Bagian 3

856 Kata
Ya, suaminya tidur setelah merasa puas, sedangkan dirinya belum merasakan apa-apa. Bahkan, kenikmatan itu tidak pernah ia rasakan sejak menikah. Nana menarik selimut putihnya dan membelakangi Pras. Apa benar kata Ibu bahwa mencari suami itu harus yang bisa memuaskan lahir dan batin? Nana menyingkap selimutnya perlahan. Dalam hal seksualitas, rasanya ada yang kurang. Ia duduk di kasur, menatap tubuh polosnya dari kaki hingga d**a. Percuma cantik kalau begini... Ia lekas berdiri untuk membersihkan badannya. --- Kift, Sang Pengusaha Pria tampan dan rupawan. Senyumnya manis dan menawan. Bibirnya tipis seperti bulan sabit. Rambutnya tertata rapi. Wajah dan tubuhnya sempurna, dengan tinggi 189 cm. Kulitnya sawo matang, dan matanya berwarna seperti hazelnut. Ia duduk di kursi kerja, kepalanya menunduk, dan tangannya sibuk menandatangani berkas. Beginilah rutinitasnya: bekerja, bekerja, dan bekerja. Hidupnya tentu sangat berkecukupan—bahkan kaya—karena ia memiliki perusahaan yang bergerak di bidang migas. Puluhan karyawan menggantungkan hidup mereka pada perusahaan ini. Hari ini, Kift sedang menandatangani kontrak kerja dengan PT Pama Inzura. Perusahaan itu membutuhkan jasanya untuk pembuatan pipa saluran gas. "Sudah, kamu tinggal kumpulkan tenaga ahli kita untuk berangkat ke sana. Uang makan, transportasi, dan mess sudah saya siapkan. Uang makan saya transfer ke rekening kalian. Transportasi menggunakan mobil kita, dan mess disediakan oleh perusahaan sana," katanya. "Mulai kapan, Pak, kita berangkat?" tanya Rey, yang akan bekerja di Bontang. "Nanti malam kalian harus sudah berangkat. Sekarang kalian boleh pulang untuk beristirahat sambil menyiapkan pakaian." "Berapa lama, Pak?" tanya Rey lagi. "Apanya? Oh..." Kift melirik kontrak. "Sampai tanggal 26 bulan depan. Lumayan kan? Lemburnya banyak, loh." Kift tersenyum. "Ada OT-nya." OT (Overtime): istilah yang sering digunakan oleh karyawan yang bekerja melebihi waktu kerja normal, biasanya karena target belum tercapai atau mendekati batas waktu proyek. "Oke. Karyawan yang akan dikirim ke lokasi siapa saja, Pak? Dan butuh berapa orang?" "Pras, Khalif, kamu, dan sisanya bisa kamu baca di sini." "Baik, Pak. Saya permisi." Setelah karyawannya keluar, Kift menghela napas panjang. Ia membalikkan badan dengan kursinya, memandangi matahari yang hampir terbenam. Dari lantai sepuluh, ia bisa melihat pemandangan Kota Balikpapan, bahkan langit yang cerah, karena dinding kantornya terbuat dari kaca tebal. Hidup di kota orang, kehilangan ayah dan ibu, serta dijauhi oleh saudara-saudaranya membuat Tian merasa kesepian dan hampa. Kift adalah pria asli Banjar. Keluarganya ada di sana—mulai dari om, tante, hingga kakak dan adiknya. "Aku mau menikah," kata Kift pelan. Matanya sendu, menatap langit. --- Malam di Klub Kift berjabat tangan dengan temannya. Kebetulan, temannya ini adalah seorang kepala program studi di sebuah universitas. Dentuman musik memekakkan seluruh ruangan. Lampu-lampu berkelap-kelip saling beradu. Para wanita meliuk-liukkan tubuh seksinya di lantai dansa. "Gimana kabarmu? Duduk," kata Tiyan. Kift duduk di kursi yang telah dipesan. Di depannya terdapat segelas minuman. "Baik, seperti biasa," jawabnya sambil menuangkan wine ke gelas kecil. "Gimana tadi pagi?" Kift menenggak minuman itu dalam sekali teguk. Tenggorokannya langsung terasa hangat. Ia menggeleng. "Bagus. Aku akan menggantikannya sementara." "Akhirnya! Susah sekali membujukmu." "Lumayan... cantik-cantik." "Haha, bisa aja." Satu per satu wanita mulai mendekati mereka. Salah satu yang tercantik duduk di samping Kift dan merangkulnya. Tiyan mengangkat kepala, memberi kode pada Kift. Lelaki itu tersenyum dan mengedipkan mata. Ia lalu berdiri, menggandeng wanita itu, dan pergi. "Bungkus!" seru Tiyan. --- Kift mendorong wanita itu masuk ke sebuah kamar. Ciuman mereka tak terlepas. Tangannya mulai membuka gaun sang wanita, sementara wanita itu balas membuka kemeja Kift dan mengusap dadanya. Tubuh Kift sudah bereaksi. Namun, saat hendak membaringkan wanita itu di kasur, pikirannya kembali ke kejadian tadi pagi. Ia tersentak. "Astaga..." Kift langsung menjauh, meraih kemejanya. "Kenapa?" tanya wanita itu bingung. "Maaf, aku ada urusan." Ia mengeluarkan dompetnya, mengeluarkan lima lembar uang seratus ribu, dan menyerahkannya. "Terima kasih, ya," katanya, lalu pergi. --- Nana sedang menggoreng telur untuk makan malam. Tak lama, Pras keluar dengan hanya mengenakan celana pendek. "Cantik," panggilnya sambil duduk di meja makan. Nana menoleh dan meletakkan telur dadar di piring. "Iya, Sayang, kenapa?" tanyanya sambil meletakkan sepiring telur di meja. "Aku berangkat malam ini, Cantik. Bos mengirimku ke Bontang selama sebulan." Nana langsung terduduk. Hatinya terasa sedih. "Gak ada temannya deh aku, Sayang." "Kamu bisa main ke rumah Mbak Nita, kan? Dekat di sini." Pras berusaha terdengar riang agar istrinya tak terlalu sedih. "Aku kerja cari uang buat Cantikku ini." "Iya, Ayang." "Ayang bisa sambil nulis-nulis novel kalau aku gak ada. Bisa jalan-jalan juga." "Enggak ah. Di rumah aja." "Tunggu aku pulang, ya, Cantik. Ayo kita makan, habis itu siapkan bajuku." "Iya, Sayang." --- Pras turun dari motor saat sampai di tempat perkumpulan teman-temannya. Nana maju untuk membawa motornya pulang. "Ayang, jangan boros, ya. Aku sudah masukin dua slop rokok. Cukup buat sebulan." Pras memang kuat merokok. Lebih baik tidak membeli baju daripada kehabisan rokok. "Iya, Cantik. Uang makan sudah ditransfer bos tadi." "Berapa, Sayang?" "Sehari seratus ribu. Tiga kali makan plus rokok. Aku pegang satu juta, sisanya buat Ayang. Diirit ya, Cantik." "Iya, Sayang. Aku balik dulu, ya. Love you." "Me too." Nana meninggalkan suaminya. Ia menyusuri jalanan di daerah Kariangau. Sudah pukul sembilan malam. Mau ke mana dirinya sekarang? Toko-toko sudah tutup—mall, DIY, semua sudah gelap. Lebih baik pulang, beristirahat, dan nonton t****k sambil berselimut di kamar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN