bc

Ephemeral: Malapadhaya's Dream

book_age16+
27
IKUTI
1K
BACA
adventure
fated
brave
student
another world
supernatural
slice of life
lonely
reckless
like
intro-logo
Uraian

"Waktu yang singkat, sesaat, tidak kekal."

Dalam tidurmu, kamu mengembara melalui banyak mayapada. Tidak ada kata menetap, semuanya hanya untuk singgah. Kamu tahu itu.

Peraturannya jangan menaruh hati pada seseorang dalam pengembaraan. Semuanya hanya mimpi, bukan kenyataan, nikmati bukan memiliki.

Sampai bertemu di pagi hari setelah kamu terbangun, Puteri Tidur.

chap-preview
Pratinjau gratis
Callwilt: Gadis Perindu dan Negeri Layu
Pantulan diri di depan sana hanya ditatap kosong. Tentu, semuanya saja tidak ada yang berubah. Dia tetap dia. Rambut yang menjuntai panjang terjatuh pada lantai bersih di bawahnya. Perlahan ditata sedemikian rupa hingga membentuk kepangan cantik, beserta pita merah yang mengikatnya. Sedikit taburan tepung putih mengoles wajahnya. Mencoba tersenyum menatap dirinya sendiri. Sesungguhnya gadis berkulit sawo matang itu cantik, apalagi saat senyum manis tersungging di bibirnya yang ranum itu. Makin cantik. Namun, kata itu terlalu rancu untuk menjadi tolak ukur bagi semua orang, karena tak semua persepsi sama. Maka setelah selesai bersiap, dia mengambil tas berjalan keluar menuruni tangga. Tampak di bawah sana empat orang tengah duduk melingkar di meja makan. Menikmati makanannya dengan khidmat, setidaknya sebelum kedatangan gadis itu. Semua menoleh, terang-terangan menatapnya tidak suka. Sapaan pagi yang kurang mengenakkan. Memilih kursi terujung, agak berjarak dan terlihat terasingkan dari yang lainnya. Membalikkan piring, menyimpan sedikit banyak makanan untuk sarapannya di sana. Baru saja tangannya hendak menyuap, sebuah celetukan lagi terdengar. “Ah, aku harap tidak sakit perut makan satu meja dengannya,” celetuk lelaki beriris mata biru di seberang meja. Anak tertua di keluarga ini, Asfar Kersuma. “Ya, ya, semoga saja makanan di sini tidak tercemari bakteri yang menyentuhnya tadi. Selera makanku benar-benar hilang sudah,” timpalnya tersenyum miring. Lelaki kedua yang digadang-gadang si Genius dari keluarga Kersuma. Kellen Alexandre Kersuma. Perkataan itu semakin membuat sang gadis menundukkan kepala. Dia memang tidak pantas berdampingan dengan anggota keluarga yang lain. Meremas gagang sendok yang dipegangnya kuat, bahkan menelan sesuap nasi saja rasanya seperti memakan bebatuan. Oksigen di sekitarnya terasa menipis, mau sekuat apa pun dan seterbiasanya dia tetap saja merasa sakit hati. Menelan sesuap nasi saja rasanya begitu sulit. Terasa sesak, dan menggantung di tenggorokan. Meski begitu dia hanya bisa diam seperti biasa, memaksa suapan nasi dan lauknya masuk ke mulut. Walaupun sama sekali tidak terasa nikmatnya. Sementara perempuan paling tua di sana melerai kedua anak lelakinya itu. Melanjutkan makan seolah tidak terjadi apa pun atau menganggapnya tidak akan lebih tepatnya. Baru saja suasana damai, hal lain datang. “Kenapa dia ada di sana?!” Seruan itu membuatnya tiba-tiba berdiri dengan gemetar. Tidak peduli dengan acara sarapannya yang belum selesai, dia ingin berlari sejauh mungkin. Segera bangkit dari duduknya. Dengan terbirit menarik pintu besar di depan sana. Dadanya berdegup kencang dan ngeri, suara itu selalu menghadirkan ketakutan tersendiri untuk gadis itu. “Tenang, Sayang.” Suara yang terdengar lembut itu mencoba menenangkan sang suami. Menatap jijik pada gadis yang tadi menduduki salah satu kursi di meja yang sama dengannya. “Sampai kapan kita harus menampung aib bagi keluarga ini?” tanyanya lagi sambil memegangi kepala yang sudah terasa pening padahal masih pagi. “Sabar, setidaknya setelah dia lulus SMA. Kita tidak perlu lagi memikirkan hidup anak itu. Cukup dia mempermalukan keluarga kita selama ini,” balas istrinya itu tidak sesuai antara suara yang lembut dengan ucapan penuh kebencian. Lain halnya dengan gadis kecil yang sedari tadi hanya menyimak segala drama di pagi hari ini. Tidak peduli banyak, juga tak merasa kasian sama sekali dengan orang yang menjadi topik pembicaraan. Terlampau biasa, mata beriris biru itu hanya fokus pada makanan yang tersaji. Dia Mala. Malapadhaya Sri Kesumawati. Hatinya terasa tercabik-cabik mendengar penuturan orang tuanya tadi, jadi setelah dia lulus SMA. Berarti dia akan dibuang begitu? Oleh keluarganya sendiri? Tubuhnya roboh membentur pintu rumah besar itu. Sedari tadi dia belum pergi, menangkap semua pembicaraan menyakitkan tentang dirinya. Apa sebenarnya salahnya? Hanya karena terlahir berbeda. Haruskah mendapat perlakuan seperti ini? Karena dalam hati kecilnya, Mala ingin keluarga. Keluarga yang menganggap dia juga bagian di dalamnya. Bukan hanya nama saja yang keluarga. . . . Langkah ringan itu menuju pada sebuah bangunan bercat putih gading berdiri dengan kokoh. Plang nama tempatnya menempuh pendidikan terpampang begitu pertama kali menginjakkan kaki. Sesuatu yang dia tidak sukai juga. Karena hal yang sama selalu terjadi berulang. Suasana ini, di mana begitu kakinya melangkah memasuki sekolah orang-orang seolah menjauh. Memberi jarak, sampai menjauhinya secara terang-terangan, cibiran-cibiran terdengar yang Mala coba untuk tuli. “Hei, jauh-jauh dari dia nanti kena sial, lho!” “Dia beneran keturunan keluarga Kersuma yang itu? Mata biru kayak bule, terus kulit putih. Yakin anak kandung bukan adopsi atau anak pungut gitu?” Terdengar tawa setelah penuturan tersebut, penuh sindiran yang kian menyakitkan. "Anak haram kali, haha." “Mala ... Mala malang sekali nasibmu!” “Udah kucel, jelek, anak haram lagi.” Pluk! Gumpalan kertas itu jatuh mendarat di punggung. Mala sedikit melirik ke si pelaku yang secara sengaja melemparkan sampah sembarangan. Mau tak mau, meski membela diri seperti apa pun pandangan mereka tidak akan berubah, Mala hanya mencoba menguatkan hati. Tergesa-gesa mencapai kelas. Namun, semuanya memang tidak pernah berhenti sampai di situ. Tidak ada yang ramah padanya. Seolah keramah-tamahan bukan hal yang pantas gadis itu dapatkan. Baris ketiga dari pintu masuk, Mala mengisi bangku paling depan, tetapi sampai pertengahan semester sekalipun jajarannya sama sekali tidak ada yang mengisi. Bahkan yang lain lebih baik menarik kursi duduk di barisan lain lebih belakang. Segitu tidak maukah untuk sekadar berada di dekatnya? Tanpa keluarga, tanpa teman, tanpa apa pun itu. Mala sedari awal tidak pernah dan mungkin tak pantas memiliki apa pun. Dia cukup sadar diri, bukan apa-apa dibandingkan yang lain. Begitu guru memasuki kelasnya, barulah Mala menegakkan kepalanya menatap pembelajaran dengan serius. Ucapan salam mulai terdengar dan secara bergilir guru tersebut memanggil nama mereka satu per satu. Ada sesuatu, perasaan tak enak ketika menunggu namanya dipanggil. “Malapadhaya Sri Kesumawati?” Tangannya teracung sambil berucap, “Hadir!” Lewat nama orang seolah tahu segalanya. Padahal yang mereka tahu hanya namanya, bukan ceritanya. Nama keluarga yang begitu terkenal nan sukses itu membebani gadis yang selalu menganggap dirinya biasa saja. Tidak secantik Gludera Kesumawati, adiknya yang wajahnya bak pahatan patung dewi Yunani. Juga tak sepintar Kellen, meski dia selalu menduduki rangking 3 pararel. Bahkan seberbakat Asfar, bukan bandingan tentunya. Perbedaan yang cukup jelas itu membuat dirinya mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari siapa pun. Kembali pada pelajarannya yang telah usai tanpa waktu lama. Satu satu hal di mana waktu terasa berjalan cepat adalah ketika belajar bagi Mala. Tahu-tahu bel pergantian jam, istirahat, atau pulang berbunyi padahal gadis itu lebih suka menghitung angka-angka, mendengarkan penjelasan guru, atau memberi pendapat mengenai suatu materi. Baru saja dia membereskan peralatan belajarnya, tumpukan buku berjatuhan di atas mejanya. Lebih tepatnya dijatuhkan dengan sengaja. Dia mendongak menatap si pelaku, gadis berpakaian kekecilan dan minim bahan. “Kerjakan semua tugas matematika kami! Aku tidak mau tahu pokoknya pulang nanti sudah harus ada di ruang guru. Kalau tidak kau tahu akibatnya,” ancam gadis tadi menunjuknya dengan kipas portabel di tangan kanan. Mala sungguh ingin memprotes. Berkata tidak seperti dulu-dulu. Namun, ancaman itu bukan omong kosong belaka, terakhir kali dia membantah semua bukunya bahkan disobek-sobek habis. Mau tak mau aksaranya mengisi setiap buku yang ada di sana, meski jam istirahat yang harus dia korbankan untuk menyelesaikan tugasnya dan tugas orang lain juga. . . . Bersenandung kecil, akhirnya tumpukan tugas telah dia kumpulkan. “Ke perpustakaan, ah.” Papan bertuliskan perpustakaan itu membuat gadis tersebut menghentikan gerakannya. Senyum ramah dari penjaga perpustakaan menyapanya, selain waktu belajar yang dia sukai, tempat ini menjadi salah satu favoritnya. Tubuhnya mengelilingi sekitaran. Melihat-lihat berbagai macam buku yang tertata rapi di atas setiap rak. Mala juga tahu urutan penomoran buku yang ada di perpustakaan. Apalagi saat ada buku-buku baru dia selalu membantu penjaga perpustakaan untuk membeli stempel dan nomor. “Kayaknya cleaning servis sekolah gak becus, deh, bersih-bersih,” celetuk salah seorang gadis di depan Mala. Dia diam di tempat, tidak berani lagi menyusuri rak-rak buku. “Kenapa memangnya?” tanya orang yang ada di samping gadis tersebut. “Bagaimana mungkin masih ada kotoran di perpustakaan yang sudah dibersihkan?” Sang lawan bicara balik bertanya dengan tatapan yang menghujani Mala. Tawa mereka terdengar. Seolah hal tersebut lucu, tidak sama sekali. Dilihatnya mereka semakin mendekat, membuat Mala otomatis menundukkan kepala. Begitu langkah mereka berhadap-hadapan, gadis tersebut menyenggol bahu Mala kencang dengan sengaja. Bruk! Tumbuhnya limbung menghantam rak sekitar. Berniat berpegangan pada rak malah dia menabraknya, menyebabkan buku-buku di atasnya berjatuhan menimpa Mala. Pening sudah kepalanya. Gadis itu terduduk di lantai dengan buku yang berserakan. Mencoba mengumpulkan kekuatan dan menghentikan rasa pusing yang mendera. Baru setelah merasa lebih baik, Mala bangkit perlahan memasukkan satu per satu buku yang berjatuhan itu ke tempat semula. “Akhirnya selesai juga!” gumamnya meregangkan badan. Ketika hendak pergi kakinya tidak sengaja menendang sesuatu. Tepatnya sebuah buku lain. Dengan ragu Mala mengambil buku tadi, memperlihatkan ukurannya yang sebesar ensiklopedia dan sampul serta isiannya yang sudah menguning di mana waktu. Penasaran Mala membawa buku tersebut, memilih duduk di salah satu kursi yang disediakan. Membuka halaman pertama buku itu, terdapat sebaris kalimat pada lembar pertama. "Callwilt: Gadis Perindu dan Negeri Layu", judul buku yang tengah dibacanya. Perlahan kantuk menyerang, tanpa sadar Mala tertidur di perpustakaan. Tertinggal seorang diri di sana. Sementara hujan mulai mengguyur di luar sana, sesekali mulai terdengar suara petir menyambar. Namun, sama sekali tidak mengganggu gadis yang tengah memasuki dunia mimpi itu. Sebuah paragraf berisikan kata-kata: “Dunia terlalu kejam untuk ditinggali, kemarilah! Kita jelajahi negeri negeri lain di mana kamu temukan kehangatan dan kasih sayang, wahai Gadis Perindu! . . .

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

FATE ; Rebirth of the princess

read
36.0K
bc

(Bukan) Istri Simpanan

read
51.2K
bc

Jodohku Dosen Galak

read
31.0K
bc

Rebirth of The Queen

read
3.7K
bc

Rise from the Darkness

read
8.6K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
10.2K
bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
35.7K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook