5

1207 Kata
ABBY POV Dan dimulailah siksaanku hari ini. Seperti biasanya, Dave selalu menginterogasi pramuniaga soal barang yang akan dia beli. Untung saja dia tampan. Kalau Dave jelek, aku yakin gadis penjaga itu akan sewot setengah mati dengan tingkahnya yang super duper menyebalkan itu. “Sayang, bagus tidak?” Tanya Dave saat dia keluar dari ruang pas. Nah satu lagi, walaupun dia sudah bertanya panjang kali lebar kali tinggi, tetaaappp saja dia harus meminta pendapat siapapun dia yang menemaninya berbelanja. “Perfect!” ucapku sambil mengacungkan dua jempol. Aku tidak bohong. Dave itu bukti keindahan ciptaan Tuhan. Makhluk tampan dengan segala kesempurnaan fisik yang dimilikinya. Coba aku tidak terlanjur cinta mati pada Devan, pasti aku sudah menerima permintaannya dulu untuk jadi pacarnya. Devan. Entah kapan aku bisa melupakannya. “Ayoo, melamun saja kau!” Tiba-tiba saja Dave sudah menggamit lenganku, menarikku dari sofa empuk yang sudah kududuki sejak satu jam yang lalu. “Apalagi?” tanyaku sambil melirik kantong belanja Dave yang sudah ada delapan. “Mencari baju untukmu.” “Kenapa aku? Aku tidak mau. Lemariku sudah dipenuhi Mama.” “Tetapi aku belum memberikan kado untukmu, Sayang,” jelasnya sambil cemberut. Aku tertawa melihatnya cemberut. “Lain kali saja, okey? Sekarang aku mau es krim.” “As you wish, little Princess.” Dia langsung menggamit lenganku, dan membawaku ke resto es krim favoritku. Aku sangat suka es krim, terutama vanilla. Aku jadi teringat pada Devan yang sangat membenci es krim vanilla. Dia tidak suka vanilla. Rasanya aneh katanya. Entah kenapa tiba-tiba jantungku berdebar saat memasuki resto es krim ini. Ada apa ini? Dave yang masih menggenggam tanganku menoleh merasakan tanganku yang tiba-tiba berkeringat. “Baby, are you okay?” tanyanya khawatir. Aku mengangguk ragu. Tangannya menyentuh dahiku. Tidak panas tentu saja. Saat itulah aku mengedarkan pandanganku mengelilingi resto, dan tatapanku terkunci di satu titik. Aku terkesiap. Itu Devanku. Kekasihku. Cinta pertamaku. Dia juga terkunci menatapku dengan tatapan matanya yang tajam. Dia masih tampan seperti dulu. Makin tampan kalau aku bilang. Alisnya. Matanya. Hidungnya. Bibirnya. Semuanya sempurna. “Abby? Sayang?” suara Dave mengalihkan mataku darinya. Aku menoleh padanya. Dia mengikuti arah pandangku tadi, dan tiba-tiba saja menarik tanganku ke sana. Mendekatinya. “Hey, Dude,” sapa Dave padanya sambil menautkan tangan besarnya ke arah Devan. Kakakku mengenalnya? “Hey, Princess Em.” Dave gantian menyapa gadis kecil yang duduk di depan Devan. Tiba-tiba mataku memanas. Sekuat tenaga aku menahannya agar tidak tumpah. Jadi Devan sudah menikah? Jadi sepuluh tahunku menunggunya sia-sia saja? Mati-matian aku menahan air mataku yang sudah siap menjebol pertahananku. Aku tidak boleh menangis. Aku tidak boleh menangis. Kuulangi terus-terusan mantra itu di kepalaku. “Hey, Uncle D one,” sapanya sambil mencium pipi Dave. “D one?” tanpa sadar aku bersuara. Dave menoleh dan tersenyum. “Sayang, kenalkan temanku. Andra.” Aku mengulurkan tangan. Dia hanya terdiam menatapku tanpa membalas uluran tanganku. Aku menarik tanganku dengan kecewa. “Biarkan saja, Sayang. Pria satu ini memang aneh. Dia tidak suka gadis cantik sepertimu,” ucap Dave santai. “Andra kenalkan, dia Abby. Kesayanganku,” jelasnya sambil cengengesan, tetapi Devan tetap menatapku tanpa ekspresi. “Dan si cantik ini, Princess Emily. Dia selalu memanggilku D one. Daniel dia panggil D two, dan Damian dia panggil D three.” “Hey Princess,” sapaku sambil mengulurkan tanganku. “Hey, Aunty Princess,” jawabnya sambil bangkit dari duduknya dan memeluk pinggangku. Dave tertawa. “Dia menyukaimu, Sayang. Siap-siap saja sering diminta ke rumahnya.” “Em, cepat habiskan es krimmu,” suara dingin itu menyela keceriaan yang Dave hadirkan. Aku menoleh menatapnya yang masih terdiam tanpa ekspresi. Kenapa dia jadi seperti ini? Apa memang waktu bisa merubah seseorang? Devan yang dulunya periang, lembut, dan suka tertawa, sekarang berubah menjadi Devan yang dingin dan pendiam seperti ini? “Ya, Papa,” jawab Emily sambil duduk lagi di kursinya. Aku terkesiap. Jadi gadis kecil ini benar-benar anaknya? “Kita bergabung di sini saja ya?” Dave langsung menarik kursi untukku di samping Emily. Dia sendiri duduk di hadapanku di samping Devan. Devan tetap terdiam sambil menyesap minumannya. Sesekali dia menanggapi ocehan Dave dan Emily. Emily terus memandangku sambil tersenyum. Gadis kecil ini sangat cantik. Aku bahkan langsung jatuh cinta padanya, walaupun dia anak dari pria yang kucintai. “Aunty Princess pacarnya Uncle D one ya?” tanya gadis kecil itu padaku. Aku tertawa. Dari mana anak ini mengenal kata pacar? Baru aku akan menjawabnya ketika sebuah suara menginterupsiku. “Sayang, sudah belum makan es krimnya?” seorang wanita cantik dan seksi mendekat ke arah Emily. Rambutnya coklat bergelombang sebatas punggung. Wajah cantiknya berpoles make up tipis, tetapi membuatnya sangat mempesona. Aku terpana menatapnya. Jadi ini istri Devan. Cantik sekali. “Hai, Dave. Sudah lama?” katanya sambil mencium pipi Dave. “Lumayan lama, Andrea.” “Dan gadis cantik ini?” Dia menoleh sambil mengamatiku, tetapi matanya mengerling jahil ke arah Dave. “Pintar kau mencari kekasih,” sambungnya lagi. “Hai, kenalkan aku Andrea, mamanya Emily,” dia menyapaku dengan ramah. Aku membalas uluran tangannya. “Abby,” jawabku singkat. Dia begitu cantik dan sangat ramah, pantas kalau Devan melupakanku. Dilihat dari sudut manapun aku tidak ada apa-apanya dibandingkan wanita cantik itu. Sangat pantas jika Devan melupakanku. ********* DEVAN POV Aku hanya bisa terdiam dan mencuri pandang ke arahnya yang asyik bercerita dengan Em dan Andrea. Jujur aku merindukannya, tetapi setiap melihatnya, aku selalu ingat perkataan kasar ayahnya dulu hingga kebencian itu mengalahkan rasa rinduku. Dan apa Dave bilang tadi, kesayangannya? Sejak kapan Dave punya pacar? Dia tidak pernah bilang pada kami. Dan kenapa harus Abby? “Babeeee!!” teriak Andrea membuyarkan lamunanku. Dave tertawa menyenggolku. “Madam medusa mengajakmu pulang.” “Daveee!” Teriak Andrea sambil menjitak kepala Dave. Dia selalu marah jika dipanggil Madam Medusa. Kulihat Abby tertawa kecil. Cantik sekali. Kenapa dia harus secantik itu? “Andraaa! Jangan melihat Abby-ku seperti itu!!” teriak Dave di telingaku. Aku berdecak dan beranjak dari dudukku kemudian menggendong Emily. “Aku duluan,” ujarku sambil melangkah pergi. Masih kudengar suara Andrea menyuruh Abby sering-sering main ke rumahnya. “Papa, Aunty Princess cantik yaa? Nanti Papa cari pacar yang cantik seperti Aunty Princess yaa.” Aku tersenyum. Anak ini, baru juga empat tahun bicaranya sudah seperti ini. “Iya, Sayang,” jawabku sambil mencium pipinya. “Nath, Abby cantik ya,” tiba-tiba Andrea sudah berjalan di sampingku. “Hmmm.” “Pintar Dave mencari kekasih. Giliranmu kapan?” “Kakak!!” Aku menatapnya sebal. “Iya nanti aku cari istri yang cantik seperti kakak. Bahkan lebih cantik!” jawabku sewot. “Tetapi aku mau Abby yang menjadi istrimu. Kakak saja langsung jatuh cinta padanya, masa kau tidak?” Aku memilih tidak menjawab dan mendudukkan Emily di kursi belakang lalu menata belanjaannya di bagasi. “Nath ...” “Hmmm ...” “Kamu dekati Abby ya?” Aku menatap kakakku dengan skeptis. “Tidak usah macam-macam, Kak, dia kekasih Dave.” “Iyaaa aku tahu, tetapiii ...” “Sudah, Nathan malas membahas itu,” putusku kemudian. Andrea terdiam sambil cemberut. Aku menghela napas panjang. Ini pasti akan menyiksaku. Mengingatnya selama sepuluh tahun ini saja menyiksaku apalagi jika nanti aku sering-sering bertemu dengannya. Apalagi sekarang posisinya pacar Dave. Aku tidak mau merebutnya dari Dave. Tidak akan pernah.                                          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN