. Hari pertama kuliah di EM Universitas benar-benar seperti marathon tiga putaran plus sprint 100 meter, pikirnya sambil mengerang pelan. Ia memutuskan bangkit ke dapur, mengambil segelas air dingin, dan begitu meneguknya, ia terdiam melihat betapa banyak pilihan makanan yang sudah tersaji di meja panjang berlapis marmer putih. “Apa aku pulang ke rumah atau ke hotel bintang tujuh?” gumamnya. “Nyonya sudah pulang,” suara para pelayan menyapanya sopan. Aurora menoleh, lalu tersenyum sambil melambaikan tangan seadanya. Ia duduk, mengambil sendok, lalu mulai menyantap hidangan dengan lahap, bahkan tanpa peduli pada cara makan yang biasanya ia jaga di depan orang asing. Suara langkah kaki berat terdengar memasuki ruang makan. Aurora tak perlu menoleh untuk tahu siapa—aroma parfum maskulin itu saja sudah cukup. Matthew berdiri di ambang pintu, alisnya terangkat melihat istrinya makan begitu lahap. “Apa kau tidak makan siang di kampus?” tanyanya. Aurora meneguk airnya lalu menoleh santai, meski suaranya ketus. “Apa kau pikir aku bisa makan tenang, sementara suamiku sedang romantis lunch sama kekasihnya?” Sudut bibir Matt terangkat, tatapannya penuh tantangan. “Ah, ternyata kau cemburu.” Aurora mengangkat garpu seperti pedang mainan. “Cemburu? Aku? Tidak ada kata itu di kamusku. Yang ada cuma sial, dan kenapa aku menikah dengan om-om kaya kerja rodi.” Matt menahan tawa, lalu menyuruh pelayan menyiapkan makanannya juga. Aurora menatap tidak percaya. “Kau mau makan lagi? Apa kau punya perut cadangan?” “Aku tidak tega membiarkan istriku makan sendirian, setelah sebelumnya aku menemani kekasihku. Itu terlalu kejam.” Matt duduk dengan elegan, nada suaranya seolah menggoda tanpa beban. “Dan jika kau takut aku gendut, tenang saja. Aku tetap akan terlihat tampan di sebelahmu.” Aurora mendengus, lalu menunduk melanjutkan makannya. “Percaya dirimu itu bisa bikin patung singa di luar rumah pindah tempat, tahu.” Ia makan semakin lahap, bahkan sampai saus menyelip di sudut bibirnya. Matt mencondongkan tubuh, menyeka bekas saus dengan jari lalu tisu. “Belepotan. Kau seperti anak kecil.” Aurora menatapnya sambil mengunyah. “Tentu saja aku anak kecil. Usia kita saja beda hampir dua belas tahun. Kau tiga puluh tiga, aku dua puluh satu. Jadi jangan salahkan aku kalau suatu hari aku minta uang jajan tambahan atau minta dibacakan dongeng sebelum tidur, Papa.” Matt mengangkat alis, tidak bisa menahan senyum samar. “Bagaimana kalau kita berkompromi?” “Kompromi?” Aurora meneguk air lalu menyandarkan dagunya di telapak tangan. “Tidakkah cukup hanya pernikahan kita yang sudah jadi kompromi raksasa?” “Tidak.” Tatapan Matt serius, wajahnya mendekat sedikit. “Aku akan menjalani pernikahan ini dengan sungguh-sungguh. Aku ingin jadi suami yang sebenarnya. Dan kau, Aurora, harus jadi istri yang sebenarnya.” Aurora mendelik, lalu bersandar malas di kursinya. “Aku tidak percaya kata-kata pria yang baru saja makan siang dengan kekasihnya. Kau tahu apa artinya? Itu sama saja seperti orang bilang aku diet sambil ngemil donat sepuluh biji.” Matt mendengus lalu menyentil dahinya, membuat Aurora meringis sambil mengelus kepalanya. “Masih saja kau membahas itu. Aku sudah memutuskan hubunganku dengannya. Selama setahun ini aku akan bersamamu, jadi kau pun harus menjadi istriku yang sesungguhnya.” “Istri yang sesungguhnya?” Aurora mengedip cepat, suaranya meninggi dramatis. “Tolong jangan bilang itu termasuk tidur denganmu! Karena kalau iya, aku akan segera move out ke sofa ruang tamu dan adopsi kucing saja!” Matt mengangguk tenang, seakan tidak terguncang sama sekali. “Benar. Itu termasuk di dalamnya.” Aurora langsung memekik pelan. “Astaga, dasar predator bersetelan jas! Tidak! Sama sekali tidak!” “Kau harus mau. Bukankah kita menikah untuk membahagiakan keluarga kita?” Aurora mendesah panjang, menatap suaminya dengan wajah putus asa. “Mencari kesempatan dalam kesempitan, benar-benar spesialisasimu, Tuan Emmanuel. Kalau saja aku tahu begini, aku lebih baik kuliah saja di kutub utara, ditemani beruang es. Mereka mungkin lebih sopan.” Matt terkekeh pelan, lalu menyandarkan tubuhnya santai. “Mulai besok aku akan mengantarmu ke kampus. Aku ingin semua orang tahu kalau kau adalah istriku.” Aurora melotot, nyaris tersedak minumannya. “Kau bercanda? Kau mau bikin aku jadi selebritas dadakan? Hari pertama saja aku sudah hampir dikira putri raja, apalagi kalau kau yang mengantar. Mahasiswa lain bisa-bisa mendirikan tenda depan kelas buat nonton drama rumah tangga kita!” Matt hanya tersenyum puas, sementara Aurora menggerutu panjang, bibirnya cemberut tapi hatinya diam-diam berdebar. * Aurora baru saja menyelesaikan ritual mandinya dengan memakai bathrobe sementara rambutnya ia gulung ke dalam sebuah handuk, karena baru saja dicuci akibat rasa gerah yang menyiksanya sepanjang hari. Ia keluar dari kamar mandi dengan langkah ringan namun matanya segera menangkap sosok suaminya, Matthew, yang duduk di atas kasur sambil membaca sesuatu di iPad dengan kacamata berbingkai tipis bertengger di hidungnya. Pria itu tampak begitu serius, seolah tidak ada hal lain di dunia ini yang bisa mengganggunya. Aurora hanya melirik sebentar lalu memilih melewatinya tanpa suara. Ia melangkah ke ruangan khusus di kamar mereka, ruangan yang masih terasa asing baginya meski sudah seminggu ia tempati. Ruangan itu sungguh seperti butik pribadi—dinding-dindingnya dipenuhi lemari kaca, rak sepatu berjejer, dan lampu-lampu lembut yang membuat segala sesuatu tampak lebih berkilau. Semua pakaiannya—dari gaun pesta, pakaian rumah, hingga gaun tidur—tersusun rapi seolah ia seorang putri yang tinggal di istana modern. Aurora meraih salah satu gaun tidur berwarna pink soft bertali tipis. Ia tersenyum miris ketika membaca brand dan harga yang tertera. Jumlahnya di luar nalar untuk sekadar pakaian tidur. Ia menggunting label harga kecil itu, lalu mengenakannya tanpa rasa bersalah. “Buat apa aku tahu harganya? Ujung-ujungnya juga aku pakai cuma untuk tidur,” gumamnya pelan sambil memutar bola matanya. Ia lalu berjalan ke rak sepatu yang tersusun lengkap—dari heels glamor hingga sandal rumah paling sederhana. Kemarin ia bahkan tidak menyadari keberadaan ruangan ini, apalagi isi yang nyaris tak terhitung. Aurora menghela napas panjang. “Kapan dia sempat menyiapkan semua ini? Atau jangan-jangan, aku cuma boneka pajangan di rumah ini?” batinnya getir. Tepat di samping rak itu, sebuah lemari kaca berisi jam-jam tangan wanita terpampang mencolok. Semuanya mewah, berkilau, dan tentu saja berharga lebih mahal daripada tabungan hidup Aurora. Ia mendekat, menempelkan jarinya ke kaca. “Kalau aku menjual satu saja, mungkin bisa bayar iuran kedokteran sampai semester akhir,” bisiknya sambil terkekeh kecil. Ia kembali ke kamar dengan gaun tidurnya, masih menemukan Matthew dalam posisi yang sama, fokus pada layar iPad-nya. Aurora lalu duduk di depan meja rias, memulai rutinitas malamnya—memakai skincare, melembapkan tangan dan kaki, lalu mengeringkan rambut dengan hairdryer. Aroma minyak wangi favoritnya menyebar ketika ia menepukkan sedikit ke nadi dan lehernya. Kebiasaan ini sudah ia lakukan sejak SMA, bahkan sebelum menikah. Ia percaya aroma wangi bisa memperbaiki mood, meski hatinya sedang kalut. Setelah selesai, ia duduk di ranjang dan meraih ponselnya. Beberapa pesan dari teman-temannya di kampus lama masuk, membicarakan gosip dosen dan keluhan tugas. Aurora tersenyum kecil. Lalu matanya berhenti pada pesan dari Gabby—sahabat baiknya. “Besok nonton yuk, setelah kuliah. Aku butuh hiburan.” Aurora langsung mengetik “Oke! Aku ikut,” dengan semangat. Setidaknya, ia masih punya alasan untuk keluar rumah tanpa merasa terkurung. Gerakan di sampingnya membuat Aurora menoleh. Matthew menutup iPad dan meletakkannya di nakas, kemudian melepas kacamata radiasi yang selalu ia kenakan. Pria itu memang disiplin dalam menjaga kesehatan. Dengan langkah tenang, ia menuju kamar mandi. Beberapa menit kemudian, Aurora melihat Matthew keluar dengan rambut basah yang baru dikeringkan handuk. Wajahnya tampak segar, meski tetap menyimpan aura dingin. Aurora kembali fokus pada ponselnya, membuka i********:. Ia tertawa kecil menonton video-video kocak yang lewat di beranda. Kadang ia menutupi mulutnya agar tawanya tidak terlalu terdengar, takut Matthew mengomentarinya lagi. “Tidur, Aurora,” suara Matthew tiba-tiba terdengar. Pria itu sudah naik ke ranjang, menepuk bantalnya. “Besok kau kuliah. Jangan bermain ponsel terlalu lama, itu merusak matamu.” Aurora mendengus. “Persis seperti orang tuaku,” gumamnya. Matthew menoleh sebentar lalu berkata datar, “Aku memang pengganti orang tuamu untuk menjagamu sekarang.” Aurora terdiam. Kalimat itu sederhana, tapi berhasil mengetuk hatinya sedikit. Ia mematikan ponselnya dan meletakkannya di atas nakas. Dengan malas, ia menarik selimut sampai ke leher dan memunggungi Matthew. Namun baru saja memejamkan mata, ia merasakan tarikan lembut di lengannya. “Apa yang kau lakukan?” “Tidur menghadap suamimu, Aurora,” jawab Matthew singkat namun tegas. Aurora tertegun. Ia ingin membantah, tapi pada akhirnya ia berbalik. Kini wajah Matthew hanya beberapa jengkal darinya. Pria itu menatapnya seolah menembus pikirannya. Aurora langsung kikuk, berpura-pura nyaman padahal jantungnya berdebar tak karuan. Ia pun melamun. Benarkah aku beruntung menikahi pria ini? Semua orang di luar sana mungkin iri—Matthew tampan, sukses, kaya, idaman. Tapi ia tidak mencintainya. Bukankah “beruntung” seharusnya berarti menikah dengan orang yang dicintai dan mencintai? Kekayaan bukan masalah; keluarganya pun cukup berada. Namun, hatinya? Hatinya kosong. “Apa yang kau pikirkan?” suara Matthew kembali memecah lamunannya. Aurora menggeleng cepat. “Tidak ada.” “Jangan berbohong padaku.” Aurora menghela napas lalu menatapnya sekilas. “Apa yang bisa kuharapkan dari pernikahan ini, Tuan Emmanuel?” tanyanya lirih. Matthew menaikkan alis. “Apa maksudmu? Kau berharap pernikahan kita selamanya?” Aurora terbelalak. “Tidak! Hanya saja…” ia berhenti sejenak, lalu bergumam, “Aku akan jadi janda di usia muda. Apa orang-orang akan bilang aku sial? Atau mungkin… terlalu cepat menikah dengan orang salah?” Matthew hanya menatapnya. “Itu bukan urusanku.” Aurora tersenyum pahit, menyesal sudah membuka hati. “Ya. Itu bukan urusanmu,” balasnya pelan. Ia lalu berbaring terlentang, tangan kanannya menutupi kening. Dalam hatinya, Aurora berdoa diam-diam. Setidaknya, semoga dalam mimpi aku bisa bahagia. Walau hanya sebentar. Dan untuk pertama kalinya malam itu, Aurora benar-benar merasa seperti seorang gadis dua puluh satu tahun yang kehilangan pegangan, terjebak di antara mimpi masa muda dan kenyataan yang terlalu dewasa. -TBC-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN