10

1352 Kata
ABBY POV Tidak terasa, sudah satu minggu aku ada di Ohio. Akhirnya aku berangkat ke Ohio diantar seluruh keluargaku. Catat ya... SELURUH keluarga. Di tambah Damian dan Daniel. Mereka bersikeras mengantarku ke sini sekalian meminta ijin pada keluarga Damian. Ya... keluarga Damian. Dalam hal ini, Kakek dan Nenek Damian. Malam setelah acara wisuda di kampus, Papa dan Mama meminta kami berkumpul di ruang keluarga untuk membicarakan perihal keberangkatanku ke Ohio. “Jadi kau sudah mantap untuk mengambil beasiswa itu?” tanya Papa kuikuti anggukan kepalaku. “Okey, Papa dan Dave sudah bicara soal ini. Kau akan tinggal bersama keluarga Adams di sana.” Aku berkerut mendengarnya. Keluarga Adams siapa? Apakah rekan bisnis Papa di sana? “Kemarin aku sudah bicara dengan Damian, ternyata kakek dan nenek Damian sekarang tinggal di Ohio. Jadi, aku meminta ijin Damian untuk mengijinkanmu tinggal di sana selama kau kuliah di Ohio,” jelas Dave kemudian. “Tetapi, Kak...” “Tidak ada tetapi atau kau tidak jadi kuliah di sana!” tegas Papa kemudian. Dan itulah yang terjadi. Kami sekeluarga plus Damian dan Daniel pergi ke Ohio dengan pesawat pribadi punya Damian. Kakek dan Nenek Damian orang yang sangat sangat ramah dan menyenangkan. Aku merasa mempunyai grandpa dan grandma lagi. Aku diterima dengan baik di sini bahkan dianggap seperti cucu mereka sendiri. Mereka hanya tinggal berdua di sini dengan para pelayan. Anak mereka ada empat termasuk ibu Damian yang sekarang tinggal di Jerman bersama suaminya. Sedangkan tiga yang lain, tinggal di New York, Seattle, dan Washingthon DC. Mereka memutuskan tinggal di kota kecil ini menikmati hari tua mereka dan membeli mansion mewah yang sekarang mereka tinggali. Ada lahan luas di belakang mansion yang ditanami apel. “Kau suka tinggal di sini?” tiba-tiba Damian sudah ada di sampingku. Aku sedang duduk sendirian di taman belakang mansion. Dia sangat tampan seperti biasanya dengan sweater hitam, kemeja garis abu-abu dan celana jeans. “Iya, meskipun mungkin aku akan jadi pinguin di sini saking dinginnya,” sahutku dengan gemetaran. Sedang musim dingin di sini. Walaupun tidak ada salju, tetapi suhunya luar biasa dingin. Damian tertawa sambil merangkul pundakku. “Aku jadi ingin menemanimu terus di sini,” ucapnya sambil mengusap puncak kepalaku. Aku yakin wajahku memerah mendengar omongannya barusan. Aku menunggu, menunggu letupan itu datang saat dirinya ada di sampingku seperti ini, tetapi lagi-lagi, aku tidak merasakan apapun selain rasa nyaman sebagai seorang adik. “Kau kan punya pekerjaan di sana.” “Aku akan sering-sering ke sini.” Dia menyeringai padaku. “Kenapa?” Pertanyaan bodoh. Sudah pasti untuk menengok kakek neneknya kan? “Tentu saja menengok granny,” jawabnya sambil tertawa. “Juga menengokmu,” bisiknya di telingaku. Aku menatap mata birunya yang menatapku tepat di manik mataku. “Abby,” tangannya turun menggenggam kedua tanganku. “I love you from the first time I saw you. Will you be mine?” Ya Tuhan...Pria tampan ini memintaku jadi pacarnya? Apa aku mimpi? “Damian...aku...aku...” Sial kenapa aku jadi gugup begini. “Wait a minute.” Dia meninggalkanku dan masuk kembali ke rumah. Tiba-tiba terdengarlah suara itu. Lagi-lagi aku menganga. Ya Tuhan, dia memainkan piano dan bernyanyi untukku! Tanpa sadar aku sudah berlari ke ruang keluarganya. Dia duduk di kursi depan grand piano putihnya. Aku melihat sekeliling. Hanya kami berdua, tetapi ruang keluarga itu berhias lilin-lilin indah dan berbagai bunga. Damian bangkit dari duduknya dan berlutut di depanku. “Will you be mine?” tanyanya sambil menggenggam tanganku. Aku memejamkan mata mencari keyakinan dalam diriku. Aku harus apa? Aku mencintai Devan, tetapi apa harapan untuk kami masih ada? Atau aku harus move on seperti yang Diva katakan? Tetapi cinta itu belum ada dalam diriku untuk Damian. Aku harus bagaimana? “Aku...aku...ma...maaf, Kak. Maafkan aku.” Aku berlari meninggalkannya. Aku tak bisa. Benar-benar tidak bisa. **** DEVAN POV “Hai, An!” Tiba-tiba saja Daniel sudah masuk ke ruang kerjaku pagi ini. Berpakaian rapi tetapi tanpa jas dan dasi. Dahiku berkerut melihat jaket yang dikenakannya, pasti dia naik motor lagi. “Tidak ke kantor?” Dia menggeleng. “Aku baru sampai tadi malam, biar saja Joe yang handle satu hari lagi,” jawabnya sambil terkekeh. Joe adalah orang kepercayaan Daniel. Aku bangkit dari dudukku dan duduk di sofa di sampingnya. “Kopi?” tawarku. Dia mengangguk. “Dengan s**u,” pintanya kemudian. Aku segera menyuruh sekretarisku ke pantry membuat pesanan Daniel. “Jadi kenapa kalian ke Ohio tanpa memberitahuku?” Dia menyeringai menatapku. “Maaf, bukannya kami tidak mau mengajakmu. Hanya saja, aku dan Dave berpikir daripada kau dan Damian ribut di sana, lebih baik kau tidak ikut.” “Sorry, what do you mean?” Aku menyipitkan mataku. Baru Daniel akan membuka mulutnya, sekretarisku masuk membawakan kopi Daniel dan coklat panas untukku. “Seleramu kapan akan berubah, Devandra,” cibirnya melihat cangkir coklatku. Aku hanya tersenyum sambil menyesap minumanku. Aku tidak akan pernah bisa berpaling dari coklat. Ini minuman kesukaan Abby. “So?” Tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya. Dia meletakkan cangkirnya dan menatapku. “Abby.” Hanya satu nama itu dan langsung membuatku terfokus penuh pada Daniel. “Damian sudah jatuh hati padanya sejak pertama kali dia melihatnya, dan minggu kemarin dia harus berangkat ke Ohio untuk melanjutkan kuliahnya.” “Ohio?” “Ya. Dia mendapat beasiswa S2 di sana. Awalnya, orangtua Dave melarangnya mengambil beasiswa itu, tetapi rupanya gadis itu keras kepala.” Daniel tersenyum sendiri dalam ceritanya. “Awalnya Dave ingin meminta tolong padamu untuk menyewa salah satu apartemen atau rumahmu di sana. Tetapi ternyata kau dan Abby ada cerita yang belum selesai ya? Jadi, Damian menawarkan Abby untuk tinggal bersama kakek neneknya di sana.” “Kakek nenek Damian tinggal di Ohio?” “Mereka baru pindah tahun lalu dan sekarang tinggal di Ohio berdua. Jadi kami ke sana satu minggu mengantar Abby.” “Memangnya Diva juga akan tinggal di sana sampai kau harus ikut segala?” Dia menyeringai. “Diva memintaku ikut. Tidak mungkin aku menolak ajakan wanita tercintaku itu.” “Jadi Abby di Ohio sekarang? Berapa lama?” “Dua tahun.” Ya Tuhan...dua tahun...kenapa lama sekali. “Kenapa dia tidak mengambil program yang lebih cepat?” Daniel mengangkat bahu. “Aku yakin Damian akan mati karena rindu,” ucapnya sambil terbahak. “Maksudmu?” Daniel berhenti tertawa dan menepuk bahuku pelan. “Lupakan Abby, dia milik Damian sekarang.” Apaaaa? Jadi benar sekarang mereka pacaran? “Menurutmu?” Ternyata tanpa sadar aku mengucapkan pikiranku. Aku mengacak rambutku frustasi. “An...” Ucapan Daniel terpotong karena pintu ruang kerjaku terbuka lebar dan menampilkan dua orang yang tadi kami bicarakan. Dave dan Damian. Mereka duduk di sofa di depanku dan Daniel. “Kenapa mukamu kusut sekali? Kangen kami, eh?” tanya Dave sambil tersenyum mengejekku. “b******k kalian. Kenapa pergi tanpa memberitahuku.” Dave tertawa keras. “Sorry, dude, bukan maksud kami untuk...” “Jadi sekarang kau dan Abby pacaran?” tanyaku pada Damian, memotong pembicaraan Dave. “Apa itu penting untukmu? Bukankah kau yang mencampakkannya?” dia balas bertanya. “Andra,” Dave menyela. “Jangan pernah sakiti dia, Damian,” ucapku memotong perkataan Dave. Damian menatapku selama beberapa saat tanpa bicara apapun. “Jadi kau menyerah?” tanyanya kemudian. Aku mengangguk. “Aku tak akan merebut kebahagiaan saudaraku dan orang yang kucintai, Damian. Abby pantas bahagia, dan aku yakin kau bisa membahagiakan dia.” Daniel memeluk bahuku dan menepuk punggungku pelan. Dave menatapku tajam. “Aku tidak akan mengganggu dia lagi, Dave. Kau tenang saja.” “Apa kau tidak berniat untuk minta maaf padanya setelah kau pergi tanpa pesan sepuluh tahun lalu?” tanyanya masih menatapku tajam. “Aku tidak yakin dia akan memaafkanku.” “Sejak kapan kau jadi pengecut, An?” kali ini Damian yang bertanya. “Mungkin tidak sekarang. Dia sedang bahagia bersamamu. Aku tidak ingin merusak kebahagiaannya.” Aku tersenyum dan menyesap coklatku kembali. Mengabaikan ketiga sahabatku yang menatapku tajam. Juga mengabaikan perih yang semakin lama semakin terasa di jantungku. “Okey, mungkin kita bisa merayakannya malam ini teman-teman,” ucap Daniel memecah keheningan. “Cafe biasa mungkin,” saranku kemudian. Ketiganya mengangguk. Aku tersenyum. Aku memang butuh minum malam ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN