Bel tanda pelajaran berakhir telah dibunyikan sejak tadi, namun tampak seorang siswa yang masih belum beranjak dari kelasnya. Dia sedang duduk sendiri di bangkunya dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di dalam otaknya.
“Bow, jadi menurut lo, gue beneran harus masuk ekskul volly ya?” Tanya siswa tersebut yang tidak lain merupakan Panthana, pada hantu gadis SMA yang masih betah melayang di sampingnya.
“Iya, supaya kamu bisa awasin Inggrid terus. Pokoknya kamu jangan biarin cowok laen deketin dia,” sahut sang hantu. Panthana memejamkan kedua matanya masih menimbang-nimbang keputusan terbaik yang harus diambilnya.
Dia sedang dilanda dilema sekarang. Dia menyadari perkataan hantu yang dipanggilnya Bowbow memang ada benarnya. Jika dia masuk ekskul volly maka dia bisa mengawasi Roni dan Inggrid. Dia tidak tahan membayangkan Roni yang selalu mengambil kesempatan mendekati Inggrid karena mereka mengikuti ekskul yang sama.
Tapi di sisi lain, dia ragu untuk masuk ekskul volly karena dua alasan. Pertama... dia tidak handal bermain volly karena selama ini satu-satunya olahraga yang digelutinya hanyalah basket. Kedua... dia juga tidak tahu anggapan anggota ekskul basket nantinya jika mengetahui dirinya masuk ekskul volly. Dia tidak yakin mereka akan mengizinkannya bergabung dengan ekskul volly.
“Thana, kok kamu kayak yang ragu gitu?” Semua lamunannya buyar begitu satu pertanyaan itu terlontar dari mulut sang hantu.
“Menurut lo, temen-temen gue di ekskul basket gak bakalan marah kan kalau gue masuk ekskul volly?”
“Kok mereka marah, ya nggaklah Thana. Itu kan hak kamu masuk ekskul lain. Mereka gak berhak buat marah sama kamu.” Dan sepertinya jawaban hantu itu telah sukses menghilangkan semua keraguan Panthana. Pemuda itu pun akhirnya berjalan mantap meninggalkan kelasnya. Dia hendak menuju Aula indoor yang biasanya dijadikan tempat latihan anggota ekskul Volly.
Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika sudah tiba tepat di depan aula.
“Thana kok berhenti, kamu ragu lagi ya?” Sang hantu kembali bertanya dengan kernyitan di dahinya tercetak jelas.
“Bukan, cuma kalau liat aula ini gue jadi inget pertemuan pertama kita. Kita kan pertama kali ketemu di toilet cowok aula ini.”
“Iya, iya, aku juga inget. Lagian aku emang selalu gentayangan di toilet cowok di aula ini,” sahut sang hantu girang ketika mengingat pertemuan pertamanya dengan Panthana.
“Oh iya, gue heran deh. Kok lo bisa gentayangan di toilet cowok aula ini ya? Jangan-jangan dulu lo meninggal di toilet itu.”
“Bisa jadi, tapi kok aku bisa meninggal di toilet cowok ya?”
“Gue rasa, gue tahu alasannya.”
“Haah... serius? Emangnya menurut kamu kenapa aku bisa meninggal di toilet?”
“Karena lo m***m. Lo kan suka ngintipin cowok jadi mungkin lo kepeleset waktu ngintipin cowok terus jatoh, kepala lo kebentur lantai. Mungkin kebenturnya parah makanya lo langsung wafat. Hahahahaha...” Sang hantu memberengut marah, menurutnya candaan Panthana sama sekali tidak lucu.
“Huuh... gak mungkin aku mati pas lagi ngintipin cowok. Kamu jahat Thana.”
“Yaaah, siapa tahu tebakan gue bener?” Panthana kembali tertawa lantang mengabaikan sang hantu yang menatap marah ke arahnya.
“Ya udah deh, nanti kita selidikin lagi misteri kematian lo ya. Gue harus masuk ke dalam dulu. Doain lancar ya..”
“Iya Thana, semangat terus yaaa. Aku pasti temenin kamu terus nanti,” jawab sang hantu sumringah seolah kemarahannya tadi menguap entah kemana.
Dengan ragu-ragu, Panthana masuk ke dalam aula. Dia berdiri tepat di depan pintu, tak berani melangkah semakin dalam lagi. Dilihatnya beberapa anggota ekskul volly sedang melakukan latihan. Panthana bingung, dia tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Tidak mungkin kan dia langsung masuk ke dalam lalu bergabung dengan anggota lainnya tanpa mengutarakan sebelumnya niatnya datang kemari? Tapi yang jadi pertanyaannya, pada siapa dia harus mengutarakan keinginannya untuk bergabung dengan ekskul volly?
“Lho kak Thana, kan? Lagi ngapain di sini?” Seketika Panthana terenyak dan cepat-cepat dia menoleh ke arah pemilik suara yang menyapanya. Dilihatnya seorang gadis manis berambut pendek tengah berdiri tepat di belakangnya. Sepertinya gadis itu adik kelasnya.
“Seneng banget deh bisa lihat kakak dari deket gini. Aku penggemar kakak lho. Aku juga nonton pas pertandingan final kakak kemarin. Kak Thana keren banget, kakak pahlawan deh. Kalau lemparan kakak gak masuk di detik-detik terakhir, pasti sekolah kita kalah.” Panthana tersenyum getir mendengarnya. Mengingat pertandingan itu selalu membuat hatinya tidak nyaman dan diliputi rasa bersalah. Semua orang menganggapnya sebagai pahlawan penentu kemenangan tim basket sekolah mereka, tanpa seorang pun tahu bahwa bukan lemparannya yang masuk tapi bola itu bisa menggelinding masuk ke dalam keranjang karena ulah Bowbow.
“Kakak lagi ngapain di sini?” Tanya sang gadis lagi, karena hingga detik ini Panthana belum juga mengeluarkan suaranya.
“Oh iya, itu... aku mau ikut gabung ekskul volly. Kamu anggota ekskul volly juga ya?” Si gadis tersenyum riang seolah baru saja mendengar kabar yang menggembirakannya.
“Waah, serius kakak mau ikut gabung ekskul volly?” Tanyanya, yang diangguki Panthana tanpa keraguan.
“Mari kak ikut aku, aku anterin ke Kak Roni. Dia kan ketua ekskul volly jadi kalau mau gabung, kakak harus bilang dulu ke dia.” Panthana mendesah lelah, inilah yang tidak ingin dilakukannya yaitu bertemu bahkan berbicara dengan saingan yang begitu dibencinya. Tapi apa daya, Roni memang ketua ekskul volly, mau tidak mau dia memang harus bicara pada saingannya itu.
“Kak Roni,” panggil gadis itu. Roni yang merasa namanya dipanggil menoleh, lalu bergegas menghampiri sang gadis ketika disadarinya sosok seseorang sedang berdiri di sampingnya.
“Ada apa, Lea?” Tanya Roni pada sang gadis yang ternyata bernama Alea.
“Ini Kak, Kak Thana katanya mau gabung sama ekskul volly.” Roni mengernyit tak percaya, lalu bergegas dia menatap ke arah Panthana yang masih diam mematung tanpa sepatah kata pun terucap dari bibirnya.
“Lo serius mau gabung ekskul Volly?”
“Ya,” jawab Panthana dingin.
“Lah kok bisa? Bukannya lo ketua ekskul basket ya?”
“Terus kenapa? Nggak ada larangan kan gue ikut lebih dari satu ekskul?” Roni terdiam, dia tidak mampu mengelak kebenaran dari perkataan Panthana.
“Iya, lo bener. Ya udah, kalau lo emang pengen gabung sama ekskul volly, gue sambut dengan senang hati. Nanti gue bilang ke guru pembimbing terus lo harus isi formulirnya.”
“OK.” Panthana kembali menjawab dingin.
“Waah, Kak Thana, selamat bergabung dengan ekskul volly ya. Aku gabung dulu sama yang lain,” ucap Alea girang, Panthana kembali mengangguk. Lalu gadis manis itu pun berlari menuju rekan-rekannya sesama wanita anggota ekskul volly.
“Gue gak tahu alasan lo gabung ekskul volly, tapi gue yakin pasti karena ada niat tertentu kan? Gue pasti awasin lo soalnya gue yakin banget lo punya niat terselubung,” ujar Roni tiba-tiba, membuat Panthana yang sedang menatap ke arah para anggota yang sedang berlatih, kini beralih menatapnya.
“Terserah lo,” jawab Panthana acuh.
“Ya udah, lo tunggu di sini, gue ambilin dulu formulirnya.” Tanpa menunggu respon dari Panthana, Roni melenggang pergi menjauhinya.
“Ih, cowok itu nyebelin banget. Kamu harus awasin dia terus supaya dia gak deketin Inggrid,” ucap sang hantu kembali bicara setelah sejak tadi hanya membisu, namun tetap melayang di samping Panthana.
“Thana... Thana... lihat, Inggrid ke sini tuh,” tambahnya girang. Sedangkan Panthana, tiba-tiba jantungnya berdetak cepat ketika melihat Inggrid sedang berlari ke arahnya.
“Thana, lo serius gabung ekskul volly? Tadi Alea yang cerita,” tanya Inggrid dengan napas terengah.
“I-Iya,” sahut Panthana dengan wajah merona.
“Kok lo tiba-tiba masuk ekskul volly? Terus ekskul basket lo gimana?”
“Hm, pengin aja. Bosen juga dari dulu cuma maen basket,” jawabnya asal. Jantungnya kembali menggila ketika kini Inggrid sedang tersenyum manis di depannya.
“Iya, lo emang harus nyoba olahraga laen. Maen volly itu gak kalah seru dari maen basket kok. Lo udah tahu dasar-dasar maen volly, kan?” Tanya Inggrid, tampak bersemangat.
“Ya, tahu dikit. Kan pernah diajarin juga pas lagi pelajaran olahraga.”
“Iya sih, tapi kayaknya masih banyak yang harus lo pelajarin lagi tentang volly. Nanti gue ajarin lo deh. Gue juga bakal nemenin lo latihan supaya handal maen volly. Lo pasti makin keren kalau jago maen volly juga, kan? Pasti makin banyak deh fans lo.” Untuk kesekian kalinya wajah Panthana merona.
‘Apa Inggrid barusan bilang gue keren ya?’ Gumamnya dalam hati.
“I-Iya Grid, makasih ya. Gue seneng banget lo mau latih gue.”
“Ya, nyantai aja. Gue juga seneng kok lo gabung ekskul volly,” sahut Inggrid, membuat hati Panthana semakin berbunga-bunga.
Setelah pembicaraan sepasang sejoli itu, yang sangat menyenangkan bagi Panthana. Dia semakin bersyukur karena mengikuti saran Bowbow. Menurutnya semenjak mengenal Bowbow, pendekatannya pada Inggrid semakin berjalan mulus. Semua yang disarankan sang hantu selalu berakhir dengan keberuntungan untuknya.
***
Terhitung sudah hampir satu minggu Panthana bergabung dengan ekskul volly. Dia selalu tampak bersemangat jika ada jadwal latihan ekskul volly. Tentu dia senang karena selama latihan itu, dia bisa terus berdekatan dengan Inggird.
Inggrid menepati janjinya, dia selain mengajarkan banyak hal tentang volly pada Panthana. Dia juga menemani Panthana latihan. Panthana yang masih awam di dunia volly, sedikit demi sedikit mulai menguasai beberapa teknik dalam permainan volly.
Hari-harinya terasa lebih menyenangkan semenjak dirinya bergabung dengan ekskul volly, bahkan dia pun sudah tidak canggung lagi mengobrol dan menghabiskan waktu berduaan dengan Inggrid. Sangat jauh berbeda jika dibandingkan dulu, di masa lalunya jangankan mengobrol dengan Inggrid sekadar menyapanya saja sudah membuat Panthana gugup setengah mati.
Hari ini tidak ada jadwal pertemuan ekskul volly, Panthana memanfaatkan waktu senggangnya ini untuk menghadiri pertemuan ekskul basket. Jika dipikir-pikir semenjak bergabung dengan ekskul volly, dia memang sering bolos latihan basket. Lagipula menurut Panthana, dalam waktu dekat ini tidak ada turnamen yang akan mereka hadapi, jadi tidak ada salahnya istirahat sejenak dari basket dan memfokuskan diri pada latihan volly-nya.
Awalnya Panthana melangkah riang dengan sesekali bersiul, dia bahkan mengabaikan Bowbow yang terus mengajaknya bicara.
“Thana, kok aku dicuekin sih? Kamu kapan mau bantuin aku lagi?” Tanya Bowbow untuk yang kesekian kalinya.
“Sabar yaaa, gue lagi seneng latihan volly nih.”
“Kok kamu gitu sih. Kan kamu udah janji mau bantuin aku,” gerutu sang hantu kesal.
“Iyalah, pasti gue bantuin lo kok. Tenang aja ya, mungkin besok atau lusa kita lanjutin penyelidikan kita.” Seketika wajah kesal si hantu langsung berubah menjadi berseri-seri. Dia sudah tidak sabar ingin mengetahui identitas dirinya sekaligus misteri kematiannya.
“Hei... Guys!” Sapa Panthana pada teman-temannya yang sedang berkumpul. Panthana menghampiri keempat sahabatnya, Reno, Danu, Malik dan Anjar.
“Sorry ya gue baru sempet ikut latihan,” tambah Panthana, ketika melihat teman-temannya tak ada satu pun yang menyahut sapaannya tadi.
“Lo masih inget ya sama kita, kirain dah lupa.” Reno berujar dengan ketus, sedangkan teman-temannya yang lain hanya terdiam dengan tatapan tak bersahabat mereka pada Panthana.
“Ya, nggak mungkinlah gue lupa. Lo bisa aja becandanya, No,” sahut Panthana seraya terkekeh.
“Lo gak latihan volly, Than? Bukannya sekarang lo ikutan ekskul volly, kan?” Kali ini Malik yang bertanya masih dengan tatapan tak bersahabatnya.
“I-Iya, hari ini gak ada jadwal latihan volly,” jawab Panthana kikuk, menyadari sikap teman-temannya yang aneh dan tidak seperti biasanya.
“Oh, jadi karena gak ada latihan disana makanya lo ke sini. Lo anggep kita ini apa? Selingan lo!” Reno kembali menyahut dengan nada membentak. Bukan hanya Panthana yang terenyak kaget, ketiga sahabatnya yang lain pun ikut terkejut mendengarnya.
“Kok lo ngomong gitu?” Sahut Panthana, tampak tersinggung dengan Reno yang membentaknya.
“Gue kecewa sama lo. Lo ninggalin kita gitu aja, terus beralih ikutan ekskul volly!” Reno masih tersulut emosinya, tercetak jelas dari volume suaranya yang masihh tinggi.
“Gue gak ninggalin kalian kok. Gak ada larangan kan buat siapa pun ikut lebih dari satu ekskul? Kok lo kayak yang gak suka gitu?!” Sanggah Panthana, ikut tersulut emosi. Kini mereka menjadi pusat perhatian semua orang karena anggota ekskul basket lainnya yang sedang berlatih, berhenti sejenak untuk memperhatikan anggota tim inti yang sedang terlibat perselisihan.
“Jelaslah gue gak suka. Lo itu bukan anggota biasa, Than. Lo kapten di tim ini, lo ketua ekskul ini. Jadi lo harus tanggungjawab dong. Lo gak bisa seenak jidat lo bolos. Lo harusnya jadi panutan di sini tapi apa yang lo lakuin? Lo malah gabung ekskul lain. Lo gak mikir banget ya, dimana tanggungjawab lo?!” Reno semakin meninggikan suaranya, semua orang tampak mulai khawatir perselisihan antara Reno dan Panthana akan berujung dengan perkelahian.
“Lo jangan asal ngomong ya. Gue gak pernah lupa sama ekskul ini kok. Gue juga selalu inget sama kalian. Gue sama sekali gak ninggalin kalian.”
“Alah, Bullshit!! Males gue sama lo, Lo pengkhianat!!” Teriak Reno, lebih kencang dari sebelumnya.
“No, tenang No.” Anjar dan Malik mencoba menenangkan Reno yang emosinya tengah memuncak. Tak lama kemudian, tanpa kata Reno melenggang pergi. Anjar dan Malik kembali menatap tak bersahabat pada Panthana, sebelum mereka ikut menyusul Reno pergi.
“Nu, emangnya gue salah ya? Gue berhak dong buat ikutan ekskul lain. Gue juga gak bakalan larang lo semua ikutan ekskul lain kok kalau kalian emang pengen.” Panthana meminta pendapat Danu yang masih setia berdiri di sampingnya, meski dia juga masih menunjukan tatapan tak bersahabat pada Panthana.
“Lo lagi nanya pendapat gue, kan?” Tanya Danu, yang langsung diangguki Panthana.
“Lo jelas salah, Than. Emang bener semua siswa punya hak ikutan lebih dari satu ekskul, termasuk lo. Tapi bener yang Reno bilang, lo itu bukan anggota biasa tapi lo itu ketua ekskul ini, Than. Seenggaknya lo jangan terlalu sering bolos gara-gara lo lebih fokus ikut pertemuan ekskul volly.”
“Tapi kan, kita lagi gak ada turnamen jadi gue pikir ....”
“Nah, itu masalahnya. Lo cuma mikirin diri lo sendiri. Lo gak mikirin anggota ekskul basket. Jujur gue juga kecewa sama lo. Harusnya lo ngomong ke kita kalau lo pengin ikutan ekskul volly. Anak-anak juga gak bakalan larang lo kok kalau lo bisa adil bagi waktu. Tapi lo egois, Than. Lo bertindak seenak hati lo, lo sering bolos terus gak ngomong apa-apa ke anak-anak. Sorry ya, Than. Gue kecewa banget sama lo,” sela Danu panjang lebar, mengungkapkan isi hatinya.
“Nu, Danu!” Panggil Panthana, berharap Danu mau mendengarkan penjelasannya, namun Danu tetap melangkah pergi, meninggalkan Panthana yang masih diliputi rasa bersalah di hatinya.