Hari yang melelahkan dan Sellena harus berkutat dengan semua make up, gaun, dan pernikahan bodoh milik Hellena Olliver. Sebagai seorang saudari kembar, ia memiliki perasaan yang sama mengenai 'sesuatu yang ingin dimiliki'.
Sellena masih ingat bagaimana ia pernah juara dalam acara modelling sekolah ketika ia masih duduk di sekolah menengah pertama. Pada waktu itu Sellena sama sekali tak memiliki cukup kepercayaan diri sedangkan pihak sekolah benar-benar menggantungkan harapan mereka di pundak Sellena. Hellena, saudarinya yang rada centil dan penuh percaya diri itulah yang menjadi penyelamatnya.
Walau terlihat seperti menipu setidaknya Sellena bisa merasakan bagaimana saudari perempuannya itu berjuang menyelamatkan harga dirinya. Dan kali ini, seperti yang dilakukan Hellena padanya, Sellena akan membantu keinginan Hellena agar terwujud. Yeah, walau itu terdengar begitu konyol.
"Bagaimana menurutmu, Nona?" tanya sang juru make up pada Sellena yang terlihat melamun di depan kaca besar, tempat dimana ia harus merias dirinya bak pengantin sungguhan.
Sellena tersadar dari lamunan panjang saat ia masih sekolah dulu, menatap ke arah kaca, Sellena nyaris tak mengenali dirinya. Mata gadis itu terbelalak tak percaya dengan hasil make up yang begitu fantastis.
Wildan, sang juru make up tersenyum puas. Ia tahu jika kliennya kali ini benar-benar terpesona dengan keajaiban yang ia tebarkan. "Nona, wajahmu belum pernah tersentuh make up yang berbahan tebal sehingga kami mudah mengaplikasikan seluruh make up set ke wajah Anda."
"Ah, aku tahu. Kau seorang juru make up yang terkenal, pantas saja Hellena bersikeras ingin menggunakan jasamu." Sellena menoleh sejenak ke arah pria yang kini mendandaninya dengan begitu cantik.
Wildan tersenyum malu, ia lantas kembali menata rambut Sellena dengan gaya sanggul klasik. "Benarkah?"
"Ya, aku dengar dari ibuku barusan. Beliau bercerita kalau Hellena sudah memilih semuanya dengan hati-hati dan memiliki kemampuan yang bagus," cerita Sellena dengan menggebu, membuat Wildan hanya bisa tertawa kecil lalu melanjutkan tugasnya.
"Kami bekerja untuk kepuasan pelanggan, Nona." Wildan merendahkan hati. Sellena tersenyum seraya menatap sang pria berkaca mata yang kini tengah menyanggul rambutnya.
"Semua wedding organizer berkata demikian. Semua demi kepuasan pelanggan tapi nyatanya mereka hanya omong di depan saja. Aku sudah banyak mendengar keluhan dari teman-temanku yang menikah, kebanyakan mereka kecewa dan terlalu terburu dalam memilih."
Wildan kembali tersenyum, memilih tak berkomentar apapun. Tugasnya di sini adalah melayani dan bukan berbagi bualan yang sama sekali tidak berfaedah. Dengan tangan cekatannya, Wildan mampu menampilkan sanggulan rambut yang cantik dan rapi dalam waktu singkat. Lagi-lagi Sellena tertegun, merasa tak percaya jika gadis di dalam kaca itu adalah dirinya.
"Sekarang Nona hanya tinggal mengenakan gaun yang terpajang disana. Aku harap ukuran itu pas untuk tubuh Nona," ucap Wildan seraya menunjuk pada sebuah gaun putih yang terpajang di sebuah manekin di pojok ruangan.
Sellena terpaku ketika Wildan menghampiri gaun itu dan melepasnya dari manekin. Sebuah gaun berwarna putih dengan manik-manik penuh permata swarovsky terlihat begitu anggun dan mewah. Hellena pasti sudah menyiapkan semua ini jauh-jauh hari terlebih calon suaminya adalah pria kaya yang tak terbantahkan.
Sellena tersenyum ketika menerima gaun itu. Rasanya seperti mimpi bisa menyentuh gaun sebagus dan semewah itu. Nanti jika ia menikah dengan Ivan, ia tidak akan membebani suaminya dengan permintaan gaun pesanan seperti ini. Ia ingin gaun yang biasa, yang berwarna putih bersih dan beberapa aksen renda.
"Silakan Nona pakai, pernikahan hanya tinggal setengah jam lagi. Aku harap keberuntungan ada di pihak Anda," ucap Wildan pelan seraya melempar senyum ke arah Sellena.
Gadis berparas cantik itu membalas senyum, ia menganggukkan kepala lalu berbalik badan menuju ke ruang ganti. Dengan ditemani seorang gadis cantik, Sellena dilayani untuk memakai gaun mewah tersebut.
Sellena kembali terpukau, gaun yang ia pakai sungguh sangat pas di badan. Ia menatap pantulan dirinya yang sudah memakai gaun di kaca besar di ruang ganti.
"Nona, kau benar-benar sangat cantik. Aku yakin calon suamimu akan tergila-gila setelah melihatmu," puji gadis itu dengan senyum tulus.
Sellena menatapnya terpaku, ia lantas menatap pantulan dirinya sekali lagi. Harusnya yang memakai gaun ini Hellena dan bukan dirinya. Mendadak jantung Sellena berdebar, ia membayangkan bagaimana rupa wajah calon suami Hellena saat ini. Benarkah ia akan menikahi pria itu? Pria yang digilai Hellena hingga di waktu yang genting pun ia masih memohon untuk menahan suaminya.
Ya Tuhan, siapapun calon suami Hellena, semoga ia bisa mengampuni dosa Sellena dan merasa tidak ditipu.
"Apa kau sudah siap?" William Olliver berseru dari luar ruang ganti, memudarkan lamunan Sellena sejenak.
Gadis itu lalu keluar dari ruang ganti dan menemui ayahnya. William terpaku menatap Sellena, ia tak percaya jika putrinya yang dulu berkaca mata dan berpenampilan sederhana berubah menjadi gadis bak putri raja.
William tersenyum, ia juga tengah bersiap memakai jas hitam miliknya. Ya, setelah mengantarkan Hellena ke rumah sakit, William kembali ke rumah untuk menemui para tamu dan berlagak seolah tidak terjadi apa-apa.
"Mari keluar, pernikahan akan segera dilaksanakan." William memberi instruksi pada Sellena. Gadis itu terdiam, ia sibuk dengan pemikirannya sendiri.
Wajah yang semula semringah karena melihat gaun dan juga make up yang sempurna, kini perlahan menegang luar biasa. Pernikahan Hellena sudah di depan mata, bagaimana ia harus bersikap nanti di depan calon suaminya?
William melirik ke arah Sellena, mengamatinya sejenak pria paruh baya itu mendengkus pelan. "Terima kasih Sellena, berkat kau nama keluarga kita terselamatkan. Aku harap Hellena segera sembuh dan bisa melepaskan beban ini darimu."
****
Altar penuh dengan bunga itu kini sudah ramai oleh tamu undangan. Beberapa orang tamu dari kalangan atas ke bawah tampak berbahagia ketika melihat calon mempelai pria yang memakai setelan jas putih memasuki altar. Wajah Darrent Vausteent sangat menawan, wajar saja jika Hellena begitu gandrung dan enggan untuk melepasnya.
Senyum Darrent mengembang ketika melihat gadis yang ia percaya sebagai mempelainya hadir bersama sang ayah. Jantungnya berdebar tak karuan ketika gadis cantik itu berjalan ke arahnya dengan diiringi oleh sang ayah.
Sellena mengeratkan pegangannya pada tangan sang ayah. Buket bunga mawar merah yang ia pegang di tangan kanan turut bergetar ketika tanpa sadar gadis itu panas dingin oleh pernikahan palsu yang saat ini ia jalani.
Ya Tuhan, maafkan hambamu ini, batin Sellena menceracau.
Langkah sang pengantin wanita semakin dekat, ia tak tahu harus bagaimana ketika pria itu berhasil membuka tudung putih yang kini menjuntai di atas kepalanya. Dia—dia Darrent, suami Hellena dan bukan Ivan, kekasihnya.
Senyum Darrent kembali mengembang ketika Sellena hadir tepat di hadapannya. Dalam hitungan detik Sellena bisa tahu apa yang membuat saudarinya begitu mengejar Darrent mati-matian. Ya, pesona pria itu benar-benar tak terkalahkan. Sepasang biji mata berwarna biru cerah kini tengah menatap mesra ke arah Sellena, menawarkan sebuah senyum yang tak bisa dielakkan kaum hawa manapun.
"Kau sangat cantik," ucap Darrent berbisik tepat di hadapan Sellena, pria itu kembali tersenyum setelah berhasil menciptakan rona merah di wajah ayu calon istrinya. Sellena hanya diam, menelan ludahnya sekali lagi guna menenangkan hatinya yang kini mungkin berloncatan dan tidak berada di tempatnya.
Janji suci itu akan dimulai, berhadapan dengan pendeta dan berjanji setia atas nama Tuhan. Ketika keduanya saling berhadapan untuk mengucap janji, hati Sellena panas dingin. Tak seharusnya ia mempermainkan janji suci ini di hadapan sang Tuhan, tak seharusnya ia berada di altar suci ini dan mengucapkan janji dengan pria yang sama sekali tidak ia cintai. Penyesalan mulai mendera, rasanya gadis itu ingin berlari dan pergi menjauh dari suasana pernikahan yang sama sekali tidak sesuai dengan keinginan hatinya.
"Silakan Tuan Darrent untuk mengucapkan janji suci untuk calon istri Anda," instruksi pendeta pada Darrent yang terlihat begitu mantap dengan apa yang menjadi pilihannya sekarang.
Darrent kembali mengulas senyum, ia menatap Sellena yang ia yakini sebagai Hellena dan menatap gadis itu tak jemu-jemu. Meskipun Darrent menangkap sikap aneh kekasihnya, ia tidak ambil pusing dengan apa yang ia lihat sekarang.
"Hellena Olliver, aku mengambil engkau menjadi seorang istriku, untuk saling memiliki dan juga menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, dan pada waktu sehat maupun sakit. Untuk selalu saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang sangat tulus." ucap Darrent dengan keseriusan. Pria itu mengucapkannya dengan lantang dan mantap, membuat perasaan Sellena hanyut tidak karuan. Andai saja pria itu mengucapkan namanya dan bukan nama kakak perempuannya maka—
Sellena tersadar dari lamunan kecilnya saat pengeras suara yang berada di altar itu didekatnya ke arah dirinya, menuntut agar sang gadis segera mengucapkan janji suci yang sama terhadap Darrent Vausteent.
"Darrent Vausteent, aku mengambil engkau menjadi seorang suamiku, untuk saling memiliki dan juga menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, dan pada waktu sehat maupun sakit. Untuk selalu saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang sangat tulus."
Semua hadirin bertepuk tangan atas janji suci yang terucap keduanya, semuanya terlihat bahagia kecuali Sellena Olliver dan juga keluarganya. Hari ini mereka semua telah berdusta di hadapan Darrent, keluarga Darrent, hingga di hadapan Tuhan yang mereka junjung.
"Anda sudah bisa mencium istri Anda," ucap sang pendeta pelan, memberi isyarat pada Darrent agar mencium istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang.
Darrent melempar senyum, ia lalu meraih kepala Sellena dan mencium dahinya. Gadis itu terbungkam seribu bahasa, membiarkan pria lain menyentuh kepalanya dan menawarkan ciuman penuh kasih di dahinya. Apa yang harus ia lakukan setelah ini? Apakah sandiwara baru saja akan dimulai?
Terbayang jelas beban berat yang akan dipikul Sellena setelah pernikahan ini. Satu-satunya cara adalah meminta Hellena untuk segera sembuh dari sakitnya dan bisa menggantikan posisinya di sini.
"Apakah kau bahagia dengan pernikahan ini, Hellena?" bisik Darrent seusai mencium dahi Sellena. Gadis itu memberanikan diri untuk menatap pria yang seharusnya menjadi suami kakaknya. Tatapan Sellena yang sedikit malu-malu membuat tanda tanya besar di hati Darrent, hanya saja pria itu mencoba menepis perbedaan sikap yang dialami istrinya. "Apa kau tidak bahagia? Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?"
Sellena sadar telah melakukan kesalahan. Buru-buru ia melukis senyum lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak, aku bahagia dengan pernikahan ini. Pernikahan yang aku nantikan cukup lama untuk bisa bersanding denganmu, Da-rrent."
Senyum manis itu kembali terlukis di bibir Darrent. Jawaban yang diberikan istrinya membuat hati pria itu melunak dan meleleh seketika. Wajah Sellena memerah, ia kembali tertunduk guna menyamarkan rasa malu yang kini menutupi seluruh wajahnya. Darrent merasa gemas, tak biasanya Hellena bersikap seperti itu. Namun sikap istrinya yang demikian justru membuat Darrent semakin menggilai gadis tersebut.
Perlahan tapi pasti Darrent menarik dagu Sellena lalu melabuhkan sebuah ciuman hangat di bibir sang gadis. Sellena terhenyak, ia terbungkam saat bibir pria itu berhasil menyentuh satu-satunya aset dirinya yang begitu ia jaga. Tepuk tangan riuh dari tamu undangan kembali membahana, menyadarkan Sellena jika saat ini ia tengah berada di sebuah pernikahan palsu atas nama kakaknya, Hellena Olliver.
"Aku bahagia bisa bersamamu, Hellena. Jangan tinggalkan aku apapun keadaannya," ucap Darrent seusai mencium bibir kenyal warna merah milik Sellena. Gadis itu kembali menahan rasa malu, tertunduk, dan ingin menangis.
Darrent mengerutkan dahi, ia kembali merasa heran saat melihat istrinya menitikkan air mata. "Kenapa? Apa ada yang salah? Kenapa kau menangis, Hellena?"
Wajah Darrent mendadak resah saat istrinya menitikkan air mata di depannya. Pria itu bertanya-tanya mengenai kesalahannya, ia takut apa yang ia ucapkan tidak berkenan untuk hati kecil istrinya.
Sellena lalu menggeleng, ia menghapus air matanya dengan ibu jari. Tidak ingin menggagalkan pernikahan kakaknya, Sellena kembali berpura-pura bahagia. "Tidak ada yang salah, Darrent. Aku bahagia dengan pernikahan ini sehingga aku-aku menitikkan air mata bahagia."
Darrent tertegun, tak biasanya Hellena yang ia kenal menitikkan air mata. Gadis yang ia kenal begitu bandel, keras kepala, dan pantang menyerah. Namun mendadak hati Darrent melembut setelah tahu jawaban itu. Rasa cintanya pada Hellena membeludak bak air di pancuran, ia semakin menyayangi wanita cantik yang berdiri di hadapannya tersebut. Pria itu menarik napas lalu memeluk Sellena dengan lembut.
"Jangan menangis lagi, kita sudah menikah sekarang. Percayakan hidupmu padaku, aku pasti akan membahagiakanmu." Darrent mengucap janji, berbisik di telinga Sellena dengan lembut. Hal itu membuat Sellena kembali tak bisa membendung air mata yang sempat ia tahan.
Kenapa pernikahan palsu ini harus terjadi? Darrent berhasil membuatnya merasa bersalah. Tak seharusnya ia berdiri di altar mewah ini dan disaksikan ribuan tamu undangan dengan mimik wajah penuh bahagia dan memuja. Tidak! Ini salah tapi Sellena tak punya kesempatan untuk bicara.
Andai Hellena tahu penderitaan Sellena di sini, andai saudari kembarnya itu tidak sakit dan tidak menyembunyikan sakitnya, andai Hellena bisa hadir dan Darrent bisa menerima keadaan ini maka—mungkinkah perasaan Sellena bisa lega dan tak terbebani seperti ini?
Sellena menatap Darrent sekali lagi. Pria itu benar-benar menawarkan perasaan yang tulus melalui senyumnya. Seraya mengusap pipinya dengan lembut, Darrent berbisik mesra pada Sellena yang terus membungkam bibirnya. "Sayang, kita akan berbulan madu secepatnya. Seperti yang kau katakan tempo hari, kita akan segera memiliki bayi selepas pernikahan. Apakah kau bahagia? Tentu saja aku juga bahagia. Kita akan segera memiliki bayi, bukankah itu sebuah rencana yang bagus? Sayang, aku sudah tidak sabar lagi untuk menimang bayi. Bukankah kau juga memiliki perasaan yang sama denganku? Hellena, aku mencintaimu."
****