Nana Adiwinata Sinthia Burhan, wanita itu sedang mencuci piring. Tepat pukul tujuh pagi, suami tercintanya sudah bangun dan mengenakan seragam kerja. Menjadi teknisi di sebuah perusahaan ternama membuat hidup mereka sangat berkecukupan. Suaminya sudah mampu menyewa rumah di kompleks perumahan dan membeli motor baru.
Pernikahan mereka baru beranjak satu tahun, namun belum dikaruniai buah hati. Meski begitu, mereka tidak terlalu memusingkannya.
Nana meletakkan piring terakhir yang telah dibilasnya ke samping, lalu membersihkan sisa kotoran di bak cucian piring hingga bersih. Setelah itu, ia mencuci kedua tangannya dan mengeringkannya dengan handuk.
"Yang, malam ini aku lembur lagi, kayaknya disuruh ke kilo 13 buat benerin pipa di sana," kata suaminya yang sedang sarapan nasi kuning yang dibeli Nana sebelum ia bangun.
"Oh ya? Nanti sore pulang dulu nggak?" tanya Nana sambil duduk di hadapan suaminya. Ia menuangkan teh dari ceret ke dalam gelas, lalu meletakkannya di samping piring suaminya sebelum meletakkan kembali ceret itu.
"Iya, pulang dulu buat mandi sama makan," jawab suaminya.
Nana tersenyum sambil melipat kedua tangannya di atas meja.
"Berarti malam ini aku tidur sendirian, dong?"
"Panggil aja Mamaku buat temani kamu."
"Nggak usah, nggak enak. Nanti disinggung kenapa belum hamil," ujar Nana.
"Iya juga, ya. Apa jangan-jangan kamu mandul, Na?" kata suaminya tiba-tiba. Ia berhenti makan dan menatap istrinya.
Nana merasa tersinggung. Ia menggelengkan kepalanya dan berkata, "Kamu nggak ingat waktu kita cek ke dokter kandungan? Rahimku sehat dan subur. Kamu aja kali yang nggak normal."
Suaminya tersenyum, meneguk air minumnya, lalu berdiri. Ia berjalan memutari meja dan memeluk Nana dari belakang.
"Kita berdua sehat, lah. Nggak usah dipikirin. Nanti anak datang sendiri. Sekarang, antar aku berangkat kerja dulu, ya, Cantik?" katanya sambil mencium rambut istrinya.
Tak lama, ia menegakkan badannya dan berdiri tegap. Nana menghela napas, kemudian ikut berdiri, mengikuti langkah suaminya hingga ke teras rumah.
---
Di teras rumah
Pras, suaminya, duduk di kursi depan untuk mengenakan kaus kaki dan sepatu safety. Setelah itu, ia berdiri dan menatap Nana.
"Jangan nakal di rumah, ya, Sayang. Aku pergi dulu."
Ia mengulurkan tangannya, dan Nana segera mencium tangan suaminya. Setelah itu, Pras mencium kening istrinya sebelum berjalan ke motornya.
Sebelum berangkat, ia mengenakan helm, lalu menyalakan motor dan mengendarainya menuju kantor.
Nana masuk kembali ke dalam rumah, memeriksa setiap sudutnya yang sudah bersih. Setelah memastikan semuanya rapi, ia bersiap untuk berangkat kuliah.
Ya, Nana adalah seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Balikpapan. Ia tengah menempuh pendidikan S1 di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), bagian dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Setelah meraih tas berisi buku kuliahnya, ia pun berangkat.
---
Di Kampus
Nana memarkirkan motornya di belakang Gedung G, Universitas Balikpapan (Uniba), di area parkir khusus mahasiswa. Ia melepas helmnya, berkaca di spion, lalu memperbaiki rambutnya sebelum meletakkan helm di kaca spion sebelah kanan.
"Mbak Na!"
Suara seorang teman terdengar memanggilnya.
Nana menoleh dan mendapati Yuni, teman satu fakultas sekaligus satu kelompoknya, berjalan ke arahnya.
"Yun, baru sampai juga?" tanya Nana.
Yuni mengangguk sambil turun dari motornya. Mereka berjalan bersama menuju kelas. Kelas mereka berada di Gedung A, tepat di seberang Gedung G, di lantai empat.
"Elly sama Gina belum datang?" tanya Nana lagi.
Yuni mengangkat bahu, lalu mengecek grup w******p bernama Lanjie Genk.
"Elly lagi meeting di ruang FKIP, kalau Gina belum datang," jawab Yuni.
Nana merogoh totebag hitamnya, mengambil iPhone 11, lalu mengecek grup chat. Benar saja, informasi yang Yuni berikan sesuai dengan pesan yang dikirim di grup.
---
Di dalam kelas, Nana dan Yuni duduk di kursi paling belakang, sementara Gina dan Elly duduk di depan. Nana melihat jam di ponselnya, masih pukul sembilan pagi. Dosen baru akan masuk sekitar pukul setengah sepuluh. Mata kuliah pertama pagi ini adalah Linguistik Umum.
"Mbak, kamu udah bikin resume minggu kemarin belum? Punya Pak Tiyan," tanya Yuni sambil mengeluarkan buku Linguistik dan buku tulisnya.
Nana mencoba mengingat-ingat. "Sudah. Yang kita masukkan ke E-Learning itu, kan? Pertemuan ke tujuh."
"Syukurlah, kamu suka lupa soalnya, Mbak," kata Yuni seraya meletakkan tasnya di bangku kosong.
"Wk, itu udah. Namanya juga udah menikah, jadi pikirannya terbagi-bagi," jawab Nana bercanda.
"Iya juga, ya," sahut Yuni sambil tersenyum.
---
Saat dosen menjelaskan, Nana justru melamun. Ia merasa hidupnya hampa. Padahal, ia sudah menikah dengan lelaki yang dicintainya. Namun, mengapa di relung hatinya yang paling dalam, ia merasa seperti ada dirinya yang duduk di dalam ruangan gelap, melipat kaki dan memeluk tubuh sendiri?
Nana menghela napas, matanya menatap teman-teman kelompok lain yang sedang presentasi di depan kelas.
"Mbak Na, nanti kelompok kita Mbak yang nanya, ya," kata Elly.
Nana mengangguk, membuka buku Linguistiknya. Ia harus menyiapkan pertanyaan untuk kelompok lain. Namun, pertanyaannya tidak akan terlalu sulit. Bahkan, ia berencana memberi tahu jawabannya kepada kelompok yang sedang presentasi melalui w******p.
Setelah menemukan pertanyaan yang sesuai, Nana mengangkat tangan.
"Saya Nana, dari kelompok lima, ingin bertanya. Apakah antonim dan antonimi itu sama? Jika sama, apa maksud dari keduanya? Terima kasih," ucap Nana.
Ia memfoto jawabannya dan mengirimkannya ke Eka, salah satu anggota kelompok yang sedang presentasi.
Eka yang mendengar notifikasi langsung tersenyum, menoleh ke arah Nana. Nana tersenyum balik dan mengacungkan kedua jempolnya, memberi semangat. Saling membantu tidak ada salahnya, kan?
---
Dua jam berlalu, mata kuliah telah selesai. Namun, Nana tidak langsung pulang. Ia ingin ke perpustakaan untuk menenangkan pikirannya.
"Makan tahu bakso, yuk," ajak Elly.
Nana tersenyum dan mengangguk. Habis makan, barulah ia akan ke lantai sembilan untuk ke perpustakaan.
"Tahu bakso di kantin dekat parkiran itu, kan?" tanya Nana.
"Iyalah, Mbak. Mau di mana lagi?" jawab Elly sambil merangkul tangan Nana dan melangkah menuju lift.
Begitulah keseharian Nana, seorang istri sekaligus mahasiswi yang menjalani hidupnya dengan rutinitas yang tampak biasa—namun ada sesuatu yang terasa kosong dalam dirinya.