PART 5

4151 Kata
Entah disadari atau tidak, waktu berjalan dengan sangat cepat. Detik demi detik, menit demi menit dan jam demi jam telah berlalu. Bahkan tanpa disadari hari berganti menjadi minggu. Seperti yang tengah dirasakan oleh Panthana dan rekan-rekannya di tim Basket.  Terasa baru kemarin turnamen Basket antar sekolah se-Nasional itu berlangsung, kini babak final sebentar lagi digelar. Lapangan Basket Bulungan menjadi arena yang dipilih untuk berlangsungnya turnamen Basket antar sekolah menengah atas ini. Tribun penonton sudah sesak dipenuhi penonton yang antusias datang untuk menonton jalan pertandingan sekaligus mendukung tim kesayangan mereka.  Sebagian besar penonton berasal dari anak sekolahan. Bahkan siswa-siswi dari sekolah Panthana paling banyak memadati tribun penonton. Sesuatu yang wajar mengingat hari ini akan berlangsung pertandingan final antara SMA Pelita Harapan Jakarta melawan SMA Bintang Baru Bandung.  Tidak mudah bagi tim Panthana hingga berhasil masuk ke babak final. Mereka sempat jatuh bangun bahkan nyaris kalah di babak-babak sebelumnya, namun beruntung ketegasan Panthana yang berperan sebagai kapten berhasil membangkitkan kembali semangat juang rekan timnya yang beberapa kali sempat redup. Akhirnya berkat kerja sama yang alot dan perjuangan tanpa pantang menyerah, membuat mereka berhasil mencapai babak final. Tinggal satu pertandingan lagi maka sekolah mereka akan menjuarai turnamen tersebut. Akan sangat membanggakan mengingat turnamen itu merupakan turnamen tingkat Nasional. “Teman-teman kita harus berjuang lebih keras dari sebelumnya hari ini. Tinggal satu langkah lagi maka kita akan jadi juara,” ucap Panthana, menyemangati rekan-rekannya. Saat ini mereka sedang berkumpul di ruang ganti, tinggal beberapa menit lagi mereka harus pergi ke Arena pertandingan.  “Sebelum pertandingan dimulai, kita membaca doa dulu agar pertandingan ini berjalan dengan lancar. Berdoa dimulai.” Tambahnya yang langsung dituruti oleh seluruh rekannya. Secara serempak mereka menundukan kepala seraya bibir mereka yang komat-kamit melafalkan doa di dalam hati mereka.  Selesai berdoa, Panthana mengulurkan telapak tangannya di depan yang secara bersamaan diikuti oleh rekan-rekannya, jadilah telapak tangan mereka saling bertumpukan.  “SATU UNTUK SEMUA DAN SEMUA UNTUK SATU. KITA PASTI BISA. KITA PASTI BISA. FIGHT!! FIGHT!! FIGHT FOR WIN!!”  Mereka meneriakan yel-yel semangat secara serempak, lalu melangkah tegap keluar dari ruang ganti menuju lapangan.  “Thana, kamu harus menang ya supaya nanti kamu bisa bantu aku lagi. Aku pasti dukung dan bantuin kamu.” Panthana tersenyum kecil mendengar perkataan hantu yang dipanggilnya Bowbow kini sedang melayang di sampingnya. Tentu tak ada yang bisa melihat penampakannya selain dirinya.  Sesampainya di tengah arena pertandingan, tim lawan pun sudah berkumpul disana. Area tribun penonton menjadi begitu ramai, saling berteriak bersahut-sahutan menyebut nama tim yang mereka dukung.  Tak lama kemudian pertandingan pun dimulai membuat suasana di lapangan itu menjadi begitu nyaring dengan suara-suara teriakan dan juga suara bola yang membentur lantai lapangan.  “Nu, Jar... Maju !!”  Panthana memberikan arahannya seraya tangannya yang sibuk mendrible bola. Dia pun harus susah payah menghindari lawannya yang terus menghadangnya. Danu dan Anjar yang berlari tidak jauh darinya pun, kini tengah dibuntuti dan dihadang oleh lawan mereka membuat Panthana kesulitan untuk mengoper bola.  Setelah berada tidak jauh dari keranjang, dia mencoba peruntungan dengan melakukan lemparan bebas jarak jauh dari luar garis penalti. Tubuh Panthana yang memang tinggi karena turunan dari ayahnya, cukup memudahkannya untuk menghindari dua pemain musuh yang sedang menghadangnya. Lalu dengan penuh percaya diri seraya masih dalam posisi melompat, dia pun melempar bola di tangannya. Bola itu meluncur mulus menuju keranjang dan...  Teriakan semakin terdengar nyaring dari tribun penonton ketika bola itu dengan mulusnya masuk ke dalam keranjang. Peluit pertanda tim Panthana mendapatkan poin pun mengalun dengan merdu, sukses membuat Panthana dan rekan-rekannya berteriak senang.  Pertandingan itu berjalan dengan seru dan sengit, sungguh pantas kedua tim dari kota yang berbeda itu bisa masuk ke babak final. Meski Panthana dan rekan-rekannya berjuang keras hingga keringat bercucuran membanjiri tubuh mereka, pihak musuh selalu berhasil memukul balik. Sejauh ini mereka saling mengejar skor, hanya berselisih 2 angka saja dengan tim panthana yang masih memimpin.  Pertandingan seru itu sudah berlangsung cukup lama, tinggal 3 menit lagi maka pertandingan pun akan berakhir.  “Teman-teman Defense !!” Teriak Panthana memberikan arahan kepada timnya agar melakukan penjagaan yang baik pada pihak lawan yang saat ini sedang menguasai bola. Dia pikir inilah satu-satunya cara yang bisa dilakukan timnya agar mereka bisa keluar sebagai pemenang. Waktu hanya tinggal beberapa menit saja dan mereka masih memimpin 2 angka. Cukup dengan menjaga agar lawannya tidak berhasil memasukan bola ke keranjang maka sudah dipastikan mereka pun akan keluar sebagai pemenang.  Namun apa daya, kenyataan tak sesuai rencananya ketika sang kapten dari tim lawan berhasil melakukan lemparan bebas dari luar garis penalti hingga bola pun melambung tinggi dan mendarat tepat ke dalam keranjang. Keunggulan mereka berbalik karena satu tembakan bebas itu telah menghasilan 3 poin untuk tim lawan, alhasil kini mereka justru tertinggal satu poin di 1 menit terakhir.  “SIAL !!” teriak Panthana kesal sekaligus kecewa. Namun sebagai kapten tentu sudah menjadi tugasnya untuk membangkitkan kembali rekan-rekannya yang tentunya sama kecewanya dengan dirinya. Waktu masih tersisa dan bukan saatnya untuk menyerah. Sebaliknya saat inilah waktu bagi mereka untuk kembali mengerahkan seluruh kemampuan mereka.  Panthana berlari cepat menuju ke arah pemain lawan yang saat ini sedang menguasai bola. Dengan cekatan, dia menghadangnya dan dengan beberapa gerakan tipuan akhirnya dia berhasil merebut bola.  “Maju semua !!” Teriaknya lagi untuk yang kesekian kalinya, memimpin rekan-rekannya agar berlari mengikutinya menyerang pihak lawan.  Waktu terus berjalan hingga menyisakan 45 detik saja. Panthana yang terus dikejar oleh musuh mencoba mengoper bola kepada Reno yang berlari tidak jauh darinya. Ketika pihak musuh kini berbalik mengincar Reno, dengan cerdiknya Reno balik mengoper pada Panthana yang sudah berdiri tidak jauh dari keranjang.  Bola itu melayang tinggi di udara dan dengan sekali lompatan, Panthana berhasil menangkap bola. Dia membidik ke arah keranjang, lalu mencoba melemparkan bola di tangannya sehingga bola pun kembali melayang di udara kini menuju ke dalam keranjang.  Bola membentur pinggiran keranjang dan sempat berputar-putar di lingkaran atas keranjang. Semua orang yang menyaksikan momen penting itu seolah lupa cara bernapas saking tegangnya menantikan apakah bola itu akan masuk atau justru keluar dari area keranjang.  Panthana sempat mengembuskan napas kecewa ketika bola tampaknya gagal masuk ke dalam keranjang dan nyaris keluar. Sedangkan waktu hanya menyisakan 5 detik saja, dia dan rekan-rekannya sudah tak sanggup lagi menyerang dan membalik keadaan. Dia sudah pasrah ketika melihat bola yang berputar itu hendak menggelinding keluar dari lingkaran atas keranjang. Namun kedua mata Panthana terbelalak sempurna ketika sebuah keajaiban tiba-tiba terjadi.  Bola yang nyaris tergelincir ke luar keranjang itu tiba-tiba berbalik arah dan justru tergelincir jatuh ke dalam keranjang. Sulit dipercaya memang tapi itulah yang terjadi. Wasit meniup peluit pertanda bola itu dinyatakan masuk dan tim Panthana mendapatkan 2 poin tambahan. Kini timnya kembali memimpin 1 angka.  Ketika peluit panjang terdengar pertanda pertandingan telah usai, suara sorakan kegembiraan dari rekan-rekannya maupun seluruh penonton yang mendukung tim Panthana terdengar saling bersahut-sahutan. Namun tampaknya tidak demikian dengan Panthana. Pasalnya pemuda itu sedang sibuk menatap ke satu titik.  Dia melihat ke arah seorang hantu gadis SMA yang tengah melayang di dekat keranjang dimana tadi bola yang dilemparnya secara ajaib masuk ke dalam keranjang. Hantu itu tengah tersenyum seraya mengisyaratkan tangannya membentuk kata ‘OK’ pada Panthana. Cukup dengan melihat itu, Panthana tahu alasan bola itu masuk ke dalam keranjang bukan hanya sekadar kebetulan apalagi keajaiban. Melainkan karena ulah sang hantu yang sengaja membuat bola itu masuk ke dalam keranjang.  “Si Bowbow rupanya penyebabnya. Mana bisa gue seneng dengan kemenangan ini. Ini curang namanya. Pasti gue omelin dia nanti.” Gumam Panthana pelan, tanpa diduganya seseorang yang sedang berdiri di dekatnya mendengar dengan jelas gumaman pelannya itu. orang itu yang ternyata adalah salahsatu rekannya yang bernama Reno, mengurungkan niatnya untuk memeluk Panthana ketika mendengar gumamannya. Dia mengernyit heran.  “Lo kenapa?” Tanya Reno akhirnya, sukses membuat Panthana terenyak kaget karena dia memang tidak menyadari keberadaan temannya. Belum sempat Panthana menyahut, dia sudah dikeroyok oleh teman-temannya. Mereka menghujani Panthana dengan pelukan kegembiraan. Mereka tampak bahagia atas kemanangan tim mereka, namun sayangnya hal serupa sama sekali tidak dirasakan Panthana. Dia justru merasa bersalah, menurutnya seharusnya bukan tim mereka yang keluar sebagai pemenang. Namun mengingat tak akan ada yang percaya padanya bahwa bola itu masuk ke dalam keranjang karena ulah hantu yang sengaja membantunya, akhirnya dia pun memutuskan untuk tutup mulut dan menyimpan sendirian rasa bersalahnya.  “Thana selamat, kamu menang,” ucap sang hantu memberikan selamat ketika Panthana memisahkan diri dari rekan-rekannya dan memilih untuk membasuh wajahnya yang berkeringat dengan air di luar gedung arena pertandingan.  “Menang apanya? Ini ulah lo kan? Pasti lo yang udah masukin bolanya ke keranjang? Ngaku deh!” sahut Panthana kesal. Sedangkan sang hantu hanya berekspresi memperlihatkan cengirannya yang membuat Panthana semakin kesal.  “Ayo jawab, bener kan tadi lo yang masukin bolanya?” Ulangnya. “Iya, habis bolanya nanti jatoh keluar keranjang terus nanti kamu kalah,” jawab sang hantu polos dan tidak merasa bersalah sedikit pun. “Tapi nggak boleh kayak gitu, Bow. Itu namanya curang.” “Habis kamu sendiri yang bilang kalau kamu kalah nanti kamu mau batalin kesepakatan kita. Kamu gak mau bantuin aku lagi nyari tahu identitas aku.” Panthana melongo sejenak sebelum akhirnya terkekeh geli. Rupanya candaannya saat itu dianggap serius oleh sang hantu.  “Gue cuma becanda Bowbow. Gue kan udah janji mau bantuin lo jadi gak mungkin gue ingkar janji cuma gara-gara kalah.” “Terus gimana dong?” Tanya sang hantu, raut bersalah akhirnya muncul di wajahnya. “Ya, mau gimana lagi, udah terlanjur. Gue bilang pun gak bakalan ada yang percaya karena gak ada yang bisa lihat lo. Yang ada malah gue dikira gila lagi sama orang-orang. Tapi inget ya, lain kali jangan diulangi lagi.” Hantu yang dipanggil Bowbow itu mengangguk penuh semangat. Panthana mendesah lelah sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi ke ruang ganti.  Namun, setibanya di depan pintu ruang ganti yang sedikit terbuka, dia menghentikan niatnya untuk masuk ke dalam ketika telinganya tanpa sengaja mendengar obrolan dari rekan-rekannya yang sedang berkumpul di dalam ruangan. Empat pemuda yaitu Danu, Reno, Anjar dan Malik terlihat sedang mengobrol di dalam ruangan seraya mengelap keringat mereka dengan handuk kecil di tangan mereka.  “Gila... ajaib banget ya pertandingan hari ini. Gue kira bolanya bakalan keluar tadi, eh taunya malah masuk ke keranjang,” ujar Danu, heboh. “Gue juga ngiranya gitu tadi. Tapi syukur deh keberuntungan masih di pihak kita,” sahut Malik. “Eh, tapi Thana kayak yang gak seneng ya kita menang. Buktinya dia tiba-tiba pergi gitu aja padahal kita-kita kan lagi ngerayain kemenangan kita di lapangan. Aneh ya dia, harusnya kan dia seneng, tembakannya masuk,” anjar menimpali.  “Ngomong-ngomong soal aneh, tadi gue gak sengaja denger dia ngomong sendiri gitu pas pertandingannya beres. Dia kayak nyebut-nyebut nama Bowbow terus bilang soal curang-curang gitu.” Reno berseru ketika mengingat gumaman Panthana yang tanpa sengaja didengarnya tadi.  “Gue juga pernah mergokin Thana lagi ngomong sendirian waktu di ruang ganti pas kita mau latihan minggu lalu. Dia beneran ngomong sendiri loh soalnya disana gak ada orang lain selain dia. Tapi dari yang gue liat, dia kayak lagi ngomong sama seseorang.” Anjar yang memergoki Panthana berbicara sendiri tempo hari akhirnya bercerita ke rekan-rekannya. “Ngomongin soal Thana, gue juga ngerasa dia aneh banget akhir-akhir ini. Di kelas sikapnya aneh banget. Kadang dia gak fokus terus kayak kesel gitu tapi gak tahu dia kesel sama siapa.” Danu giliran menyahuti.  “Jangan-jangan dia lagi ada masalah. Terus dia jadi stress. Gue sih takutnya dia depresi jadi sering halu gitu. Makanya dia ngomong sendirian.” Anjar berargumen. “Kayaknya kita harus ngajakin dia ngobrol deh. Mungkin dia emang lagi ada masalah. Kita harus bantu dia, kita berempat kan sohib dia.” Kali ini Malik dengan semangat membara memberikan sarannya.  “Iya, gue setuju. Thana emang aneh, kita harus bantu dia kalau emang dia lagi punya masalah,” timpal Danu, yang diangguki ketiga sahabatnya.  Tanpa mereka sadari Panthana yang tengah menguping kini mengepalkan genggaman tangannya erat.  ‘Sial!! gara-gara si Bowbow gue dikira aneh,stress parahnya depresi sama temen-temen gue. Lama-lama gue bisa dikira gila sama mereka,’ gumamnya dalam hati.  ***   Seluruh siswa di kelas XI IPA 1 tengah fokus mendengarkan seorang guru yang sedang mengajar di depan. Bu Rita namanya, guru yang mengajarkan Mata pelajaran Biologi itu tengah memberikan tugas kelompok pada siswanya.  “Jadi satu kelompok terdiri dari tiga orang. Kalian lakukan percobaan fermentasi ya, minggu depan kalian bawa hasil fermentasi kalian dan presentasikan di depan kelas hasil uji coba kalian,” ujar Bu Rita, menjelaskan tugas yang diberikannya.  Tak lama kemudian, bel tanda pelajaran hari ini berakhir pun berbunyi. Bu Rita membereskan semua peralatannya yang berserakan di meja guru. Setelah selesai membaca doa yang dipimpin oleh ketua kelas dan berpamitan pada siswanya, dia pun melenggang pergi meninggalkan kelas XI IPA 1 yang merupakan kelas Panthana dan teman-temannya.  “Thana, kamu mau gak satu kelompok sama aku?” Panthana yang tengah menunduk seraya mengambil tasnya, mendongak menatap ke arah seseorang yang baru saja mengajaknya bicara. Dian berdiri di depan Panthana dengan wajahnya yang merona. Meski mereka sudah resmi berpacaran tapi tetap saja dia selalu merasa gugup jika sedang mengajak Panthana bicara.  “Hmm, boleh aja sih. Berarti kita bertiga satu kelompok, aku, kamu dan Danu,” sahut Panthana tenang, akan tetapi berbeda dengan Dian yang seolah terkejut mendengar penuturan pacarnya.  “Eh... tadinya aku ngajakin kamu, soalnya aku dan Inggrid udah satu kelompok. Jadi kurang satu orang lagi, makanya aku ngajak kamu supaya pas tiga orang.” Kali ini justru Panthana yang terkejut sekaligus senang disaat yang bersamaan. Dia satu kelompok dengan Inggrid, tentu itulah yang paling diinginkannya.  “Tapi kalau kamu udah satu kelompok sama Danu, ya udah aku...” “Eh, Di, tunggu. Aku mau kok satu kelompok sama kalian berdua,” sela Panthana cepat seraya mengerling ke arah Danu yang masih duduk di kursinya. Panthana menatap gelisah pada Danu dan hal itu tentu saja tertangkap jelas oleh Danu. 2 tahun berada di kelas yang sama dan menjadi teman sebangkunya, tentu saja Danu sudah cukup jelas mengenal kepribadian seorang Panthana.  “Lo satu kelompok sama mereka aja, gue gabung sama kelompok lain aja,” jawab Danu berekspresi tenang seraya mengambil tasnya. “Lo yakin, Nu?” “Ya elah, nyantai aja, Bro. Lagian gue ngerti lo pasti pengen berduaan terus sama cewek lo. Ya udah gue jalan duluan ya.” Danu menepuk bahu Panthana sebelum dia melenggang pergi. Kata-kata Danu tadi membuat Panthana terenyak, dia juga jadi merasa canggung pada Dian, pasalnya bukan kebersamaannya bersama Dian yang membuatnya senang melainkan kebersamaannya bersama Inggrid. Diam-diam Panthana merasa tidak enak pada Dian di dalam hatinya.  “Ayo Than jalan, kita ngerjain tugasnya di rumah Inggrid.” “Haah... di rumah Inggrid?” Tanya Panthana kaget. Dian tersenyum seraya mengangguk. Dia menggenggam tangan Panthana, mengajaknya pergi menghampiri Inggrid yang sudah menunggu mereka di dekat pintu.  “Thana, kamu pasti seneng banget bisa ke rumah Inggrid, ya, kan?” Sang hantu yang sedang melayang di samping Panthana, membisikan hal itu. Sukses membuat wajah seorang Panthana merona merah. “Kamu juga pasti seneng bisa seharian bareng Inggrid?” Tambahnya seraya tertawa cekikikan kentara sekali dia sedang menggoda panthana. Panthana memelototi sang hantu, menurutnya perkataan hantu yang sedang menggodanya itu membuatnya sangat risih.  Mereka bertiga pun melenggang pergi meninggalkan kelas. Inggrid dan Dian berjalan di depan, sedangkan Panthana berjalan tepat di belakang mereka dengan tatapan matanya yang tak lepas menatap Inggrid dari puncak kepala hingga kakinya. Tak lama kemudian mereka pun tiba di parkiran tempat Panthana memarkirkan motornya.  Tanpa sadar Panthana menyerahkan helmnya pada Inggrid, membuat si gadis mengernyit heran melihatnya. Lalu dengan cepat Inggrid menyerahkan helm itu pada Dian.  “Kalian berangkat duluan aja, tunggu di depan rumah gue. Gue naik angkot aja,” ucap Inggrid, Panthana yang mendengarnya menghentikan kegiatannya yang sedang memindahkan salahsatu motor yang menghalangi motornya.  “Kok naik angkot? Lo naik motor, bareng gue,” sahut Panthana cepat tanpa sadar seolah dia melupakan keberadaan Dian. “Gak mungkin kan kita naik motor lo bertigaan? Jadi gue naik angkot aja. Kalian udah tahu juga kan rumah gue?” Panthana ingin membantah lagi, namun ketika ekor matanya melihat Dian yang sedang memegangi helmnya, akhirnya dia ingat kembali bahwa dia tidak sedang berduaan saja dengan Inggrid, namun ada Dian juga disana. Tentu saja sebagai kekasihnya, seharusnya Panthana mengajak Dian untuk naik motornya bukan malah mengajak Inggrid. Lagi ... untuk kesekian kalinya Panthana merasa bersalah pada Dian.  “Hmm ... gue rasa ....” “Inggrid!!” Baru saja Panthana ingin mengatakan bahwa sebaiknya mereka bertiga naik angkot bersama-sama dan dia memutuskan untuk meninggalkan motornya di sekolahnya, ucapannya harus terhenti oleh teriakan seseorang yang memanggil nama Inggrid.  Roni... kapten tim Volly di sekolah merekalah yang baru saja memanggil Inggrid. Pemuda itu saat ini sudah bergabung bersama mereka.  “Eh, Ron, nggak latihan?” Tanya Inggrid ramah pada Roni, membuat seorang Panthana mengernyitkan dahi karena tidak suka melihat kedekatan sepasang pemuda-pemudi di hadapannya. “Nggak. Lupa ya, kan hari ini gak ada latihan?” Sahut Roni, tak kalah ramahnya. Kini Panthana mengepalkan tangannya erat ketika menangkap semburat merah menghiasi wajah Inggrid. Terutama karena semburat merah itu bukan disebabkan olehnya melainkan oleh pria lain yang sangat dibencinya. Ya, semenjak melihat Roni mendekati Inggrid ketika dia sedang melakukan pertandingan persahabatan beberapa minggu yang lalu, melihat pemandangan menyebalkan yang membuatnya tertimpa bola basket tepat di wajahnya serta membuatnya kehilangan minat untuk melanjutkan pertandingan. Sejak saat itulah sosok seorang Roni masuk ke dalam daftar seseorang yang paling dibanci Panthana.  “Kalian mau pergi bareng, ya?” Tanya Roni menyadari bahwa Panthana dan Dian juga sedang berada di sana. “Kami mau ngerjain tugas kelompok di rumah gue. Baru aja gue mau pergi naek angkot.” Inggrid yang menyahut. Panthana dan Dian hanya diam mematung mendengar pembicaraan akrab antara Inggrid dan Roni. Dian memang merasa tidak memiliki pembahasan yang ingin disampaikannya karena itu dia memilih untuk diam. Sedangkan Panthana mungkin saat ini dia lebih tertarik untuk menahan emosinya daripada ikut melibatkan diri dalam pembicaraan dua insan yang sama-sama mengikuti ekskul volly itu.  “Ngapain naik angkot? Gue ada motor, ayo gue anter lo pulang.” Roni berbaik hati menawari Inggrid, sukses menyulut emosi Panthana semakin berkobar di dalam hatinya. “Eh, nggak usah. Gue ....” “Kita bertiga mau naik angkot kok, jadi lo gak usah repot-repot nganterin Inggrid.” Panthana menyela, membuatnya menjadi pusat perhatian tiga orang yang berdiri di dekatnya. Dian menatap heran ke arah pacarnya yang begitu peduli pada sahabat baiknya. Inggrid terbelalak kaget sedangkan Roni tersenyum sinis pada Panthana.  “Ngapain naik angkot? Lebih cepet naik motor. Lagian lo bisa pergi bareng Dian, terus gue bareng Inggrid.” “Tapi ....” “Lagian lo gak kasian sama cewek lo harus naik angkot padahal cowoknya punya motor? Lo bareng cewek lo aja ya,” sela Roni dengan senyuman yang seolah sedang menyindir Panthana. Satu hal yang membuat Panthana heran, darimana Roni yang jelas-jelas beda kelas serta tidak dekat dengannya, mengatahui hubungannya dengan Dian?  “Ayo, Grid!” Ajak Roni seraya menggandeng tangan Inggrid. Mendengus kesal sejenak, akhirnya Panthana mengembuskan napas pasrah ketika melihat Inggrid mengikuti langkah Roni menghampiri motornya, tanpa perlawanan.  “Ayo, Di, naik!” Ajak Panthana pada Dian ketika dia kini sudah naik ke atas motornya. Tentu langsung dituruti Dian dengan senang hati.  Selama perjalanan, lagi-lagi Panthana harus menahan emosinya ketika melihat Inggrid yang berpegangan pada pinggang Roni karena motor yang mereka naiki memang melaju di depan motor Panthana.  “Makasih ya Ron, udah repot-repot nganterin gue,” ucap Inggrid, tulus ketika mereka sudah tiba di depan rumahnya. “Nggak usah sungkan gitu, Grid. Kayak sama siapa aja. Gue seneng bisa bantu lo. Oh iya, soal yang kemarin itu gimana? Lo udah ngambil keputusan?” Tanya Roni, Panthana menatap penuh minat pada Roni ketika telinganya menangkap jelas apa yang baru saja pemuda itu katakan pada Inggrid. Terlebih ketika Inggrid menatap Roni dengan semburat merah yang menghiasi wajah cantiknya.  “Sahabat lo kan udah punya cowok, masa lo sendirian? Kita kan bisa ngedate bareng mereka nanti kalau kita udah resmi jadian,” tambah Roni. Panthana tersentak, dia bisa menebak arah pembicaraan Roni. Sepertinya Roni telah menyatakan cintanya pada Inggrid. Cepat-cepat Panthana kembali menatap wajah Inggrid dengan jantungnya yang berdentum tak karuan. Dia takut Inggrid menerima Roni sebagai pacarnya. “Hmm, gue belum mutusin. Gue masih butuh waktu buat mikirin ini. Sorry ya, Ron,” jawab Inggrid. Roni tersenyum tipis, sedangkan Panthana mengembuskan napas lega mendengarnya. Meski hatinya belum benar-benar lega karena bisa saja nanti Inggrid memutuskan menerima Roni. Lebih baik dia mati saja daripada harus melihat Inggrid jadian dengan pria lain. Berlebihan memang, tapi itulah yang sedang dirasakan Panthana saat ini. Tentunya dia tidak rela gadis yang dicintainya berpacaran dengan pria lain.  Sepeninggalnya Roni, ketiga siswa kelas XI IPA 1 itu masuk ke dalam rumah Inggrid yang cukup besar. Rumah berlantai dua dengan halamannya yang cukup luas. Ada kolam ikan dengan air mancur di bagian tengah-tengah halaman, membuat Panthana sempat tertarik untuk mendekat ke arah kolam. Sebenarnya hari ini pertama kalinya bagi Panthana berkunjung ke rumah Inggrid. Dia memang tahu letak rumah Inggrid dan pernah juga mengantarkan gadis itu pulang, tapi sebelumnya dia belum pernah mampir untuk masuk ke dalam rumahnya. Jadi bisa dibayangkan betapa berbunga-bunga hati Panthana karena akhirnya bisa masuk ke rumah gadis yang diam-diam disukainya.  “Jadi kita mau bikin apa buat percobaan fermentasinya?” Tanya Inggrid seraya menyuguhkan beberapa cemilan dan minuman di atas meja untuk Panthana dan Dian. Entah disadari atau tidak olehnya, bahwa Panthana sejak tadi terus menatap ke arahnya. Pemuda itu sedang memperhatikan penampilan Inggrid yang telah mengganti seragamnya dengan pakaian santai. celana jeans selutut dan kaos putih tanpa lengan yang membuat Inggrid terlihat lebih cantik dari biasanya di mata Panthana.  “Hmm, gimana kalau kita bikin tempe aja? Gampang tuh, tinggal beli biji kedelai sama ragi aja.” Dian memberikan saran yang disambut antusias oleh Inggrid. Berbeda dengan Panthana yang sama sekali tidak menyahut karena masih fokus manatap Inggrid.  “Hei, kamu juga setuju kan, Than?” Tanya Dian, namun masih diabaikan Panthana. “Thana...” Dian memanggil pacarnya seraya sedikit mengguncang tubuhnya, membuat sang pemuda terenyak saking kagetnya. “E-Eh, apa?” Tanyanya polos. “Kita bikin tempe, kamu setuju, kan? Jadi kamu gak dengerin? Kamu lagi ngelamun ya?” Ulang Dian, mulai jengkel. “Nggak kok. Iya, gue setuju. Kita bikin tempe aja,” timpalnya, menyetujui.  Lalu seharian itu mereka mengerjakan tugas biologi mereka. Dengan teliti mereka mengaduk rata biji kedelai yang sudah dicampur dengan ragi, lalu memasukannya ke dalam plastik bening. Harusnya setelah menunggu dua sampai tiga hari, biji kedelai itu bisa menjadi tempe. Selama melakukan percobaan itu, tak hentinya senyuman menghiasi wajah tampan Panthana, dia senang karena seharian ini bisa banyak berinteraksi dengan Inggrid. Mereka berdua mendiskusikan banyak hal, ya meski Dian juga berada di tengah-tengah mereka. Tapi tetap saja, bagi Panthana hari ini sangat menyenangkan karena bisa seharian bersama dengan Inggrid.  Setelah menyelesaikan tugas, mereka bertiga memutuskan untuk bersantai sejenak seraya mencicipi cemilan yang  terhidang di atas meja.  “Ortu lo sama abang lo belum pulang, Grid?” Tanya Dian, memulai pembicaraan. “Belum, ortu lagi ke luar kota. Besok baru pulang. Kalau abang gue kayaknya masih di kampus,” jawab Inggrid seraya mengedikkan bahunya. “Lo nggak takut sendirian di rumah?” Kali ini Panthana yang bertanya, entah mengapa pertanyaan itulah yang terbesit di benaknya. Mungkin karena terbiasa ditemani hantu yang dipanggilnya Bowbow membuat hal-hal berbau mistis jadi terasa tidak asing baginya.  “Thana, jangan nakut-nakutin deh,” sahut Inggrid, membuat Panthana gelagapan. Dia sadar seharusnya tidak menanyakan hal seperti itu yang jutrsu membuat Inggrid ketakutan. “Eh nggak, gue gak bermaksud kayak gitu kok. Lagian gak ada yang perlu lo takutin. Kan ada kita berdua disini nemenin lo?” Panthana tersenyum lega ketika melihat Inggrid mengangguk dengan senyuman yang menghiasi wajahnya.  “Iya, tolong kalian temenin gue ampe abang gue pulang ya. Soalnya di rumah ini gak ada pembantu. Nyokap pengen mandiri, ngerjain semuanya sendirian tanpa dibantuin pembantu.” Dian dan Panthana mengangguk bersamaan. Tentu mereka tidak keberatan sama sekali menemani Inggrid, terutama Panthana. Dia terlihat betah berada di rumah Inggrid karena bisa puas menatap gadis itu seharian ini.  “Oh iya, Grid, tadi itu Roni ngomongin apaan sih? Dia udah nembak lo ya?” Tanya Dian antusias. Sebenarnya Panthana pun ikut antusiasnya seperti Dian. Dia juga tertarik ingin mendengarkan jawaban Inggrid.  “Iya, kemarin dia nembak gue gitu pas kita udah beres latihan volly.” Semburat merah yang bertengger di wajah Inggrid menjadi bukti nyara bahwa dia begitu malu menceritakan hal ini pada kedua temannya.  “Terus kenapa gak lo terima? Lo juga gak cerita sama gue.” Dian merajuk, terlihat tersinggung karena sahabat baiknya merahasiakan hal ini darinya. “Gue rencananya mau cerita kok ke lo, tapi gak sempet tadi.” “Terus kenapa lo gak terima dia? Dia itu kan cakep, pinter, kapten tim volly lagi. Dia keren lho, Grid. Cewek-cewek yang naksir dia pasti iri sama lo kalau lo jadi cewek dia,” saran Dian menggebu-gebu, tanpa disadarinya perkataannya itu membuat Panthana nyaris meledak-ledak saking kesalnya.  “Walaupun menurut gue, gak ada yang ngalahin cowok gue sih. Cowok gue tetep yang paling keren di sekolah kita,” sahut Dian seraya memeluk lengan Panthana yang sedang duduk di sampingnya. Sepertinya Dian menyadari ekspresi kesal di wajah Panthana dan membuatnya salahpaham, beranggapan bahwa kekesalan Panthana karena dirinya memuji pria lain di depannya. Padahal Panthana kesal bukan karena itu.  Panthana tersenyum tipis seraya menjauhkan dengan sopan, tangan Dian yang merangkul lengannya.  “Jadi gimana, lo mau nerima dia?” Dian kembali bertanya. “Hmm, gak tahu juga. Gue gak mau pacaran dulu sih sebenernya. Gue pengen fokus sama sekolah dulu. Lagian ....” Inggrid menjeda perkataannya seraya memutar kepalanya menghadap ke arah lain. Entah kenapa dia tidak ingin bertatapan langsung dengan kedua temannya yang sedang menatap intens ke arahnya. “Lagian ... kenapa? Jangan bilang lo suka sama cowok laen?” Inggrid cepat-cepat menggeleng, dia kaget Dian malah bertanya seperti itu padanya. “Nggak kok. Udah ah, gak usah bahas ini.” “Jadi lo mau nolak Roni? Padahal bagus kan kalau kalian jadian, dia kan jago volly tuh. Lo bisa deh tuh latihan volly berduaan sama dia. Hahaha...” Dian tertawa lantang diakhir ucapannya. Panthana mendengus kesal sedangkan Inggrid lagi-lagi membuang muka ke arah lain seraya tersipu malu.  “Thana, kamu gak boleh biarin Inggrid berduaan terus sama cowok itu. Kamu harus ngambil tindakan.” Panthana terenyak dalam duduknya ketika hantu yang dipanggilnya Bowbow tiba-tiba saja muncul di sampingnya dan berbisik padanya. Dia menatap kesal ke arah sang hantu, dia jengkel karena hantu itu gemar sekali mengagetkannya.  “Kamu mendingan masuk ekskul volly juga, supaya kamu bisa merhatiin mereka. Jangan biarin cowok itu deketin Inggrid,” tambahnya. Kali ini perkataan sang hantu sepertinya berhasil mengusik hati dan pikiran Panthana.  ‘Kayaknya si Bowbow bener juga. Gue harus ikutin saran dia nih,’ gumam Panthana dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN