Page 4 - Meet

1161 Kata
"Bagaimana ponselnya? Sudah kau temukan?" Suara seorang pria, suaranya berat dan terdengar sangat tidak ramah. Si pemuda yang baru saja menyelesaikan panggilannya itu menoleh lalu menatap pemuda lain yang memanggil. Rei tertawa singkat lalu mengangguk, kedua mata hitamnya itu menatap lurus ke arah pemuda dengan warna rambut dan warna mata yang sama dengannya itu. "Apa?" selidik Zen sambil mengerutkan kening, Zen merasa cukup curiga ketika melihat senyuman rekan kerjanya ini. Rei tertawa lagi, perlahan Rei beranjak dari duduknya dan memukul d**a bidang Zen pelan. "Yang menemukannya seorang gadis, gadis manis baik hati. Kau mau kenalan? Kalau kau mau kenalan, akan aku pinjamkan ponselku padamu," tawar Rei dengan senyum menggoda. Rei tahu persis jika temannya ini punya masalah dengan perempuan. Zen bergidik ketika mendengar ucapan Rei, tanpa sadar kakinya mundur satu langkah. "Ke ... kenapa aku mau kenalan? Yang paling penting itu ... itu ponselnya, ketemu. Kenapa juga kau mau aku kenalan dengan gadis yang menemukannya?" dengus Zen sedikit gagap. Pandangannya dialihkan dari Rei, Zen benci sekali jika sifat jahil teman baiknya ini sudah muncul ke permukaan. Zen tahu jika ia akan digoda habis-habisan sampai emosi. Rei terkikik karena reaksi yang Zen berikan, Rei mendekati Zen dan berbisik. "Tidak ada alasan, tetapi tidak ada salahnya, 'kan? Setelah bicara sedikit dengannya aku merasa nyaman dan senang, apa ya? Gadis ini seperti ibu peri, suaranya manis, dia juga tidak seperti gadis kebanyakan. Dia bahkan menawarkan diri untuk mengantar ponselnya, dan dia tidak ragu memberikan alamat rumahnya pada kita! Naif sekali bukan?" Zen semakin mengerutkan kening ketika mendengar penjelasan Rei tentang gadis baru, gadis mana yang mau dengan rela memberikan alamar rumahnya pada orang asing yang bahkan belum pernah bertemu batin Zen. "Aneh, gadis itu aneh. Bagaimana dia bisa percaya padamu begitu saja? Bahkan aku yang sudah lama bersamamu masih sulit percaya, apa karena dia belum tahu sifatmu?" tanya Zen dengan nada mengejek, Rei memukul bahu Zen kesal. "Aku tersinggung, dia percaya karena dia baik hati dan ... polos? Saat aku tanya kenapa percaya, kau tahu dia jawab apa? Katanya dia punya insting yang bilang aku bukan orang jahat, aku terharu sekali mendengar ucapannya. Tidak tahu juga nanti lebih jauhnya bagaimana, tetapi aku juga merasa dia bukan gadis jahat atau gadis yang ingin uang saja. Kalau mau uang, dia pasti akan tanyakan imbalan sejak awal," jelas Rei pada Zen, Rei tersenyum lagi, kali ini senyumnya lebih tulus dan tidak memiliki maksud menggoda. Zen memasang wajah berpikirnya, pemuda dengan tinggi hampir mencapai seratu sembilan puluh senti itu mengangguk membenarkan ucapan rekan kerjanya. "Benar, tetapi jangan terlalu percaya. Bagaimana kalau dia salah satu orang CIA ( Central Intelligence Agency ) ? Atau anggota sindikat lain yang sengaja memberikan pancingan untuk bertemu denganmu?" Pandangan mata Zen berubah jadi lebih serius ketika membicarakan tentang musuh-musuhnya. Mereka, Zen dan Rei tergabung dalam sebuah sindikat yang tidak diketahui orang banyak juga masyarakat luas. Salah satu sindikat ilegal yang berdiri di tengah-tengah kota Allegra. Kota Allegra, kota yang dijuluki sebagai kota dunia bawah. Dalam artian, ada banyak sekali kelompok-kelompok dan sindikat besar yang melakukan hal ilegal dan dilarang pemerintah bahkan dunia. Allegra terbilang kota dengan peraturan paling ringan tetapi memiliki sumber penghasilan paling tinggi, gedung-gedung besar dan perusahaan maju banyak berdiri di sana. Di luar dari sumber penghasilan yang tinggi, daya jual beli di Allegra juga sangat tinggi, begitu juga sumber daya manusianya. Orang-orang di Allegra memiliki kecerdasan tinggi dan kemampuan tinggi untuk bersaing dengan dunia. Pendidikan Allegra pun bisa dikategorikan paling baik dalam negara, meski disebut sebagai kota kriminal Allegra tidak bisa dipandang sebelah mata oleh kota sukses lainnya. Rei diam sembari mengerjapkan mata ketika mendengar ucapan Zen, Rei pikir temannya ini selalu saja memiliki rasa curiga tinggi dan rasa khawatir yang berlebihan. Rei mngembuskan napasnya pelan, ia tepuk lagi bahu Zen. "Kalau begitu, tidak ada cara lain. Kau harus ikut aku menemuinya, aku sudah buat janji akan bertemu Chairey. Kalau memang Chairey bagian dari musuh, kau bisa dengan mudah menghabisinya. Benar, 'kan?" tanya Rei setengah memaksa. Zen diam tidak segera menjawab, pemuda berusia sembilan belas tahun itu berpikir lagi. Apa ia harus ikut atau dia saja yang pergi sendirian menemui si gadis. "Kau mau pergi sendirian? Kau yakin?" ulang Rei dengan senyum mengembang. Zen tersentak ketika Rei bisa menebak pikirannya. "Tidak, kau yang buat janji. Kenapa aku yang harus pergi? Aku temani, kapan waktu bertemunya? Sudah putuskan akan bertemu di mana?" Zen mengalihkan wajah malu-malunya. Ia tidak mau mengakui jika tebakan Rei benar dan membuatnya akan diejek Rei hingga pagi hari. "Baiklah, baik. Aku belum putuskan akan bertemu di mana, sepertinya dia sedang dalam perjalanan saat aku menghubungi. Aku tidak mau ada bahaya karena terus membuatnya bicara di ponsel ketika berada di jalan raya, aku bilang kita bisa bicara lagi setelah dia sampai. Oh iya, namanya Chairey, angkat saja kalau Chairey hubungi, jangan malu-malu. Kalau memang dia musuh, itu kesempatan untukmu menanyainya. Aku tidak tidur sejak kemarin, jadi aku mau tidur dulu." Rei melambaikan tangannya ke arah Zen, menguap kecil dan mulai menaiki tangga. Keduanya tinggal di sebuah rumah besar yang jauh dari kerumunan. Rumah besar itu disebut markas, markas berisikan sepuluh orang tinggal di dalamnya, masing-masing dari mereka memiliki tugas dan peran sendiri-sendiri. Mulai dari pimpinan hingga dokter, semua lengkap, sayangnya saat ini dokter di markas sedang melarikan diri karena masalah yang dialami. Hingga membuat markas sedikit kesulitan ketika anggotanya terluka. Sindikat di mana Zen dan Rei bergabung bernama The Wall, yang artinya dinding atau bangunan kokoh untuk melindungi tubuh dari serangan luar. Karena anggota The Wall memiliki macam-macam latar belakang dan asal usul yang berbeda. Namun, pimpinan The Wall selalu berkata jika mereka yang menginjakkan kaki di rumah ini adalah saudara bagi yang lain. Mendukung, bekerja sama dan saling menjaga adalah tugas utama setiap anggota. Mereka akan dilatih sesuai peran yang diberikan, petarung atau informan, si pimpinan tidak pernah segan untuk memberikan latihan paling sempurna bagi anggotanya. Zen menatap ke arah Rei yang sudah naik tangga dan meninggalkannya sendirian, di atas meja tergeletak ponsel miliknya. Zen mengembuskan napas, ia ambil ponsel tersebut dengan wajah cemas. Zen adalah tipikal pemuda yang akan gugup dan jadi bodoh jika berhadapan dengan wanita, terutama jika wanita itu bukan bagian dari musuh. Awalnya ia akan berkeringat dingin, lalu pikirannya jadi kosong dan mulai membatu karena gugup. Alasan itu yang menjadikan Zen tidak pernah pacaran sejak ia mulai remaja, tidak perlu pacaran, Zen bahkan tidak pernah dekat dengan gadis mana pun terkecuali pimpinan The Wall yang dianggapnya bukan lagi seorang wanita. Masih dalam kecemasan yang tinggi, tiba-tiba saja ponsel yang ia genggam bergetar, menandakan jika ada yang menghubungi. Takut-takut, Zen melirik nama di layar ponsel tersebut. Chairey Ibu Peri Zen menepuk keningnya, ia belum siap untuk menerima panggilan. Pikirannya mulai berdebat, bisa saja ia tidak menjawab panggilan dan pura-pura tidak tahu, tetapi ia akan kehilangan kesempatan untuk menanyai Chairey dan memastikan jika Chairey bagian musuh atau bukan. Zen menarik napas pelan, pemuda yang tidak punya riwayat berhubungan dengan gadis itu sudah memutuskan untuk menjawab panggilan. "Halo?" "Halo! Eh? Bukan Rei, ya?" Zen mulai gugup.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN