DEVAN POV
“Apa? Bagaimana bisa?”
Aku menatap kakakku tanpa bicara apa-apa. Jujur, ini berat bagiku untuk kembali membuka masa lalu yang sangat ingin kulupakan.
“Nathan!!” dia mengguncang tanganku dengan tidak sabar. Sangat khas kakakku.
Akhirnya, meluncurlah cerita itu. Cerita yang sebenarnya tidak ingin kuingat lagi, tetapi juga tidak pernah bisa aku lupakan.
Kakakku meneteskan air matanya. “Oh, Sayang.” Dia memelukku erat. Pelukannya hangat seperti pelukan Mom.
“Ehm!!”
Aku semakin erat memeluk kakakku saat mendengar suara itu. Aku sangat suka membuat Bryan cemburu.
“Lepaskan istriku, Devandra Jonathan Alexander!”
Aku tertawa dan berbalik menatapnya. “Pencemburu sekali kau ini.”
“Enak saja kalian peluk-pelukkan di sini dan aku sendirian di kamar,” katanya sambil melempar bantal sofa ke arahku.
Oh Tuhan, suami istri ini hobi sekali melempar bantal sofa.
“My Queen, aku mau coklat panas,” pintanya kemudian dengan manja.
Aku mencibir mendengarnya.
Andrea melepaskan pelukannya dan berjalan ke dapur. “Kau mau juga?” Tanyanya padaku.
“Yep!”
“Mommy, aku juga mau!” Teriak Em tak mau kalah.
“Oke, Kesayangan Mommy!” teriak kakakku dari dapur.
Bryan sudah duduk di karpet sambil bercanda dengan Em.
“Ada apa, Nat? Kau habis berkelahi? Rebutan perempuan, huh?” tanya Bryan padaku.
Aku tersenyum hambar. “Bukan rebutan, aku hanya menyelamatkan sahabatku dari perempuan jalang.”
“Papa, jalang itu apa?” tanya Em tiba-tiba sambil menatapku ingin tahu.
Eh! Aku memukul mulutku. Lupa ada Em mendengarkan.
“Itu kata-kata tidak baik, Princess. Jangan dengarkan Papamu, okey!”
Em mengangguk mendengar perintah Daddy-nya.
“Watch out your mouth, dude!”
Aku menyeringai padanya. “Kak, aku menginap ya?” tanyaku saat kakakku sudah kembali ke ruang tengah dengan empat cangkir coklat panas.
“Iya,” jawab kakakku sambil tersenyum.
“Papa tidur sama Em yaaaa!” Emily langsung berlari memelukku.
“Iya, Sayang.” Aku menciumnya dengan sayang. Em adalah kesayangan kami semua. Satu-satunya cucu dari ayahku.
“Kita bisa lembur, my Queen.”
Aku melirik sinis ke arah Bryan yang menyeringai kepadaku. Beginilah nasib jika menginap di rumah pasangan m***m seperti mereka.
*****
Aku menatap Emily yang terlelap di pelukanku. Sudah jam satu pagi dan aku masih belum bisa memejamkan mata. Lagi-lagi Abby memenuhi pikiranku. Aku menghela napas panjang dan bangkit dari tidurku. Berjalan pelan keluar kamar Emily dan duduk di taman belakang.
Kuusap wajahku dengan frustasi. Aku masih mencintainya. Bahkan semakin mencintainya. Jujur aku tidak rela dia menjadi milik Dave atau Damian. Aku tidak peduli kalau dia telah berubah menjadi seorang gadis jalang sekalipun. Bagiku, dia tetap gadis kecilku. Cinta pertamaku. Dan aku yakin, cinta sejatiku. Aku tidak ingin yang lain. Tetapi bagaimana dengan kedua sahabatku?
Arrrgggghhh.. Kuremas rambutku kasar. Tidak peduli kepalaku jadi berdenyut-denyut setelahnya.
Sebuah tangan tiba-tiba menepuk bahuku. Aku menoleh.
Bryan sudah duduk di sampingku. “Kalau kau yakin, kejar dia.”
Aku menggeleng. “Aku tidak akan merebut milik saudaraku sendiri.”
“Tetapi kau akan tersiksa melihatnya bersama dengan orang lain.”
“Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa mengalami rasa sakit.” Aku tersenyum hambar.
“Cinta perlu perjuangan, dude. Kalau kau hanya diam seperti ini, you will get nothing. Dan pada akhirnya, kau hanya akan menyesalinya seumur hidupmu. Ingat penyesalan itu selalu datang terlambat. Sudah malam, tidurlah!” Dia meninggalkanku sendirian di taman belakang.
Aku terdiam memikirkan semua perkataannya. Bahkan sekarang pun, aku sudah menyesal karena tidak pernah mencarinya. Dan untuk perasaanku, biarlah luka ini kutelan sendiri. Tidak. Aku tidak akan merebut milik sahabatku.
****
ABBY POV
“Div,” aku mengetuk pintu kamar Diva.
“Masuk saja!”
“Aku boleh tidur di sini tidak?”
“Kau bertanya? Sini-sini, come to mama!” Dia meloncat-loncat di kasurnya.
Aku langsung menyusup ke balik selimut dan memeluknya erat.
“Eh, kau kenapa?”
Aku terdiam dan semakin mengeratkan pelukanku di pinggangnya.
“Abby, kau kenapa, Sayang?” tanyanya lembut.
Ini yang aku suka dari dia. Walaupun kami seumuran, dia selalu memposisikan dirinya sebagai seorang kakak bagiku.
Aku mendongak menatapnya. “Kau ingat cerita yang pernah kukatakan padamu dulu?” tanyaku pelan.
Dia mengerutkan kening. “Abby, please! Kita sudah bersahabat sejak umur dua belas tahun! Berapa banyak cerita yang kau katakan padaku?”
Aku tertawa. “Tetapi cerita tentang pacarku cuma satu kan?”
Dia terkesiap. “Maksudmu, cowok yang menghilang saat ulang tahunmu itu? Yang tiba-tiba tidak mau kau temui sesudahnya?”
Aku mengangguk. Dulu aku berniat mengenalkan Diva dan Devan pada saat ulang tahunku yang berakhir dengan tidak munculnya Devan.
“Kau bertemu dengannya lagi?”
Aku mengangguk lagi. “Tetapi dia sudah menikah. Hueee...Divaaaa!!” Akhirnya aku benar-benar menangis sekarang.
“Kau yakin?”
“Aku bertemu dia bersama anaknya.”
“Di mana kalian bertemu?”
“Kemarin waktu aku menemani Dave belanja.”
Diva melepaskan pelukannya dan menatapku.
“Dan kau tahu, ternyata Dave mengenalnya! Kakak bilang mereka bersahabat. Dia juga mengenal Damian.”
“Tunggu, tunggu, tunggu! Sahabat Dave? Mengenal Damian?”
Aku mengangguk.
“Ya Tuhannn,” Diva menutup mulutnya yang aku yakin sudah menganga. “Jangan bilang kalau Andra itu mantan pacarmu yang menghilang itu?”
Aku mengembuskan napas kasar. “Bukan mantan, Div, aku bahkan belum putus dengan dia.”
“Dia belum menikah! Dia lelaki paling dingin di antara mereka berempat. Dave bilang, dia tidak pernah punya pacar sejak mereka masih kuliah.”
“Tetapi, dia bersama anak kecil juga bersama istrinya juga. Istrinya bahkan sangat cantik,” ujarku sedih mengingat wajah cantik istri Devan.
Tiba-tiba Diva tertawa. “Pasti Andrea.”
“Dari mana kau tahu?”
“Dia kakaknya Andra.”
“Apaaa?? Kakakk? Kau bercanda!! Devan itu yatim piatu dari kecil.”
“Hahhhh???” lagi-lagi Diva berteriak kaget. “Kita bangunkan Dave sekarang!” Dia langsung bangkit dari ranjangnya.
Aku buru-buru menariknya. “Untuk apa?”
“Bertanya padany. Hanya Dave yang tahu, itu benar Devanmu atau bukan.”
“Jangan, sudah malam. Kasihan Kakak besok harus ke kantor. Besok saja ya?”
Diva menatapku. “Kau yakin Andra itu benar-benar Devan? Mungkin saja mereka hanya mirip.”
Aku terdiam menatap langit-langit kamar Diva. “Iya, mungkin bukan dia,” jawabku pelan sambil menutup mataku.
Mungkin Andra memang bukan Devan. Mungkin hanya mirip. Kalaupun dia Devan pasti dia mengenalku. Bukannya malah berkata kasar padaku seperti sore tadi. Dan dia juga tidak dipanggil Devan. Mungkin memang dia bukan Devanku. Devan kau di mana ?
****