Laras memesan lauk dan sayur untuk dirinya sendiri. Yudha tadi berpamitan untuk membeli nasig goreng sea food. Laras sama sekali tidak ingin makan makanan itu. Dulu memang nasi goreng sea food adalah masakan kesukaannya. Akan tetapi, kini sudah tidak lagi.
"Mbak Laras, Pak Yudha keluar?" tanya penjual nasi yang saat ini mengantarkan pesanan Laras itu.
"Oh, ya, Bu. Ada pengen beli nasi goreng. Saya lagi malas keluar saja," kata Laras tidak mau mengumbar masalah rumah tangganya.
Tetangga kompleks pasti mendengar suara keras Yudha yang seperti orang marah. Kadang, Laras merasa sangat malu ketika Yudha harus berteriak ketika marah. Padahal, Laras juga tidak pernah membalas amarah Yudha. Ia berusaha bersikap tenang meski sedang tidak baik-baik saja.
"Berapa, Bu, semuanya?" tanya Laras setelah mengambil dompet di ruang makan.
"Sayur bening bayam dan telur balado semuanya lima belas ribu saja, Mbak. Mbak, aku pengen bilang, ya. Tapi, ini kita saja yang bicara." Penjual nasi itu tampak takut-takut saat mengatakannya. "Pak Yudha dan mantan istrinya tadi hampir digrebek sama warga. Mereka di kamar berdua dan nggak pakai baju," kata penjual nasi itu yang memang tahu bagaimana kronologi kejadian tadi siang.
Tubuh Laras seperti tidak dialiri darah sama sekali. Ia jelas sangat terkejut dan merasa sakit hati. Yudha menghianatinya dengan keji. Laras saat ini berusaha tenang dan seolah tidak terjadi apa-apa.
"Mbak Laras, mending lapor ke komandannya. Pak Yudha pasti dapat sanksi. Kamu orang baik, Mbak. Nggak pantes diperlakukan seperti ini. Kami saja merasa kesal dan sedih saat melihat kamu diperlakukan tidak baik oleh Pak Yudha. Pak ketua RT punya semua buktinya," kata penjual nasi itu dengan wajah prihatin saat melihat Laras yang saat ini wajahnya pucat.
"Biarkan saja, Bu. Saya sudah ditahap lelah ingin tahu apa yang dilakukan oleh Mas Yudha." Laras memberikan uang pas pada penjual nasi. "Tolong rahasiakan kasus ini. Jangan sampai pihak kantor Mas Yudha tahu ada kejadian seperti ini," kata Laras membuat penjual nasi itu tidak habis pikir dengan apa yang ada di dalam otak Laras saat ini.
Setelah penjual nasi itu pergi, Laras terduduk di lantai. Ia lemas mendengar penjelasan dari penjual nasi tersebut. Laras pun segera masuk ke kamar tengah. Benar, di kasur ada bekas cairan, ia paham cairan apa itu karena sudah menikah.
Lima belas menit berlalu, deru mesin mobil membuat Laras segera keluar dari kamar tengah. Ia duduk di kursi ruang makan. Laras seolah sedang makan saat ini. Ia tidak memedulikan kedatangan Yudha saat ini. Laki-laki itu membawa banyak bungkusan.
"Ras, aku beli kue bikang. Kamu suka sama kue ini, 'kan?" tanya Yudha berusaha bersikap sebaik-baiknya pada Laras.
"Nggak suka. Yang suka kue bikang itu Mbak Nadira," jawab Laras lalu menuang sayur bening bayam ke dalam mangkuk kecil.
Yudha terkesiap, kaget mendengar jawaban sang istri. Laras tidak suka kue bikang? Pasti salah, beberapa waktu yang lalu, ia melihat Laras memakan salah satu jajanan pasar itu. Yudha kali ini mendekat ke arah meja makan.
"Maaf." Yudha meletakkan semua makanan yang dibawanya.
Laras hanya fokus makan apa yang ada di depannya. Ia mengabaikan Yudha saat ini. Laras sudah tahap mati rasa. Yudha kini mulai ketakutan saat melihat sayur dan lauk yang ada di meja makan.
"Kamu beli di belakang?" tanya Yudha dengan wajah panik luar biasa saat ini.
"Ya, aku pengen makan sayur bayam tapi nggak punya bayam. Lagian sesekali beli di belakang rumah juga nggak masalah," kata Laras berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi.
"Ras, harusnya kamu bilang sama aku. Jadi, aku bisa beli bayam di supermarket depan itu. Nggak usah beli sayur mateng di belakang rumah. Kadang mereka nggak bersih kalo masalah masak memasak," kata Yudha yang kini mulai panik.
"Kalo nggak bersih, nggak mungkin ketering Bu Andra lancar dan tambah besar seperti sekarang. Bahkan pas acara syukuran kemarin itu, ternyata salah satu kantor pemerintah berlangganan untuk pesan makan siang. Kalo nggak tahu jangan suka nuduh, Mas. Kalo ada orang dengar bisa dituntut," kata Laras dengan wajah menahan amarah meski tidak terlihat.
"Emang kamu ngobrol apa sama dia? Sampai tahu kalo ada kantor yang langganan makan siang sama dia." Yudha mengatakan dengan nada dingin. "Mereka suka gibah, suka bahas apa-apa yang belum tentu benar. Makanya banyak rumah tangga yang hancur karena rajin dengar gibah orang lain," omel Yudha yang saat ini merasa sangat kesal pada sang istri.
"Nggak ada yang gibah. Aku datang ke acara sukuran itu. Jadi, diumumkan sekalian jika menerima pesanan dalam partai besar. Yang bikin rumah tangga hancur itu bukan mendengar gibah, tapi ketidakjujuran pasangan. Misal, ada pasangan selingkuh sampai cek in di hotel dan ketahuan istri sah. Baru itu itu bikin rumah tangga hancur. Aku masih bisa milih mana omongan yang benar atau hanya sekadar gibah saja." Jelas, tepat, dan padat ucapan telak Laras membungkam Yudha saat ini.
Yudha berulang kali menarik napas panjang karena terkejut mendengar ucapan Laras. Ia jelas tahu jika Laras tidak suka ikut acara gibah komplek yang tidak berguna sama sekali. Selepas kerja, Laras akan tinggal di rumah karena sudah lelah bekerja. Istri Yudha paling hanya memasak jika ada bahan makanan di kulkas.
"Ras ... gimana kerjaan hari ini?" Pertanyaan Yudha menjelaskan jika ucapan Bu Andra benar adanya.
"Biasa saja." Laras menjawab singkat pertanyaan sang suami lalu melanjutkan makan. "Aku duluan," pamit Laras yang kini sudah selesai makan sayur bening bayam.
Laras mengemas semua bekas makanan. Ada telur balado yang belum dimakan dan segera dibawa ke dapur. Wanita yang kini menahan tangis itu memanaskan balado telur itu agar tidak basi. Yudha bahkan lupa jika Laras sebenarnya libur hari ini.
Selera makan Yudha mendadak hilang seketika. Ia lantas ke kamar tengah dan membuka sprei yang tadi dipakai untuk melepaskan hasrat binatang bersama Nadira. Entah mengapa, sang mantan istri itu selalu bisa menggodanya. Pun dengan Yudha yang tidak bisa menolak kemolekan tubuh Nadira.
"Laras?" Yudha terkejut saat melihat Laras ada di depan pintu. "Aku bantu kamu buat ganti sprei. Bekas anak-anak kemarin belum dicuci," kata Yudha sedikit panik saat melihat wajah datar sang istri.
"Oh." Laras hanya ber-oh ria lalu menuju ke halaman.
Laras hendak menyiram tanaman di depan. Entah sudah berapa hari tidak disiram dan ada beberapa yang layu. Dulu, Laras sangat rajin merawat tanaman di depan rumah Yudha. Akan tetapi, kini sudah tidak lagi karena satu dan lain hal.
"Mbak Laras, nanti malam ada pertemuan rutin RT. Pak Yudha dimohon hadir, ya, kalo ada di rumah," kata salah satu tetangga yang membagikan undangan tertulis pada Laras yang baru saja hendak menyalakan kran untuk menyiram tanaman.
"Oh, ya, terima kasih, Mbak," kata Laras yang kini menerima undangan tertulis itu.
Tetangga Laras pun berpamitan pulang. Istri Yudha itu pun segera masuk ke dalam rumah. Ia menyerahkan surat undangan pada sang suami. Yudha hanya bisa mendesah pelan.
"Bisa, nggak, kalo nggak datang?" tanya Yudha membuat Laras menatapnya heran.
"Emang kenapa, Mas? Ini pertemuan rutin setiap bulan." Laras mencoba memancing sang suami.
"Aku capek, Ras. Aku nggak datang. Apa lagi di rumah Pak RT yang istrinya tukang gibah." Yudha menyembunyikan sesuatu dari Laras.
"Bu Andra itu bukan tukang gibah, Mas. Beliau selalu mengatakan jika fakta itu memang benar adanya. Memangnya ada masalah apa sama Bu Andra? Selama ini aku nggak pernah lihat Mas Yudha bertengkar dengan warga di sini." Laras mengatakan hal yang sangat ambigu pada sang suami.
Menjawab salah, tidak dijawab pun juga salah, pertanyaan Laras sangat menjebak. Yudha hanya bisa mengembuskan napas panjang. Laras menatap sang suami yang wajahnya menunjukkan kebingungan. Laras hanya bisa tersenyum miris saat ini.
"Nggak usah takut buat datang ke acara itu, Mas. Atau jika kamu tidak mau, aku saja yang wakilkan," kata Laras membuat wajah Yudha piasa seketika.