Jomlo 5

941 Kata
Akhirnya setelah kurang lebih tiga puluh menit perjalanan. Kami pun sampai di sebuah Mall kenamaan di Jakarta. Kukira si jalan tol bakal beneran ngawal kami seharian. Eh ... ternyata dia langsung pergi lima menit setelah kami masuk Mall ini, dan berjanji akan menemui kami lagi setelah urusannya selesai. Please ... jangan tanyakan padaku dia mau ke mana? Karena aku tak mau tahu juga bukan urusanku. "Kok, kamu gak nanya Alan mau ke mana, Mi?" Seperti biasa, Dokter Karina sengaja memancingku. "Ngapain? Bukan urusanku juga, kan?" balasku tak acuh. "Yakin gak kepo? Biasanya kamu, kan, tukang kepo," goda Dokter Karina lagi, membuatku langsung mendengus kesal. "Sebenarnya saya gak terlalu kepo, sih? Tapi ... supaya dokter senang, saya tiruti maunya dokter, deh. Emang ... si pak pengacara itu mau ke mana, Dok? Bukannya, kemarin dokter bilang dia mau ngawal kita." Aku pun memilih mengalah, dan mengikuti mau Dokter Karin untuk bertanya perihal si jalan tol. "Kamu kira Alan itu pengangguran, sampai mau aja di jadiin pengawal saya?" Astaga! Apa, sih, maunya Dokter Karina. Tadi aja menyuruhku untuk bertanya, kenapa sekarang malah tak terima. Harusnya aku diam saja, daripada serba salah seperti ini. "Kamu jangan lupa, ya, Mi. Alan itu seorang pengacara terkenal. Urusannya banyak, jadwalnya juga padat kaya Arjuna. Makanya, mana bisa dia jadi pengawal saya," lanjutnya lagi, masih dengan nada ngegas seperti tadi. "Biasa aja kali, Dok. Kan, saya nanya juga ngikutin titah dokter. Biar dokter seneng, gitu." "Yakin? Buat nyenengin saya atau karena kehilangan?" goda Dokter Karina lagi, sambil menaik turunkan alisnya. "Ya, kali saya kehilangan, Dok? Ngapain amat? Justru saya ngerasa bersyukur gak dipantengin tuh pengacara mulu. Soalnya diliatin dia tuh, kaya diliatin Malaikat maut, tahu gak, sih, Dok!" "Astaga, Hasmi!" seru Dokter Karin tiba-tiba, "Kamu tuh, ya? Kalau ngomong suka bener!" Eh? "Sebenernya saya juga suka merinding tau, kalau liat tatapan Alan. Soalnya horor banget cem kuburan baru." Hahahahaha .... Pengakuan Dokter Karina atas sikap pendiamnya Alan, jelas membuatku tergelak renyah. Meski pada kenyataannya memang seperti itu. "Tapi bukannya si daddy juga sama, ya. Kakunya, dinginnya, horornya sama kayak tuh pengacara? kok, dokter masih mau, sih, terima si daddy?" tanyaku berniat menggodanya. Bukannya langsung menjawab, Dokter Karina malah memicingkan matanya ke arahku, sambil mencebikan bibir. "Ngapain kamu nyamain Alan sama Arjuna? Mau coba-coba pengaruhin saya, ya, biar ninggalin Arjuna. Ck, Gak bakal mempan. Jadi, lupain aja, ya, niat kamu yang mau nikung saya itu." "Yah ... ketauan, deh, niat cantik saya." Tak ayal, aku pun pura-pura tercyduk dan sedih. "Padahal saya udah mikirin ini mateng-mateng loh, Dok. Dan ... saya kayaknya udah siap banget, nih, kalau dokter mau jadiin saya madunya, Dokter," balasku mengikuti kegilaan Dokter Somplak itu. "Aduh gimana, ya, Mi? Saya sebenernya gak masalah, sih, jadiin kamu madu saya. Cuma masalahnya, kamu tuh cocoknya jadi racun saya, deh, daripada madu saya. Soalnya kamu gak ada manis-manisnya. Hahahahaha ...." Asem! "Ah, si dokter mah emang tauan saya banget. Makin lope, deh, saya sama, Dok," balasku yang langsung memeluk Dokter Karina, dan mencium pipinya dengan gemas. Membuat si pemilik langsung misuh-misuh kesal setelahnya. "Hasmi!" serunya kemudian. "Saya bukan m**o!" omelnya, yang berhasil membuat aku kini tergelak puas melihatnya. Emang enak dikerjain balik! Kami takpernah kenal satu sama lainnya. Pertama kali bertemu saat aku berkerja di rumah sakit, tapi sejak pertemuan itulah kami merasa cocok. Bukan hanya karena kebaikan Dokter Karina semata, tapi memang kami bis menjadi patner yang solid dalam segala suasana. Termasuk suasana absurd seperti saat ini. Bayangkan saja, ditempat seperti ini ada orang sedang membicarakan perihal poligami. Di dalam sebuah mall dan kami membahasnya dengan begitu serius. Bahkan Mbok Jum pun langsung mengusap d**a gemoy-nya melihat kelakuan kami. Entah apa yang orang pikirkan tentang kami sekarang? Gila atau apa mungkin ... ah, biar sajalah! Beberapa kali aku memergoki ibu-ibu sudah berbisik-bisik sambil menunjuk arah kami. Namun, persetan dengan semua yang orang pikirkan. Bagiku tak terlalu penting. Tetanggku di kampong saja tak kupedulikan, padahal mereka terang-terangan mengunjingkanku. Hanya karena diusia matangku saat ini, Cuma aku yang belum menikah. Aku tak pernah ambil pusing atas omongan mereka, apa lagi hanya orang asing. Memangnya apa yang bisa kulakukan, saat jodoh tak kunjung datang? Bukan keinginanku juga jika harus telat menikah seperti ini. Aku juga sudah mencoba berpacaran berkali-kali dan membuka hatiku pada pria yang hadir. Malah terakhir hampir di perkosa gara-gara kecerobohanku sendiri. Kalau bukan karna Dokter Karina dan si daddy yang datang menolongku waktu itu, entah akan bagaimana nasibku sekarang? Hal itulah yang akhirnya membuatku menyesal karena asal pilih pacar. Jadi akan lebih baik menunggu saja sampai jodohku datang sendiri. Lagi pula benar apa yang dikatakan Dokter Karina. Jodoh itu tidak akan ke mana. Akan ada waktunya dia bakal datang sendiri. Jadi, tak usah terlalu memaksakan diri. Mau bagaimanapun usaha kita dalam mencari jodoh. Mau sampai koprol, kayang, kepala jadi kaki atau kaki jadi kepala sekalipun. Kalau kata Allah belum berkehendak. Ya ... aku mau bilang apa, coba? Ya, kan? Takutnya seperti yang sudah-sudah, jika aku memaksakan diri yang ada malah jadi salah pilih, dan berakhir kecewa sendiri. Nasib terlalu berharap pada manusia ya begini, hanya akan dapat kecewa saja. Makanya sekarang aku tobat, dan mencoba mengikuti alur yang ada. Jodoh itu cerminan diri. Kutipan itulah yang kupercayai kini. Meski aku tak sebaik itu, tapi aku berusaha memperbaiki diriku pun dengan sebaliknya. Allah tahu apa yang terbaik bagi umatnya, karena apa yang menurutnya baik, belum tentu baik menurut Allah SWT. Semenjak kejadian naas itulah aku memutuskan untuk berhijab dan terus istiqomah. Berharap di pertemukan dengan jodoh yang terbaik menurut versinya Allah untukku. Bismillah! Biar saja orang-orang menertawakanku, toh … akan lebih baik ditertawakan sebelum menikah dari pada tak bisa tertawa setelah menikah karena beratnya beban dalam pernikahan. Bener, gak?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN