DEVAN POV
“Andra, berhenti kubilang!” perintah Dave galak saat aku akan meminum gelasku yang kesekian kalinya. Entah yang ke berapa. Aku mengabaikannya.
“Ini sudah gelas kelima belas, Devandra! Kau gila!”
Akhirnya dia merebut gelas kecil itu setelah aku tidak menghiraukannya. Aku mengernyit melihatnya. Kesadaranku mulai hilang tampaknya.
“Sebenarnya ada apa denganmu?” kali ini Damian yang bertanya.
Aku menatap Damian lama. Sekarang dia memiliki Abby-ku. Gadis kecilku.
“Abby,” sahutku lirih dan aku menangis. Bukan hanya terisak. Aku meraung-raung. Rupanya mabuk menghilangkan urat malu dan harga diriku.
Ketiga sahabatku menyeretku keluar dari klub malam itu. Aku tidak bisa lagi mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku hanya ingat didudukkan paksa di kursi penumpang entah mobil siapa. Aku masih meracau memanggil nama Abby.
Tidak lama orang di sebelahku membawaku turun dari mobil. Menyeretku naik ke dalam lift dan akhirnya menidurkanku di kasur empuk. Aku tidak peduli. Air mataku masih mengalir deras dan aku masih terus meracau sampai aku kelelahan dan tertidur.
Aku terbangun esok harinya dengan kepala pusing seperti dihantam batu besar. Tampaknya aku hangover parah. Kulihat di luar tirai, cahaya sudah terang. Aku menyadari kamar ini. Kamar Damian. Di mana dia?
“Sudah bangun?” tiba-tiba dia muncul dari pintu sambil membawa aspirin dan air putih.
Aku terbangun mengabaikan sakit di kepalaku dan meraih kedua benda itu. “Aku mabuk berat ya?”
Dia mengangkat alisnya. “Cukup berat sampai kau tidak malu menangis di depan umum.”
“What??? Kau bercanda kan?” teriakku.
Dia tersenyum simpul. “Kau menangis sepanjang malam seperti gadis yang patah hati dan terus menyebut nama kekasihku, Andra.”
“Damian aku...aku...” Aku tergagap. Bingung harus bilang apa padanya.
Dia menepuk bahuku pelan. “Aku tahu, kau tidak perlu menjelaskannya padaku. Sekarang mandilah. Aku sudah pesankan sarapan.” Dia beranjak dan meninggalkanku sendirian di kamarnya.
Ya Tuhan, apa yang aku perbuat tadi malam? Aku tidak pernah mabuk sebelumnya. Kenapa tadi malam aku bisa lepas kontrol seperti itu? Dan menyebut nama Abby di depan Damian? Apa yang harus kujelaskan padanya?
Sungguh aku tidak berniat untuk mabuk tadi malam. Hanya saja, saat gelas pertamaku datang, aku merasa aku tidak ingin berhenti minum. Aku hanya berpikir dengan minum aku bisa melupakan semuanya.
Getar ponsel di meja memutus lamunanku. Kuambil ponselku dan melihat layar. “Ya, Mom.”
“Sayang, kau di mana? Kenapa tidak pulang ke rumah?”
“Mom sudah pulang?” tanyaku heran. Minggu lalu Mom dan Dad ke Belanda dan katanya akan lama di sana sekitar sebulan.
“Iya. Urusan Daddymu sudah selesai. Kau di mana?”
“Aku menginap di apartemen Damian. Aku akan segera pulang. Aku merindukanmu, Mom.”
“Iya, Sayang, Mom juga merindukanmu. Cepat pulang ya, Nak.”
“As soon, Mom. Love you.”
Aku segera masuk ke kamar mandi membersihkan diriku. Aku merindukan ibuku. Saat ini aku hanya ingin ada di pelukan ibuku. Ibu angkat yang sangat kusayangi dan menyayangiku.
“Damian, aku langsung pulang ya,” ucapku saat kulihat dia sedang membaca majalah di ruang TV.
“Ini sarapanmu. Makan dulu.”
“Tidak usah, terima kasih. Aku akan pulang. Ibuku sudah di rumah. Oh ya, mobilku di mana?”
Dia melemparkan kunci mobilku.
“Thanks, dude,” ujarku sambil melangkah ke pintu.
“Andra...”
Aku kembali menoleh ke arahnya.
“Temui dia. Bicarakan baik-baik.”
Aku hanya mengangguk dan berlalu dari hadapan Damian. Mungkin nanti, satu saat nanti. Entah kapan. Yang jelas untuk saat ini aku menyerah untuknya.
*****
ABBY POV
Berlebihankah jika kubilang hidupku sempurna sekarang? Punya orang tua, saudara, sahabat, kakak, bahkan kakek dan nenek.
Bolehkah aku berharap bahwa roda takdirku akan kembali berputar? Tidak, aku tidak berharap menjadi Abigail seperti sepuluh tahun lalu. Aku hanya berharap, sepuluh tahun kemarin tidak akan terulang lagi dalam sisa hidupku. Aku ingin bahagia. Meski tanpa dia di sisiku. Ya, meski tanpa dia.
Bukankah hidup harus selalu melangkah ke depan? Aku ingin belajar menerima Damian. Memang aku sempat menolaknya, tetapi dia bahkan tidak pernah membahasnya. Dia bersikap seolah tak ada apapun, seolah aku tak pernah menolaknya. Dia tetap baik seperti biasanya, tetap meneleponku, tetap perhatian padaku, dan tetap menyayangiku. Dia bahkan rutin mengunjungiku satu bulan sekali. Sebulan sekali. Berlebihan menurutku. Namun itulah dia. Tidak bisa di tolak.
Seperti sekarang ini. Kemarin dia sampai di sini. Minggu depan, kebetulan keluarga besar mereka akan berkumpul. Kalau aku bilang keluarga besar itu berarti SEMUANYA. Keempat anak grand dan suami-suami juga anak-anaknya.
Sebenarnya aku malu. Aku ingin pergi saja menginap di rumah temanku, aku tidak ingin bertemu keluarga Damian. Aku kan bukan siapa-siapa mereka.
“Sayang, kau kenapa?”
Suara grandma membuatku menoleh. Aku tersenyum gugup ketahuan melamun. Saat ini aku sedang membantu grandma di kebun belakang mansion.
Keluarga Adams mempunyai perkebunan apel di belakang rumah.
Pagi ini aku membantu grandma memilih apel. Kebetulan kuliahku libur hari ini.
Grandma akan membuat pie apel andalannya. Pie buatan grandma juara lezatnya. Sekali aku mencobanya, aku ketagihan minta dibuatkan hampir setiap hari. Dan untungnya, wanita itu menuruti permintaan konyolku itu.
“Sayang?”
Aku menyeringai. “Tidak apa-apa. Hanya berpikir.”
“Tentang apa?”
“Mmm... Apa sebaiknya minggu depan aku menginap saja di rumah temanku?”
Grandma menatapku tajam. Mata birunya menyipit. “Kau mau kabur?”
Aku menggeleng kuat. “Bukan kabur. Hanya saja, itu kan perkumpulan keluarga...”
“Lalu kenapa? Kau juga cucuku!”
Aku menggaruk tengkukku.
“Memangnya kau tidak mau berkenalan dengan anak-anak dan cucuku yang lain? Kau tidak ingin berkenalan dengan Maddy?”
Maddy itu Maddeline. Anak ketiga grandma. Menurutnya, Aunt Maddy sangat mirip denganku. Aku pernah diperlihatkan fotonya saat Aunt Maddy masih sekolah. Dan dia benar-benar mirip denganku. Dia sekarang tinggal di Seattle bersama suami dan satu anak lelakinya.
Cucu grandma semuanya laki-laki. Tidak ada yang mempunyai anak perempuan, padahal empat anak grandma perempuan semua. Mungkin karena itulah grandma sangat menyayangiku.
“Dan anak-anakku sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu.”
“Grandma sudah menceritakan tentang aku?” tanyaku heran.
Grandma mengangguk sambil terkekeh. “Jadi kau tidak bisa kabur.”
Aku cemberut menatap punggung Grandma yang berjalan mendahuluiku. “Grandma curangg!” Aku mengikutinya sambil menghentak-hentakkan kakiku. Grandma semakin terkekeh melihatku.
Aku terkadang bisa sangat manja padanya. Mungkin karena dari kecil aku tidak pernah merasa dekat dengan kakek nenekku. Apalagi kakek nenekku yang di London. Sejak aku kecil, mereka seolah tidak pernah menganggapku ada. Aku juga tidak tahu kenapa. Aku merasa aku bukan cucu mereka mengingat perlakuan mereka padaku. Karena itulah dulu Dad dan Mom jarang membawaku ke London.
“Kau kenapa, Sugar?” Tiba-tiba Damian sudah ada di sampingku. Dia tadi bersama Grandpa berkeliling bagian lain kebun ini yang ditanami labu.
“Grandma,” sahutku sambil masih bersungut-sungut.
“Kenapa Grandma?”
“Masa semua keluargamu sudah tahu tentang aku!” ucapku sebal.
Dia menaikkan alis tebalnya. Aku terpana menatapnya. Bagaimana bisa dia terlihat begitu tampan? Dan kenapa aku tidak bisa mencintainya?
“And then? what's the problem?”
“Ya Tuhan, kau belum paham juga ya?”
Si tampan itu menggeleng.
“Aku kan baru tinggal di sini beberapa bulan, dan aku hanya menumpang di sini, apa harus aku diperkenalkan dengan keluarga besar kalian?”
“Jadi hanya itu masalahnya?” tanyanya enteng.
“Hanya? Kau bilang hanya??? Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku? Aku kan hanya orang lain di sini??”
“Hei, listen to me!” Dia memeluk pinggangku untuk mendekat ke arahnya. “Tidak akan ada yang menolakmu. I promise,” ucapnya lembut sambil mengecup keningku. Dia menempelkan dahinya di dahiku. Hidung kami bersentuhan.
“Are you sure?” tanyaku pelan.
“Really sure, My Sugar,” bisiknya pelan sambil mencium bibirku.
Dan bodohnya, aku tidak mampu menolaknya. Ciumannya lembut dan penuh cinta. Awalnya aku diam saja tidak membalas ciumannya, tetapi bibirnya terasa manis. Saat aku mengerang dia menelusupkan lidahnya dan mengabsen setiap jengkal mulutku.
Aku mendesah pelan. Sudah lama aku tidak seintim ini dengan seorang pria. Bahkan Devan dulu hanya pernah mencium pipiku.
Devan... Devan... Astaga... Aku melepas bibirku saat ingatanku tentang Devan kembali menyerangku.
Damian menatapku meminta maaf. Dia mengusap pipiku yang aku yakin memerah sekarang. “Maafkan aku,” bisiknya sambil menangkup kedua pipiku dengan tangannya yang hangat.
Aku menatap lekat manik matanya. “Tidak. Aku yang seharusnya minta maaf. Aku tidak bisa...”
Damian tersenyum dan mengecup dahiku. Maafkan aku, Damian.