ABBY POV
Esok paginya kepalaku masih dipenuhi bayangan Devan. Apa benar Andra bukan Devan? Tetapi kenapa mereka mirip sekali? Kecuali sikap dinginnya dan dandanannya yang jelas-jelas mahal dan berkelas. Apa semua telah berubah selama sepuluh tahun ini?
“Kau tidak ke kampus hari ini?” Tanya Diva saat ia keluar dari kamar mandi.
Aku menggeleng. Wisudaku tinggal dua minggu lagi, jadi semua sudah beres. Namun ada satu kejutan yang belum aku bilang pada keluarga baruku ini.
“Lalu apa rencanamu hari ini? Kebaya wisuda sudah oke kan?”
Aku mengangguk. Kebayaku bahkan sudah siap sejak aku belum jadi anak Mama. Beliau sudah menyiapkan semuanya tanpa sepengetahuan aku. Aku bersyukur mama angkatku benar-benar menyayangiku.
“Ikut aku saja ke kantor. Mau?”
“Mauuuuuuuuuu...” jawabku antusias. Aku langsung melesat ke kamarku untuk mandi dan siap-siap.
Diva menatapku dengan kening berkerut saat aku turun ke ruang makan.
“Kau yakin dengan kostummu itu?”
Aku menyeringai dan langsung duduk di sampingnya. Hari ini aku memakai kaus putih lengan panjang bergambar kartun favoritku Doraemon, celana jins, dan sneakers. Ditambah tas ransel.
“Aku seperti sedang mengantar anak SMP pergi piknik.”
Dave dan orang tua kami tertawa mendengar ucapan Diva. Badanku dan Diva memang beda jauh. Badanku kecil, sedang Diva tinggi langsing bak model. Ditambah dandannya yang memang sangat dewasa. Apalagi kalau dengan setelan kantoran seperti ini. Kalau jalan berdua dia sering karena karena dikira kakakku.
“Aku kan hanya mengantarmu,” jawabku sambil menyeringai.
“Sayang, mungkin kau mulai bisa kerja di sana dengan kakak-kakakmu? Kamu bisa handle bagian keuangan,” tawar Papa kemudian.
Aku menyeringai lagi. Mungkin ini saatnya aku harus jujur pada mereka. Aku meminum jus jerukku dan berdehem kecil.
“Mmmmm…sebenarnya ada yang mau Abby kasih tahu...”
Semua menghentikan santapannya dan menatapku intens.
“Jadi begini... Abby mendapat beasiswa melanjutkan S2 dari kampus..”
“Wow.” Itu suara Dave.
“Selamat, Sayang..” itu suara Mama.
“Kereeennn...” itu suara Diva.
“Di mana?” Nah yang ini suara Papa.
Aku menatap mereka satu persatu. Siapkah aku berpisah dengan mereka sementara. Semua terdiam menatapku.
“Ohio,” cicitku sambil menunduk.
“APAAAA???” lagi-lagi suara itu keluar berbarengan.
Aku juga terkejut saat mengetahui pihak kampus ternyata sudah mendaftarkanku untuk program beasiswa itu di sana. Walaupun aku sangat senang membayangkan tinggal di Ohio, tetapi melihat raut wajah keluarga baruku aku jadi ragu.
“Kenapa jauh sekali?” suara Mama bercampur isakan.
Aku bangkit dari dudukku dan memeluk Mama.
“Kenapa bukan di Eropa?”
“Aku didaftarkan dari kampus, Pa. Aku juga tidak tahu soal itu,” jawabku lirih sambil masih memeluk Mama.
“Kalau di Eropa kita dekat menengoknya. Kita punya rumah atau apartemen di sana. Kamu tinggal pilih mau di Jerman, Perancis, atau Inggris. Tetapi di Ohio? Kita tidak punya family di sana,” jelas Dave.
Diva hanya menunduk sambil terisak-isak. Ya Tuhan aku lupa kalau ada dua drama Queen di rumah ini. Like mother like daughter. Gantian aku melangkah ke Diva dan memeluknya.
“Aku tahu kau sudah biasa hidup sendiri. Tetapi itu kan masih di sini. Masih di dekatku. Lalu sekarang, kau mau hidup sendiri di tempat terpencil itu,” ucapnya sambil terisak-isak.
“Ohio tidak sejauh itu. Hanya sepuluh jam dengan mobil dari New York.”
“Itu terpencil! Aku ikut tinggal di sana!”
“Div, aku akan baik-baik saja di sana. Lagi pula aku juga tidak lama. Dua tahun juga selesai.”
“Whattt??? Dua tahun kau bilang tidak lama?” Diva histeris lagi. Aku menepuk kepalaku pelan.
“Sudah..sudah..kita bicarakan ini lagi nanti malam. Sekarang kalian berangkat ke kantor,” perintah Papa kemudian.
Kami beranjak dari ruang makan setelah pamit pada Mama dan Papa. Dave memeluk bahuku dan mengusap puncak kepalaku.
“Kau yakin dengan keputusanmu mengambil beasiswa itu?” tanya Dave saat kami di mobil.
Aku mengangguk saat melihat Dave melirik dari kaca mobil.
“Papa bisa membiayai kuliahmu tanpa beasiswa itu!” tegas Diva sambil menoleh ke belakang tempat aku duduk.
Aku menggeleng. “Please … Ini prestasi aku. Kalau aku tidak lulus cumlaude, aku tidak akan mendapat beasiswa ini. Lagipula aku senang akan ke sana. Mencoba belajar hidup di kultur yang berbeda dengan negara kita..”
“Mungkin aku bisa minta tolong pada Andra. Ayahnya dari Amerika. Mudah-mudahan dia ada keluarga di Ohio,” ucap Dave kemudian.
“Eh, tidak, tidak usah. Nanti kita bisa bicarakan lagi hal ini. Tidak usah minta tolong padanya.”
“Memangnya kenapa? Dia sahabatku. Pasti mau menolong.”
Aku terdiam menatap Diva yang juga menatapku. Aduh bagaimana ini.
*****
DEVAN POV
Sebenarnya, hari ini aku malas ke kantor, tetapi mau bagaimana lagi. Aku punya tanggung jawab besar di sana. Sejak Dad menyerahkan perusahaan itu padaku, praktis semua urusan pekerjaan aku yang handle karena kakakku lebih memilih di rumah mengurus Emily.
“Hari ini aku tidak ada meeting di luar kan?” tanyaku pada Nadia saat aku sampai di kantor pukul Sembilan.
“Tidak ada, Sir. Hanya ada beberapa berkas kerjasama yang perlu Anda periksa. Selebihnya Anda free.”
“Bagus. Jangan buat janji keluar atau pertemuan. Aku sedang tidak ingin di ganggu.”
Aku langsung masuk ke ruanganku dan duduk di sofa bukannya di kursi kerja. Aku mengantuk setelah tidak bisa tidur semalaman.
Abby sedang apa ya? Tiba-tiba saja pikiran itu menyeruak di kepalaku. Apa dia membenciku setelah perkataanku yang sangat menghinanya itu? Lalu Damian? Aku bahkan belum meminta maaf padanya.
Kuambil ponsel dari kantong jas dan mengetik pesan untuknya.
Maafkan aku soal kemarin.
Singkat memang. Namun itulah aku. Aku malas berbasa-basi panjang lebar karena memang tujuanku untuk meminta maaf. Tidak sampai lima menit ponselku berbunyi. Balasan dari Damian.
Kau harus menjelaskan padaku maksud perkataanmu pada Abby kemarin.
Aku menyandarkan kepalaku di sofa. Memejamkan mata dan mencubit cuping hidungku. Bagaimana aku harus menjelaskan padanya soal Dave dan Abby?
Oke.. Kita ketemu siang ini di Cafe biasa.
Aku harus segera menjelaskan ini pada Damian sebelum dia dan Dave bertengkar.
Tidak perlu aku sudah di lobby kantormu. Tunggu aku.
Sepuluh menit kemudian dia masuk ke ruanganku dan langsung duduk di sofa di depanku. Para sahabatku sudah terbiasa masuk ke ruanganku tanpa perlu meminta ijin sekretarisku. Begitupun aku kalau di kantor mereka.
“Tidak sopan sekali kau,” gerutuku ketika dia sampai.
“Aku masih marah padamu Andra. Jelaskan. Padaku. Sekarang.”
“Damian..” aku menatap tepat ke manik matanya yang biru. “Gadis itu.. Abby.. Aku yakin dia bukan gadis baik-baik.”
“Kenapa kau bisa menyimpulkan seperti itu?”
“Aku pernah bertemu dengannya bersama Dave.”
“Lalu?” suaranya masih terdengar santai.
“Bersama Dave, sahabat kita!” suaraku mulai meninggi.
“Iya aku tahu, tetapi apa hubungannya dengan kau mengatakan Abby jalang? Dia bahkan gadis tercantik dan terpolos yang pernah aku kenal,” suaranya terdengar penuh cinta saat membayangkan Abby.
Cih, dia jatuh cinta betulan pada gadisku.
“Damian, itu artinya dia mengkhianatimu! Dia berkencan dengan Dave dan denganmu!” jelasku tidak sabar.
Tidak disangka Damian tertawa terbahak-bahak.
“Kau..” ucapanku terputus oleh suara pintu yang terbuka dan Dave muncul dari baliknya.
“Hei kenapa dia? Obatnya habis?” tanyanya sambil melirik Damian yang masih terbahak-bahak.
Aku hanya mengangkat bahu. Bingung dengan reaksi Damian. “Kenapa kau kemari?” tanyaku pada Dave. Dia duduk di samping Damian.
“Aku butuh bantuanmu.”
Damian berhenti tertawa dan menatapnya.
“Soal?”
“Adikku.”
“Oh, jadi kenapa Diva?”
“Bukan Diva.”
“Lalu? Memangnya kau punya adik lagi? Wooww…kapan Mamamu hamil?”
Lagi-lagi Damian terbahak mendengar omonganku.
“Abby.”
Apa ? Abby ? Adik Dave ? Lelucon macam apa ini?
****
ABBY POV
“Bagaimana hubunganmu dengan Damian?” Tanya Diva tiba-tiba saat aku membaca majalah di ruangannya. Aku menoleh padanya sekilas dan mengangkat bahu. “Memangnya kau tidak punya perasaan apa-apa padanya?”
“Aku tidak tahu. Aku nyaman bersamanya seperti aku sedang bersama Dave.”
“Pasti gara-gara pacar pertamamu itu kan?”
Aku menghela napas dan meletakkan majalah di meja.
“Kau harus move on. Ini bahkan sudah sepuluh tahun. Jika dia memang masih mencintaimu, seharusnya dia mencarimu. Lupakan dia.”
“Aku juga berharap begitu, tetapi aku tidak bisa.” Aku frustasi menatapnya.
Diva bangkit dari kursinya dan duduk di sampingku. “Bukannya tidak bisa. Kau tidak mau melupakannya. Kau ke Ohio bukannya mau menghindari Damian kan?”
Aku menggeleng tegas. Ini sangat tidak ada hubungannya dengan Damian. Justru ini bisa menjadi kesempatanku untuk menghindari Devan.