It Takes Two To Tango [ White Edition ]

"Mulai hari ini aku titipkan dia pada kalian, kalian hanya punya satu anak perempuan. Ditambah satu anak laki-laki juga tidak akan masalah, kalau masalah uang jangan khawatir. Setiap bulan selalu aku kirimi, kalian tahu pekerjaanku, jadi aku tidak bisa bawa anak ini bersamaku." Seorang pria dengan balutan pakaian tebal dan wajah yang tertutup hingga setengahnya berdiri menatap pasangan suami istri yang baru saja terbangun dari tidurnya. Sekarang tepat pukul satu malam, jika bukan pria ini yang muncul di layar kamera, pintu rumah tidak akan pernah mereka buka. Si suami menatap istri seolah bertanya tentang persetujuan. Si istri hanya mengangkat bahu tidak peduli, ia tidak terlihat menolak tetapi tidak juga menerima dengan suka rela. Wanita itu terlalu malas mengurus satu anak lagi, dan terlalu sayang untuk menolak uang yang akan datang padanya. Si suami mengembuskan napas pelan, menatap ke arah tamu yang datang lalu mengangguk setuju. "Bagaimana pun juga ia tetap memiliki hubungan darah dengan Mia, aku pamannya, tidak mungkin bisa aku membiarkan anak ini terlantar begitu saja. Sebelumnya, apa aku boleh tahu apa yang terjadi pada Reki dan Marianata?" tanya si suami penasaran, ia melirik ke arah kondisi anak lelaki berusia enam tahun yang penuh luka-luka itu. "Kecelakaan, Reki dan Marianata mengalami kecelakaan. Informasinya cukup sampai di sini saja, tidak ada lebih dan kurang. Anak ini tidak akan ingat apa-apa, jadi kalau dia tanya tentang orang tuanya katakan kalau orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Selebihnya kalian bisa urus dia seperti biasa, uangnya akan aku transfer setiap tanggal dua pada awal bulan. Aku harus segera pergi, dan mungkin aku akan datang lagi nanti, tidak pasti," ujarnya ragu. Perlahan tubuhnya beranjak dari sofa besar yang basah karena air hujan yang menempel pada tubuhnya. Singkat tangan besar dingin itu mengusap kepala anak lelaki yang tertidur pulas. "Aku pergi," pamitnya singkat. Si suami mengangguk sebagai jawaban, ia melambaikan tangannya sebelum menutup pintu. "Baiklah, kita sudah putuskan untuk merawatnya. Aku harap hal ini tidak jadi masalah ke depannya, kau paham ucapanku bukan?" tanya si suami pada istrinya yang masih terlihat acuh tak acuh. Si istri ikut berdiri dari sofa, menaikkan pundaknya singkat lalu tersenyum tipis. "Paham sekali, asal uangnya tetap mengalir, tidak akan ada masalah yang timbul. Jeffrey bukan tipe laki-laki pembohong, meski aku tidak tahu apa pekerjaannya, tetapi aku tahu jika dia punya banyak uang. Kita tidak punya kesempatan seperti ini dua kali, jadi harus benar-benar dimanfaatkan," terang si istri dengan nada bicara picik. Si suami tidak membantah, atau lebih tepatnya ia tidak bisa membantah jika saat ini keluarganya benar-benar membutuhkan uang. Ekonomi keluarga mereka sangat merosot tahun ini, kebiasaannya berjudi dan kebiasaan belanja istrinya membuat keuangan mereka semakin memburuk. Dengan kata lain, merawat anak lelaki ini adalah satu-satunya cara agar mereka dapat uang tambahan. Si anak lelaki bernama Zen. Nama lengkapnya tidak pernah disebutkan karena beberapa alasan, Zen adalah anak dari saudara jauh si suami. Ayah dari Zen kecil dikenal sebagai seorang pilot ternama dengan gaji tinggi, sementara ibu Zen yang bernama Marianata bekerja sebagai seorang suster di salah satu rumah sakit besar ibu kota. Namun, meski berpenghasilan tinggi, Reki dan Marianata dikenal hidup dengan mengasingkan diri. Mereka tidak pernah ikut acara sosial atau pun berkunjung ke rumah keluarga yang tersisa setelah insiden tidak mengenakkan belasan tahun silam. Karena hal itulah, si pasangan yang membutuhkan uang ini tidak pernah bisa mendekati Reki dan Marianata dan kesulitan untuk meminjam uang atau meminta bantuan dari keduanya. Sejujurnya, tidak ada dari mereka yang peduli tentang keselamatan Reki, Marianata atau Zen, yang mereka pedulikan hanya tentang uang dan bagaimana mereka melanjutkan hidup di tengah lilitan hutang. "Aku akan bawa anak ini ke kamar, kamar di atas kosong, 'kan? Tidak pernah dibersihkan ya?" tanya si suami setengah menggerutu. Kedua tangannya kini menggendong tubuh mungil Zen untuk membawanya ke kamar. Si istri menggeleng. "Buat apa dibersihkan? Tidak ada yang tinggal di situ, kau mau menambah pekerjaanku lagi? Jangan gila, kalau mau bersihkan, bersihkan sendiri. Sudah cukup aku menerimanya di sini, beban memasakku juga bertambah nantinya." Si istri mengerutkan kening ketika menjawab pertanyaan suaminya sendiri, ia merapatkan pakaiannya dan berjalan kembali menuju kamar utama. Si suami hanya mendengus kasar karena jawaban istrinya, ia selalu tahu jika istrinya itu mencintai uang di atas apa saja. Sudah lama ia ingin menggugat cerai, tetapi masalah harta warisan yang ditinggalkan ibu dari istrinya selalu membuatnya terhenti. Lelaki besar itu berjalan dengan langkah beratnya, berat badan yang mencapai tujuh puluh kilo itu jelas saja cepat lelah meski hanya menaiki sedikit anak tangga. Perlahan ia baringkan Zen di atas tempat tidur yang debunya sudah menumpuk, debu di atas lemari dan di lantai juga tidak mau kalah berikut sarang laba-laba di bagian jendela. "Setidaknya kau tidak tinggal di jalanan, meski kau akan sulit tinggal di sini, aku jamin jauh lebih baik di sini dibanding jalanan," racau si suami pada Zen yang masih tertidur. Lelaki yang baru menginjak usia empat puluh tiga itu menatapi Zen dengan tatapan lurus, ada sedikit rasa iba di dalamnya, seperti ucapannya pada Jeffrey bagaimanapun juga Zen memiliki hubungan darah dengannya. Zen adalah keponakannya, walau pada kenyataannya ia dan Reki tidak pernah dekat. Reki adalah saudara jauh yang dikabarkan memiliki gangguan jiwa sejak ia masih kecil, karenanya Reki tidak pernah keluar rumah dan selalu dikurung di ruang bawah tanah. Hingga satu hari, terdengar kabar jika Reki berada di luar kendali dan menyebabkan seisi keluarganya mengalami hal buruk, si suami tidak tahu pastinya, tidak ada yang berani bercerita dan semuanya seperti ditutupi. Si suami juga tidak begitu peduli untuk mengetahui apa yang terjadi, ia cukup tahu jika Reki adalah orang gila dan pelaku kriminal. Anehnya, setelah insiden buruk itu terjadi, Reki hidup seperti biasa bahkan berprofesi sebagai seorang pilot. Si suami tidak habis pikir, perusahaan mana yang bisa menerima orang gila untuk menerbangkan pesawat. Tidak cukup sampai di situ, Reki juga terdengar membawa seorang gadis baik-baik untuk ia nikahi. Gadis cerdas bernama Marianata, gadis yang namanya cukup sering muncul di kepala berita sebagai pembawa prestasi untuk sekolahnya. Si suami merasa curiga, bagaimana Reki bisa mendapatkan pekerjaan normal dan istri luar biasa, sayangnya ia terlalu malas dan pengecut untuk mencari tahu lebih lanjut. Si suami lebih memilih hidup santainya bersama wanita gemar belanja pilihannya. Ia lebih memilih untuk hidup tenang. Sedikit yang si suami tahu, jika saat itu adalah saat-saat terakhir mereka untuk menikmati hidup.