6

1422 Kata
DEVAN POV Aku benar-benar tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaanku. Bayangan Abby yang semakin menarik menari-nari di benakku. Kenapa juga aku tidak mencarinya. Bodohnya aku. Karena dendamku pada ayahnya membuatku jadi membencinya. Padahal dia tidak tahu apa-apa kan? Bodoh!Bodoh!Bodoh Aku bangkit dari kursiku dengan frustasi. “Nadia, cancel semua jadwal saya hari ini. Saya tidak mau di ganggu!” perintahku pada sekretarisku yang langsung melongo. Aku tidak peduli. Aku tidak bisa bekerja hari ini. Aku hanya ingin menenangkan pikiranku yang kacau. Sampai di rumah, rumahku masih sepi. Kedua orang tuaku baru akan pulang akhir minggu ini. Aku langsung naik ke kamarku setelah memesan kopi panas pada asistenku. Kuambil kado untuk Abby yang tersimpan di laci samping tempat tidurku dan menimang-nimang benda itu. Andai saja sejak dulu aku mencarinya, dia tidak akan menjadi milik sahabatku. Dia pasti akan kembali padaku dan ayahnya pasti menerimaku karena aku sudah bukan anak miskin lagi seperti katanya dulu. Drrrrttt... Drrrttt... Drrrttt... Aku mengambil ponsel dari saku celana kerjaku. Dave. Aku mengembuskan napas kasar. Kenapa harus dia sih yang menelepon. “Ya Dave...” “Kau di mana? Aku telepon ke kantor, kata sekretarismu kau keluar.” “Iya aku di rumah, tidak enak badan,” jawabku asal. “Bisa kau ke cafe biasa malam ini?” “Malam ini? Ya baiklah, aku usahakan.” “Jangan lupa. Aku tunggu.” Aku melemparkan ponselku ke ranjang dan berbaring. Tidak lagi berminat menyentuh kopiku.  “Damian kau di mana?” “Di kampus Bina Ilmu.” “Okey aku ke sana. Jangan pergi dulu.” Aku langsung mengarahkan mobilku ke tempat yang tadi disebutkan Damian.  Buat apa dia nongkrong di sana? Aneh. ******************** ABBY POV Hari ini aku harus ke kampus mengurus beberapa hal. Sebentar lagi aku harus maju untuk sidang skripsiku. Sejak siang, aku sudah di kampus di temani Damian. Yaaa, pria tampan itu memaksa untuk mengantarku saat tadi dia tiba-tiba meneleponku. Aku sudah mati-matian menolak, tetapi dia memaksaku dan langsung menelepon Mama. Terang saja Mama langsung menahanku saat aku akan kabur duluan. Sejak tadi kutinggalkan saja dia di kantin. Sekarang sudah jam empat lewat. Pasti dia sudah mati bosan di kantin menungguku dari tadi. Aku melangkah kecil-kecil ke kantin. Langkahku terhenti melihat pemandangan di depanku. Ya Tuhan....Damian dikerubut cewek-cewek kampus! Aku langsung berlari menyelamatkannya. “Minggirrrrrrrrr!!!!” teriakku nyaring. Kumpulan lebah-lebah pengganggu itu langsung menyingkir. Kulihat Damian sudah menekuk wajahnya. “Sana pada pergi. Gangguin pacar orang aja,” usirku dengan galak. Semua cewek-cewek centil itu langsung bubar sambil mencium jauh ke arah Damian.  “Maafkan aku. Kenapa kau tidak menungguku di mobil saja?” Dia menggeleng. “Aku berjanji menunggu di sini. Lelaki sejati selalu menepati janjinya.” “Ayo kita pulang,” ucapku sambil bangkit dari dudukku. “Sebentar lagi. Temanku mau datang.” Aku kembali duduk sambil mengerutkan kening. “Siapa?” “Itu dia.” Dia menunjuk ke belakangku. “Andra!!!” teriaknya sebelum aku menoleh.  Aku membeku. Jangan bilang kalau... “Hey, Dude!” Dia sudah ada di sampingku. “Abby?” Devan mengerutkan alisnya menatapku.  Aku menelan ludah kelu. “Ha.. hai, Kak,” jawabku gugup. “Kalian sudah saling kenal?” “Kenapa kau bisa bersama dia Damian?” tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Damian. “Aku memang menunggunya, An. Ada masalah apa?” “Dia pacarmu?” Tanya Devan sambil menoleh pada Damian. Damian menyeringai menatapku. “Aku akan sangat bahagia kalau dia mau menjadi kekasihku. Bagaimana, Abs?” Aku hanya menunduk. Menyadari Devan menatapku tajam. “Dasar Jalang!!” ucapnya sambil pergi. Aku terpana. Apa ? Dia bilang aku apa? Jalang? Aku merasakan air mataku merebak. Kulihat wajah Damian juga langsung berubah. Wajahnya merah menahan marah. “Andra!!!” teriak Damian sambil mengejarnya. “Apa maksudmu berkata seperti itu hah?” tanyanya marah sambil mencengkeram pundak Devan. Kulihat Devan menatapku sinis. “Kau tanyakan saja pada jalang kecil itu.” Tanpa aba-aba, Damian langsung memukul rahang Devan keras sampai Devan terhuyung ke belakang. Aku langsung berlari ke arah mereka. “b******k kau!” teriaknya marah. “Damian, sudah! Jangan emosi.” Aku menahan tangan Damian yang akan memukul Devan lagi. “Kakak nggak apa-apa?” tanyaku pada Devan. Kulihat darah di sudut bibirnya. “Tidak usah sok peduli padaku, kau jalang kecil,” jawabnya kasar. “Andra!” Damian langsung melepaskan tanganku yang menahan tangannya dan menerjang Devan lagi. Satu pukulan lagi bersarang di sana. Aku langsung berdiri di depan Damian yang masih akan menerjang Devan. “Damian, sudah. Ayo kita pulang.” Aku langsung menarik tangan Damian ke arah tempat parkir. “Oh... jadi kalian tinggal bersama? Hebat juga kau.” Lagi-lagi dia mengeluarkan suara sinis itu. Pegangan tanganku langsung menguat begitu kulihat Damian mengeraskan rahangnya. “Cukup, Damian. Biarkan saja,” ucapku pelan sambil menatap manik mata birunya. Dia mengembuskan napasnya dan balas menggenggam tanganku erat. “Maaf, gara-gara aku, kau jadi..” “Kau kenal Andra?” Aku menggigit bibirku. Bagaimana ini? Aku harus menjawab apa? “Kemarin aku dan Dave bertemu dengannya,” jawabku akhirnya. “Lalu kenapa dia mengataimu seperti itu?” Aku hanya menggelengkan kepala. Aku juga heran kenapa dia berkata sekasar itu padaku. Aku merasa tidak mengenalnya. Dia bukan Devanku. Devanku tidak pernah bicara sekasar itu padaku. Tanpa bisa kucegah sebutir air mata lolos dari mataku. “Heyy, jangan menangis. Sudah tidak usah dipikirkan.” Dia langsung memelukku erat. Bukannya berhenti tangisku malah makin keras. Damian mengusap-usap kepalaku dengan lembut. Entah kenapa pelukannya menenangkanku. Hangat seperti pelukan Dave. Membuatku nyaman dan merasa di lindungi. Sesuatu yang tidak pernah aku rasakan sepeuluh tahun ini. ********************   DEVAN POV Brengsek! Aku memukul kemudi mobilku dengan keras. Kenapa Abby jadi seperti itu? Dia memang masih kalem seperti dulu, tidak suka berdandan, bajunya pun sopan. Namun mengapa kelakuannya seperti itu? Memacari dua sahabatku sekaligus! Ini gila. Dan Damian memukulku gara-gara dia? Aku menyetir tidak tentu arah. Aku malas bertemu ketiga sahabatku seperti ajakan Dave tadi sore. Damian pasti akan memukulku lagi. Bukannnya aku takut. Aku hanya tidak mau bertengkar dengan sahabatku gara-gara perempuan. Akhirnya aku hanya mengelilingi Jakarta malam itu tanpa berniat berhenti. Mengabaikan perutku yang belum terisi dari tadi siang. Telepon dari Dave sengaja ku biarkan. Aku ingin menenangkan diriku. Setelah lelah berkeliling, aku memutuskan pergi ke rumah Andrea. Di sana lebih baik daripada aku sendirian di rumah.      “Hello Princesss.” Aku mencium Emily dan membawanya ke pangkuanku. “Papa!!” dia memeluk leherku erat dan menghujaniku dengan ciuman. Aku tertawa geli. “Mana Mom?” “Mom dan Dad sedang rapat di kamar. Em nggak boleh ikut,” ucapnya sedih. Aku memutar bola mataku. Pasti kakakku sedang bercinta dengan suaminya. “Hey...jangan sedih. Kan ada Papa di sini.” “Papa... kenapa Aunty Princess tidak di ajak ke sini?” Senyumku langsung hilang mendengar pertanyaannya. Abby lagi! “Mmmm... Aunty Princess juga sedang rapat, Sayang,” jawabku asal. “Seperti Mommy dan Daddy?” Aku mengangguk. Membayangkan Abby dan Damian sedang bercinta. Tanpa sadar aku mengepalkan tanganku. “Babee, sudah lama?” tiba-tiba kakakku muncul dari kamarnya di lantai dua. “Cukup lama sampai aku bisa mendengar teriakan mesummu.” Dia melempar bantal sofa ke arahku. “Kau sendirian?” Aku mengangguk. “Kenapa? “ Inilah kakakku. Sekali lihat dia akan langsung tahu suasana hatiku seperti apa. Aku memejamkan mata dan menarik napas panjang. “Sayang, kamu lanjutkan main bonekanya ya,” ucap Andrea kemudian dan Em langsung turun dari pangkuanku. Aku mencubit pangkal hidungku dan menyandarkan kepalaku ke sofa. “Ada apa, Sayang?” Dia mengelus kepalaku. Aku membuka mataku dan duduk menghadapnya. “Ya Tuhan, bibirmu kenapa?” tanyanya kaget sambil melihat sudut bibirku yang pasti sudah membiru. Dia langsung berlari ke dapur dan kembali dengan mangkuk air hangat dan handuk kecil. “Siapa yang melakukan ini padamu?” “Damian.” “Serius??” tanyanya tak percaya. “Jelaskan padaku!” Aku mengembuskan napasku sebelum bercerita padanya. Selama ini aku paling dekat dengan Damian. Jadi agak aneh kalau sampai aku berselisih dengannya. “Kau ingat Abby?” “Si cantik itu? Bagaimana aku bisa lupa.” “Dia pacar Damian.” “Ya Tuhan.... Kau serius?” Aku mengangguk. “Dia memukulmu saat kau ingin menjelaskan kalau dia pacar Dave?” tebaknya langsung. Aku mengangguk lagi. Walaupun aku tahu Damian marah karena aku mengatai Abby. “Babe, aku tidak mau kalian bertengkar gara-gara perempuan.” “Aku tahu. Aku juga tidak ingin itu terjadi. Tetapi aku bingung menjelaskannya pada mereka. Dan ada satu hal lagi yang harus kau tahu.” Dia menatapku penasaran. “Abby mantan pacarku..” Dan kakakku sukses melongo.                        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN