Bagian 2

1261 Kata
Nana melambaikan tangannya ke arah mereka bertiga yang mengendarai motor masing-masing. Angin sore menerpa wajahnya, membawa serta debu tipis yang tertinggal di jalanan kampus. Matahari mulai meredup, menyisakan semburat jingga di langit yang berangsur gelap. Mereka pulang terlebih dahulu, meninggalkan Nana yang masih berdiri di depan gedung. "Mbak Na, balik ya," pamit Gina dengan senyum cerah. Elly menyusul, lalu Yuni yang terakhir kali berpamitan. Nana membalas lambaian mereka dengan senyum tipis, tetapi setelah motor mereka menghilang di tikungan, senyum itu perlahan memudar. Ia menarik napas panjang, seolah ingin menelan seluruh udara kampus ke dalam dadanya, lalu menghembuskannya perlahan. Ia berjalan menuju Gedung A dengan langkah yang tidak tergesa. Matanya menangkap lalu-lalang mahasiswa dari fakultas lain, khususnya anak-anak K3 yang berseragam merah mencolok. Pemandangan ini membuatnya berpikir. Kenapa dulu aku tidak memilih K3 saja? Bidang itu lebih menjanjikan, lebih sesuai dengan dunia kerja di Kalimantan. Nana tahu betul bahwa sebagian besar masyarakat di sini bekerja di dunia migas, tambang batu bara, atau perkebunan sawit. Profesi-profesi itu lebih memiliki arah dan tujuan. Namun, ia tidak memiliki dasar untuk bekerja di lapangan atau proyek-proyek besar. Ia bukan tipe yang tahan panas, debu, atau pekerjaan yang mengandalkan fisik. Bukankah sejak kecil ia lebih suka dunia yang sunyi? Dunia di mana kata-kata bisa menjadi dunianya sendiri. Nana melewati celah antar-gedung dan langsung menuju lift. Dingin gagang buku yang ia peluk terasa menenangkan di dadanya. Dengan tangan kiri, ia menekan tombol lift untuk menuju lantai sembilan—lantai yang dikhususkan untuk perpustakaan. Ting... Suara lift berbunyi pelan. Begitu pintu terbuka, Nana segera masuk dan menutupnya. Lift ini memiliki dua sisi, dengan pintu depan dan belakang yang bisa terbuka tergantung kebutuhan. Dari dinding kaca yang menghadap keluar, Nana bisa melihat pemandangan kota yang mulai bermandikan lampu-lampu jalan. Matanya menerawang, mengikuti pergerakan lift yang perlahan naik. Namun, tak lama kemudian, lift berhenti di lantai empat. Ting... Dua orang pria dan satu wanita masuk. Wangi parfum segar langsung menyergap indra penciumannya, menciptakan aroma yang lembut dan khas. Nana sedikit mundur, memberi ruang bagi mereka. "Ini ke lantai mana, ya?" salah satu pria itu bertanya dengan nada ramah. Nana menoleh sekilas. Ia mengenali mereka sebagai dosen dari Fakultas Matematika. "Perpus, Pak," jawabnya singkat. Begitu lift kembali bergerak, Nana tanpa sadar menarik napas dalam. Aroma parfum pria di depannya kembali memenuhi ruang sempit itu. Seketika, ia teringat obrolan teman-temannya tadi siang. "Oh, jadi ini yang mereka maksud dengan 'baunya'." Ia menahan senyum, merasa geli sendiri mengingat betapa antusiasnya teman-temannya mendeskripsikan pria yang wangi ini. Sesampainya di lantai sembilan, Nana keluar, begitu pula rombongan dosen tadi. Ia segera menuju komputer untuk mendaftar ke sistem perpustakaan. Jarinya dengan lincah mengetik 12106011, lalu menekan enter. Setelah itu, ia berjalan menuju deretan loker, membuka nomor 23, dan memasukkan tasnya ke dalam. Sebelum menutup loker, ia mengeluarkan tablet, ponsel, charger, dan earphone. Saat ia sedang mengunci loker, samar-samar ia mendengar percakapan di belakangnya. "Ini adalah perpustakaan kita, Pak. Di sini, mahasiswa bisa mencari informasi tentang universitas maupun global." Suara itu terdengar resmi, kemungkinan dari pustakawan yang sedang menjelaskan fasilitas perpustakaan kepada para dosen. "Saya dulu kuliah, ke perpustakaan malah jadi tempat tidur di pojokan," salah satu pria berseloroh. Mereka tertawa, membuat Nana tersenyum kecil. Ia melirik sedikit, melihat pria berbadan tinggi besar dengan kemeja hitam yang membuat lelucon itu. Namun, hanya sekilas. Ia melangkah masuk ke dalam perpustakaan, dan suasana yang hening langsung menyelimutinya. Sejenak, ia menutup mata dan menarik napas. Setidaknya, di sini aku bisa memperbaiki mood-ku. Rak-rak buku yang tertata rapi, ruangan yang dingin, serta pemandangan kota dari balik kaca memberikan ketenangan tersendiri. Dari sini, Laut Selat Makassar terlihat begitu indah. Gedung-gedung tinggi menjulang, mall, apartemen, semua tampak kecil dari lantai sembilan ini. Nana duduk di kursi yang menghadap kaca. Dengan tenang, ia memasang earphone dan memutar lagu dari YouTube. Musik mengalun pelan di telinganya, membawa pikirannya mengembara. Ia mulai menerka-nerka pemandangan di luar. "Oh, itu gedung BSB. Itu apartemen di belakang Plaza Balikpapan. Oh, itu hotel." Namun, jauh di dalam hati, ada satu pertanyaan yang terus mengusiknya. Bagaimana rasanya jika impianmu sudah terwujud, tapi ada sesuatu yang hilang? Bukankah ia sudah mencapai apa yang dulu ia impikan? Kuliah, belajar menulis, berada di lingkungan yang mendukung literasi. Tapi kenapa ada kehampaan yang terus menghantui? Nana mengembuskan napas perlahan. "Huft..." --- 15:23 WITA Langit mulai beranjak gelap ketika Nana pulang dari kampus. Ia masih sempat mampir ke pasar untuk membeli sayur dan tempe. Suaminya tadi mengirim pesan singkat melalui w******p, meminta bekal nasi dan tumis kangkung campur tempe untuk makan malamnya. Pasar Sepinggan mulai padat. Nana harus hati-hati saat menyusuri lorong-lorong sempit, menghindari para pedagang yang sibuk melayani pelanggan. Setelah mendapatkan semua yang dibutuhkan, ia segera keluar dan menghela napas lega. Motor yang dikendarainya melaju dengan lebih leluasa begitu memasuki jalan raya. Angin menerpa wajahnya, membawa sedikit kesejukan setelah seharian penuh beraktivitas. Saat tiba di rumah, Nana membuka pagar, mendorong motornya ke halaman, lalu menutup pagar kembali. Rumah itu terasa sepi. Hening. Ia melepas helm dan sepatunya, lalu membawa belanjaan ke dapur. Menatap sayur dan tempe di tangannya, ia bergumam pelan, "Langsung masak atau istirahat dulu, ya?" Tangannya terasa sedikit pegal, tapi akhirnya ia memutuskan untuk langsung memasak. Ia mencuci tangannya di wastafel, lalu mulai menyiapkan bahan-bahan. Hingga akhirnya, di tengah kesibukan mengulek bumbu dan menumis sayur, pikirannya tetap melayang. Tentang impian, tentang kehampaan, tentang sesuatu yang terasa hilang... ** Pras melepas sepatu safetynya setelah sampai di rumah. Sepatu itu tampak penuh debu, bukti seharian bekerja di lapangan. Ia menghela napas lelah, merasakan otot-otot kakinya yang pegal setelah seharian beraktivitas. Setelah menaruh sepatu di rak, ia berjalan ke dalam rumah yang sepi. Hanya ada suara kipas angin yang berputar pelan. Tanpa membuang waktu, Pras langsung menuju kamar, matanya mencari sosok yang dirindukannya sejak tadi siang. "Cantik," panggilnya dengan suara berat. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka, dan Nana muncul dari baliknya. Handuk merah muda melilit tubuh mungilnya, rambutnya masih basah, dan aroma sabun yang segar menguar ke udara. Pipinya sedikit memerah karena hawa hangat dari air mandi. Pras tersenyum, matanya berbinar melihat istrinya. "Wah, cantiknya istriku," pujinya sambil mengayunkan plastik berisi jajanan. Nana menatap plastik itu dan langsung tahu isinya. Matanya berbinar. Pras memang selalu tahu bagaimana membuatnya senang. "Ayang..." Nana terkikik pelan saat Pras tiba-tiba menariknya ke dalam pelukan. Namun, pelukan itu bukan sekadar pelukan biasa. Pras merapatkan tubuhnya, merasakan kehangatan istrinya yang baru saja selesai mandi. Nana mencoba melepaskan diri, tapi pria itu justru semakin mengeratkan dekapannya. Tatapannya penuh arti. "Keluarin sekali dulu," katanya dengan suara rendah yang menggelitik telinga Nana. Pras mulai membuka kancing bajunya satu per satu. Nana hanya bisa menggeleng, setengah ingin tertawa, setengah malu. Ia mendesah, lalu menepuk d**a suaminya pelan. "Mandi dulu, baru dapat. Kalau enggak, aku tidak mau," katanya tegas. Pras mengerucutkan bibirnya, "Nanggung, Yang." "Bau, Yang. Mandi sana..." Pras mendesah dramatis, lalu mengedikkan bahunya. "Nanti kalau aku kepuhunan gimana? Kepeleset di kamar mandi terus mati. Jadi janda kamu." Nana tertawa lepas. "Haha, enggak lah. Sana mandi." Ia bangkit dari kasur dan mulai mengenakan kembali handuknya yang sempat melorot sedikit. Pras masih berdiri di tempatnya, menatapnya dengan wajah cemberut namun tetap menggoda. "Jangan ke mana-mana, Ayang. Jangan pakai baju," katanya sambil berjalan ke kamar mandi. Nana tersenyum, matanya berbinar penuh kasih sayang. Suaminya memang selalu punya cara untuk membuatnya tertawa. "Iya, Sayang," jawabnya lembut. Ia melihat punggung Pras yang perlahan menghilang di balik pintu kamar mandi, lalu duduk di tepi kasur, membuka plastik jajanan kesukaannya. Ia menggigit lekker rasa keju s**u itu pelan, menikmati setiap suapannya sambil menunggu suaminya selesai mandi. Hatinya terasa hangat. Momen-momen kecil seperti ini yang membuat pernikahan mereka terasa begitu hidup dan berwarna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN