7. Merahasiakan Kehamilan Laras

1142 Kata
Hening, tidak ada obrolan antara Laras dan Arkan. Laki-laki yang memendam perasaan mendalam pada Laras itu bingung harus bagaimana. Tatapan Laras kosong saat ini. Mereka ada di taman depan puskesmas. "Mas Arkan, tolong rahasiakan kehamilan saya dari siapa pun. Saya mohon banget, Mas," kata Laras sambil mengusap air mata yang mendadak mengalir. Ya, hasil tes darah yang dilakukan di puskesmas menyatakan jika Laras hamil. Untuk lebih detail, pihak puskesmas menyarakan agar periksa pada Dokter Obgyn. Laras jelas bahagia saat ini, tetapi belum tentu dengan sang suami. Yudha pernah bilang agar menunda mempunyai momongan dan ingin merasakan pacaran setelah menikah. Yudha tidak pernah menjelaskan apa alasan ucapannya itu. Laras ingin bertanya, tetapi diurungkan. Ia tahu, Yudha bukan orang yang bisa menjelaskan sesuatu. Orang harus paham apa yang diinginkannya. "Tapi, suami kamu harus tahu, Ras. Ini anak kalian berdua," kata Arkan yang tidak paham dengan ucapan Laras. "Masalah suamiku, biar aku saja yang bilang," kata Laras membuat d**a Arkan berdenyut nyeri saat ini. "Aku paham, semoga dengan kehamilan kamu, bisa menambah kebahagian dalam rumah tangga kalian." Doa yang terucap dari mulut Arkan membuat d**a laki-laki itu berdenyut nyeri saat ini. "Terima kasih atas doa baiknya, Mas," kata Laras berusaha tersenyum meski hati sedang tidak baik-baik saja. "Aku pamit pulang dulu, Ras. Kebetulan ada acara di rumahku. Aku nggak enak kalo nggak ikut," kata Arkan yang sudah mulai tidak nyaman dengan hatinya saat ini. Anggukan Laras sebagai jawaban membuat Arkan meninggalkan perempuan itu. Laki-laki yang kini sudah berada di atas motor itu tidak mau semakin merasa sakit karena kehamilan Laras. Ia tahu, wanita yang dicintainya dalam diam itu menyimpan rasa sakit yang luar biasa. Arkan paham, Yudha bermain api dengan sang mantan istri. Pukul 15.30, Laras baru saja sampai di rumah. Rumah ini sangat sepi ketika Laras masuk. Akan tetapi, samar-samar terdengar suara dua orang dari kamar tengah. Sebuah kamar yang biasa dipakai oleh anak-anak Yudha saat menginap. Laras berjalan mendekat dan sangat terkejut. "Laras?" Yudha tak kalah terkejut saat mendapati sang istri ada di balik pintu kamar tengah. "Kamu jangan salah paham. Ini nggak seperti yang kamu kira," kata Yudha lalu gegas keluar dari kamar tengah. "Biasa aja ngeliatnya, Ras. Aku nyari baju pink punya Kayla. Itu seragam sekolah buat besok pagi," kata Nadira dengan santai. Laras hanya mengembuskan napas kasar. Tanpa banyak kata, ia langsung ke kamar dan ingin segera mandi. Tubuhnya terasa sangat lengket karena cuaca siang ini sangatlah panas. Yudha mengekori sang istri yang masuk ke kamar mereka tanpa sepatah kata pun. "Kalo kita tinggal di rumah dinas, gimana, Mas?" tanya Laras mencoba tidak berpikir negatif pada sang suami. "A-apa? Di sana itu rumahnya sempit dan nggak nyaman," tolak Yudha gugup karena ucapan Laras yang mendadak. "Aku nyaman di sana. Banyak ibu-ibu Persit di sana. Juga, Mbak Mia juga ada di rumah dinas,"kata Laras sambil membersihkan riasan wajah sebelum mandi. "Kalo Mia dan Mas Akbar memang karena mereka belum punya rumah, Ras. Lah, aku udah punya rumah. Ngapain juga tinggal di rumah dinas?" Yudha sepertinya salah bicara pada Laras. "Kata siapa Mbak Mia dan Mas Akbar belum punya rumah? Kemarin Mbak Mia datang kasih undangan acara syukuran rumah baru mereka. Hanya saja, mereka akan tetap tinggal di rumah dinas. Atau kamu nggak mau tinggal di rumah dinas agar bisa leluasa?" tanya Laras sengaja menggiring bola panas saat menyadari jika Nadira mengintip di balik pintu. Wajah Yudha mendadak pias. Bagi Yudha, Laras tahu segala hal. Entahlah, sang istri tampak santai. Yudha saja tidak tahu jika hati dan pikiran Laras sedang sibuk berperang yang tidak akan tahu sampai kapan peperangan itu. "Ras, anak-anakku nggak akan betah jika tinggal di asrama. Di sana sangat ketat," kata Yudha sengaja mengalihkan topik bahasan mengerikan itu. Laras hanya tersenyum miris. Ia menertawakan nasib hidupnya saat ini. Ternyata, tidak semudah itu bagi Yudha untuk bisa tidak memprioritaskan masa lalunya. Laras tidak meminta lebih, hanya saja, jauhi mantan istri, itu saja. "Oke." Laras menjawab singkat lalu masuk ke dalam kamar mandi. Yudha menjambak rambut dengan kasar. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana saat ini. Tanpa tahu sopan dan santun, Nadira masuk ke kamar Yudha dan Laras. Suami Laras itu sangat terkejut saat melihat Nadira duduk di salah satu ujung ranjang. "Ngapain kamu ke sini? Bukannya udah langsung balik dari tadi," kata Yudha panik saat melihat Nadira duduk santai sambil menyilangkan kaki. Yudha langsung menarik sang mantan istri agar keluar dari kamar. Ia tidak mau jika Laras melihat hal ini. Terlambat, Laras sudah melihatnya dari balik pintu kamar mandi. Ia hanya bisa tersenyum miris. Mungkin, ini salah satu alasan Yudha tidak pernah mau tinggal di rumah dinas. Laki-laki itu bisa dengan leluasa bertemu dengan Nadira. Pasti, bukan satu atau dua kali saja mereka bertemu. Entah, selama ini Laras sibuk bekerja karena memang untuk memberikan ketenangan dalam hati. "Ras, kita makan di luar, yuk," kata Yudha pada sang istri saat baru saja mengusir Nadira dengan kasar. "Oh, aku capek. Mau makan di rumah saja," kata Laras yang memang masih merasakan lemas pada tubuh. "Kenapa sih? Cuma makan di luar aja, toh, naik mobil kita ke tempat tujuannya," kata Yudha yang selalu memaksa Laras agar mengikuti kemauannya. "Mas, aku lagi nggak enak badan banget. Kalo kamu mau makan di luar, silakan saja," kata Laras malas berdebat dengan sang suami. "Ras, kamu itu selalu saja ada alasan ini dan itu setiap kali aku ingin ajak kamu makan. Nggak enak badanlah, capeklah, apa lagi?" Yudha kesal dengan semua alasan Laras saat ini. "Sudahlah, capek dan bosan aku ngajak kamu. Jangan salahkan aku jika aku akan ajak wa ...," ucap Yudha tidak selesai karena Laras menoleh. "Silakan saja ajak wanita lain dan itu Mbak Nadira. Tidak perlu mengancam, Mas. Bukankah kalian sudah sering pergi bersama?" Laras mengatakan dengan cara santai, tetapi sukses menohok Yudha. "Mas Akbar bilang, kamu kemarin sama Mbak Nadira, Mas," kata Laras membuat Yudha semakin kesulitan menelan saliva saat ini. Akbar Nugraha adalah atasan Yudha yang juga dekat dengan Laras. Pertemuan pertama laki-laki yang masih menyimpan nama Nadira sangat rapi di dalam hati itu juga bersama dengan Akbar. Ah, ya, entah apa saja yang dikatakan Akbar pada Laras? Yudha saat ini merasa sangat waspada dan juga ketakutan yang luar biasa. "Ras ... jangan dengarkan Mas Akbar. Bisa saja dia sengaja ngomporin kita agar bertengkar. Sebelum nikah sama Mia, dia juga ada rasa sama kamu," elak Yudha yang selalu saja mengalihkan masalah agar orang lain menjadi tersangka baru. "Mas Yudha, nggak usah panik. Biasa saja, lagian Mas Akbar tidak pernah menyukaiku. Sejak awal, beliau selalu mencintai Mbak Mia. Mereka tumbuh bersama sejak kecil. Justru mereka berdua yang meyakinkan aku agar mau menerima kamu." Ucapan Laras kembali menohok Yudha saat ini. Banyak sekali ucapan Laras yang mengejutkan Yudha. Ucapan sang istri jelas sangat spontan. Laras tidak terbiasa berbohong dalam hal apa pun. Ia selalu mengatakan apa yang dirasakan. "Ras ... itu aku ...." Yudha tidak akan pernah punya solusi untuk setiap masalah yang ada.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN