Cahaya matahari masuk menembus tirai, membangunkan Nana dari tidurnya. Udara dingin dari AC masih terasa, membuatnya ingin berlama-lama di tempat tidur. Tapi ia harus bangun—kuliah menunggunya.
Perlahan, Nana merentangkan badannya, menarik napas panjang, lalu bangkit. Ia meraba bawah bantal untuk mencari ponselnya, lalu menyalakan layar.
07:19 WITA
Beberapa pesan w******p dari suaminya masuk, termasuk beberapa panggilan tak terjawab dari Pras.
Pagi, cantik.
Sudah bangun, istriku?
Jangan lupa kuliah, ya.
Aku sudah sampai.
Love you.
Aku berangkat kerja dulu.
Nana tersenyum kecil. Tak lama kemudian, Pras online. Setelah Nana membalas pesan, centang biru langsung muncul—tanda bahwa suaminya masih ada di chatroom.
Tiba-tiba, panggilan video masuk.
“Halo, cantik,” sapa Pras begitu wajahnya muncul di layar.
Nana masih setengah sadar, mengucek matanya untuk membersihkan kotoran mata.
“Sudah bangun, istriku ini? Masya Allah, cantiknya,” puji Pras sambil tersenyum.
“Aku lagi nunggu bus buat ke lokasi kerja. Lihat tuh,” katanya sambil mengarahkan kamera ke jalanan tempat beberapa orang memakai seragam kerja biru, helm, dan sepatu safety.
"Kapan pulang? Aku kangen," kata Nana, suaranya manja.
"Heh, laki-lakimu ini baru pulang jam lima tadi, sekarang sudah mau kerja lagi. Tapi nanti aku pasti pulang, cantik."
"Janji, ya?"
"Janji. Sekarang bangun, cepat siap-siap kuliah," kata Pras tegas.
Nana tersenyum kecil. "Oke, oke."
***
Di kampus, Nana duduk bersandar di bahu Elly. Sementara itu, Gina dan Yuni duduk di depan mereka.
"Pulang nanti kita ke mana, ya, Mbak?" tanya Elly sambil melihat kukunya yang baru dipoles kuteks.
“Makan mi ayam langganan aja,” usul Gina sambil menoleh ke belakang.
"Boleh, boleh. Aku juga lagi pengen," kata Nana sambil menegakkan kepalanya.
Elly dan Yuni saling bertatapan, lalu mengangguk setuju.
Tak lama, dosen masuk ke kelas dan duduk di mejanya.
"Hari ini yang presentasi siapa?" tanya Nana.
"Grup Lika," jawab Gina singkat.
"Oh... temannya Elly," goda Nana sambil menyenggol bahu temannya itu.
Elly mendengus. "Sembarangan, Mbak ini. Dia lebai, aku enggak."
"Bestieeee," seru Yuni, disambut tawa Gina.
Elly dan Lika memang akrab karena satu agama, Kristen, dan punya selera humor yang sama. Berbeda dengan Nana, Yuni, dan Gina yang lebih kalem.
Nana memperbaiki posisi duduknya, melipat kedua tangan sambil menatap layar presentasi. Mata kuliah hari ini adalah Bahasa Indonesia, membahas penggunaan bahasa modern di era milenial.
Saat presentasi berjalan, Elly berbisik ke Nana, “Eh, denger-denger nanti ada dosen PKN baru, lho.”
“Oh iya? Siapa namanya?” tanya Gina yang ikut menyimak.
"Kurang tahu, tapi katanya cowok," jawab Elly.
"Serius?" Nana mengerutkan dahi.
"Iya, kemarin aku sama Lika antar tugas ke ruang dosen, terus ada dia di situ," lanjut Elly.
Gina menyikut lengan Nana sambil tersenyum jahil. “Gimana, Mbak? Kalau dosennya ganteng, bisa bikin semangat kuliah, kan?”
Nana mendengus. "Ish, aku sudah bersuami, tahu."
"Gak apa-apa, Mbak. Kan cuma lihat, bukan flirting," kata Yuni sambil terkikik.
“Tapi aku setia, tahu,” kata Nana tegas.
Elly tertawa. “Ya jelas lah! Masakan istri pasti ada bumbu cintanya.”
Gina ikut tertawa. “Ya ampun, romantis banget.”
Sebelum obrolan mereka semakin panjang, Gina berdeham dan menunduk ke layar laptopnya. “Eh, udah-udah, dosen ngeliatin kita.”
Mereka langsung pura-pura serius. Nana menatap layar presentasi, tetapi senyum kecil masih tersisa di bibirnya.
---
Jam kuliah selesai. Nana dan teman-temannya berjalan menuju warung bakso langganan mereka.
Dari pintu keluar kampus, mereka berjalan lurus ke tikungan kanan, lalu turun hingga jalan rata. Di situ ada warung bakso dan mi ayam Ponorogo. Tempatnya kecil, tetapi sangat bersih. Bahkan botol kecap dan sambalnya tampak baru, padahal warung ini sudah lama berdiri.
Di satu meja ada empat kursi. Nana duduk di samping Gina, sementara Elly duduk di samping Yuni. Mereka sudah memesan dua porsi bakso, dua porsi mi ayam, dan empat es teh.
Tak lama, pesanan mereka datang. Asap mengepul dari mangkuk bakso dan mi ayam, aromanya menggugah selera. Nana langsung mencampurkan sambal dan kecap ke mi ayamnya.
“Wah, enak banget baunya!” kata Gina sambil mengaduk baksonya.
“Awas, panas!” seru Yuni yang meniup sendoknya.
Mereka mulai makan sambil mengobrol santai.
“Nana, kamu sering masakin suami nggak?” tanya Elly tiba-tiba.
Nana mengangguk. “Iya, kalau dia lagi di rumah. Biasanya aku masak yang simpel-simpel aja.”
"Misalnya?" tanya Gina penasaran.
“Kayak tumis kangkung, ayam kecap, atau sup. Pokoknya yang gampang, tapi enak,” jawab Nana sambil menyeruput kuah mi ayamnya.
“Halah, yang penting suamimu nggak protes, ya?” goda Yuni sambil tertawa.
“Protes? Dia malah suka banget! Katanya sih, lebih enak masakanku daripada makanan warteg,” kata Nana bangga.
Elly tertawa. “Ya jelas lah! Masakan istri pasti ada bumbu cintanya.”
“Ya ampun, romantis banget,” sahut Gina pura-pura iri.
Mereka terus mengobrol sambil menikmati makanannya.
Setelah beberapa menit, Yuni tiba-tiba berseru, “Eh, tadi kita belum cari tahu nama dosen baru itu, ya?”
Gina mengangguk. "Iya, tadi kepotong gara-gara presentasi."
Elly berpikir sejenak. "Kalau nggak salah, aku dengar dari Lika, namanya Pak Kift atau apa gitu.”
Nana hampir tersedak es tehnya. “Serius? Namanya Kift? Kok unik banget.”
"Eh iya, ya. Nama kayak gitu jarang banget," tambah Gina.
“Hmm... jangan-jangan dia tipe dosen killer,” Yuni berspekulasi.
"Atau malah dosen asik?" sahut Elly.
Nana hanya mengangkat bahu. “Yaudah, lihat aja nanti pas pertama kali dia ngajar.”
Mereka tertawa kecil dan melanjutkan makan.
****
Setelah selesai makan, Nana dan teman-temannya berpisah. Ia berjalan pulang ke rumah, siap untuk beristirahat sejenak sebelum mengerjakan tugas-tugas kuliah dan beres-beres rumah.
Di perjalanan, pikirannya melayang ke suaminya. Ia membuka ponselnya lagi, menatap chat terakhir dari Pras.
"Love you," tulis suaminya tadi pagi.
Nana tersenyum kecil, lalu mengetik balasan.
> Love you too. Hati-hati di kerja ya.
Setelah mengirim pesan, ia memasukkan ponselnya ke saku dan mempercepat langkah. Masih ada banyak hal yang harus ia lakukan di rumah, tapi pikirannya tetap dipenuhi oleh sosok yang ia rindukan—suaminya.
***
Malam sudah larut, tetapi Kift masih duduk di balkon apartemennya, mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku. Angin malam berhembus lembut, tetapi pikirannya melayang ke kejadian siang tadi.
Saat itu, ia sedang berjalan menuju lift bersama dua rekannya, hendak ke perpustakaan universitas.
Begitu pintu lift terbuka, ia melihat seorang wanita sudah lebih dulu masuk.
Wanita itu berdiri di tengah, terlihat fokus menatap layar ponselnya. Begitu Kift dan rekan-rekannya masuk, ia sedikit mundur ke belakang, memberi ruang.
Lift mulai bergerak naik.
Ruangan kecil itu terasa sunyi, hanya diisi suara percakapan ringan dari Kift dan dua rekannya. Tapi sesekali, di antara pantulan samar di dinding lift, Kift merasa wanita itu melirik ke arahnya.
Bukan tatapan yang mengganggu—lebih seperti seseorang yang diam-diam mengamati.
Saat lift berbunyi dan pintu terbuka di lantai tujuan, Kift dan dua rekannya keluar lebih dulu. Tapi entah kenapa, sebelum benar-benar melangkah, ia menoleh ke belakang.
Dan di sana, mata mereka bertemu.
Tatapan yang singkat, tetapi cukup dalam untuk membekas di benaknya.
Wanita itu tidak mengatakan apa pun, hanya berdiri diam, membiarkan pintu lift menutup kembali.
Dan sekarang, di tengah kesunyian malam, Kift masih memikirkan tatapan itu.
"Siapa dia?" pikirnya.
Perlahan, senyum tipis muncul di wajahnya. Ia tidak tahu kenapa, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia penasaran pada seseorang.
Dan mungkin, besok mereka akan bertemu lagi.
Mungkin.