Sementara itu, di suatu tempat, Lila tersenyum tipis, menatap kartu nama yang ada di tangannya. Kartu itu milik Hannan, yang ia curi dari dalam tas kerjanya, pada malam itu.
“Om Hannan… Om Hannan. Siapa suruh kamu sok jual mahal. Buat aku semakin penasaran sama kamu. Jangan salahin aku kalau menarik kamu dalam permainanku,” gumamnya lirih.
Lila mengeluarkan ponselnya dari tas, untuk menghubungi Hannan.
Baru dering pertama, panggilan langsung tersambung.
“Halo, assalamualaikum. Maaf ini siapa ya?” terdengar sapaan hangat dari seberang sana.
“Hai Om, masih inget sama suaraku,kan?”
Hannan langsung membulatkan matanya, menatap layar ponselnya dengan tak percaya.
“Kamu wanita gila tadi,kan?” tanyanya memastikan.
Lila mendengus. “Nama aku Lila, Om. L-I-L-A,” koreksinya dengan cepat.
“Terserah nama kamu siapa, yang jelas ayo kita bertemu sekarang. Ada yang mau saya bicarakan,” kata Hannan dengan ketus.
Lila tertawa kecil. “Mau bicara apa sih, Om? Atau jangan-jangan…. Mau ambil segitiga berenda aku tadi pagi ya, Om?” goda Lila dengan genit.
Hannan berdecak. “Cepat share lock, saya ke sana sekarang!” Hannan langsung mematikan telepon, sebelum emosinya kembali meledak karena ulah Lila.
Tak berselang lama ponselnya bergetar, ada pesan masuk dari Lila. Ternyata gadis itu menurut dan mengirimkan lokasinya saat ini.
Hannan melangkah masuk ke dalam kafe dengan raut wajah masam. Matanya langsung menemukan sosok Lila yang duduk santai di sudut ruangan dengan senyum lebar di wajahnya.
"Cepat kamu jelaskan kenapa kamu mengirimkan foto-foto tak layak itu pada orang tuaku dan kenapa kamu berbohong kalau ponselmu mati?!" Hannan menuntut dengan nada tajam.
"Sebutkan saja berapa banyak uang yang kamu mau. Saya akan berikan sekarang juga, tapi kamu harus jelaskan pada orang tuaku kalau tidak terjadi apa-apa antara kita! Dan foto itu kamu yang mengeditnya!"
Lila mengulum senyumnya, lalu menyandarkan tubuhnya dengan santai. "Santai dong, Om! Duduk dulu, baru kita bicarakan baik-baik?" katanya dengan tenang.
Hannan mendengus frustasi. "Gak usah basa-basi! Cepat katakan berapa banyak uang kamu minta?!" tanyanya tak sabaran.
Lila tertawa kecil, menatapnya dengan mata berbinar penuh keusilan. "Yakin, Om, mau kasih berapapun yang aku minta?"
Hannan terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Berapapun yang kamu minta akan saya berikan. Yang terpenting, kamu bantu jelaskan pada orang tuaku kalau tidak terjadi apa-apa antara kita. Saya tidak mau dipaksa menikah dengan wanita gila seperti kamu!"
"Menikah?" Lila mengedipkan mata dengan pura-pura terkejut. "Kayaknya ide bagus tuh. Kalau kita menikah, aku bukan cuma dapat uang Om, tapi juga tubuh Om." Lila mengedipkan sebelah matanya dengan genit.
Mata Hannan langsung melotot. "Jangan macam-macam kamu! Cepat sebutkan berapa banyak yang kamu mau, setelah itu ikut saya ke rumah dan jelaskan semuanya supaya orang tua saya tidak salah paham!"
Lila menyilangkan kakinya, melipat tangan di depan d**a, lalu menatap Hannan dengan tatapan menggoda. "Memangnya kenapa sih Om, kalau nikah sama aku? Kayaknya nggak bakal rugi deh. Aku cantik, seksi, dan kuat di ranjang juga loh. Om nggak bakal bosan punya istri sesempurna aku,” bisiknya dengan genit.
Hannan nyaris jatuh dari kursinya. "Dasar gila! Bisa nggak sih, kamu jangan ngomong aneh seperti itu terus?! Jadi perempuan kok gak punya malu!" dengkusnya emosi.
Lila tertawa, lalu melambai ke arah pelayan. "Daripada Om marah-marah terus, lebih baik kita pesan minuman dulu. Biar ngobrolnya makin enak."
Seorang pelayan mendekat untuk mencatat pesanan mereka.
"Saya pesan orange juice saja," kata Hannan cepat.
"Kalau saya jus alpukat, Mbak. Jangan manis-manis ya, soalnya calon suami saya ini sudah manis, takutnya nanti malah kena diabetes!" Lila tertawa geli, sementara Hannan hanya bisa menatapnya dengan wajah merah padam.
“Baik. Mohon ditunggu sebentar ya, Mbak, Mas.” Pelayan itu berlalu pergi.
Lila menopang dagu, dan menatap Hannan dengan tatapan penuh puja. Seperti seorang kucing yang siap menerkam mangsanya.
“Ngapain kamu lihatin saya begitu?!” tanyanya dengan tatapan tajam.
Lila hanya tertawa saja, dan tak mengalihkan pandangannya.
Tak lama kemudian, minuman mereka datang. Hannan langsung meneguk jusnya hingga setengah. Berhadapan dengan Lila benar-benar menguras tenaganya.
"Udah deh Om setuju aja nikah sama aku. Aku ini tipe setia loh. Aku pasti bakal melayani Om sebaik mungkin, terutama di ranjang." Lila mengedipkan sebelah matanya.
Hannan hampir tersedak. "Bisa nggak sih, kamu nggak usah bahas masalah ranjang terus?! Apa di otakmu itu isinya cuma ranjang, ranjang, dan ranjang aja?!" teriaknya emosi.
Beberapa pengunjung sampai menoleh ke arah mereka.
Lila hanya tertawa dan meletakkan jari telunjuk di bibirnya. "Hush! Jangan keras-keras dong, Om. Nanti didengar orang."
Hannan menarik napas dalam-dalam. "Sudah cukup! Cepat sebutkan berapa uang yang kamu mau, akan saya berikan sekarang. Setelah itu, kamu harus membantu menjelaskan pada orang tua saya kalau foto itu hanyalah rekayasa."
Lila tersenyum puas. "Nggak banyak kok, Om. Cuma 100 juta aja. Lumayan buat perawatan," katanya dengan santai.
"Baiklah, akan saya transfer. Tapi sebelum itu, kamu harus ikut saya sekarang juga ke rumah dan jelaskan semuanya."
Lila setuju. Ia melambaikan tangan ke pelayan untuk membayar tagihan mereka.
"Sebagai ucapan permintaan maaf, biar aku aja yang bayar minuman ini ya, Om. Om duluan aja ke mobil, nanti aku susul," katanya dengan manis.
Hannan tak langsung percaya. Ia menunggu sampai Lila selesai membayar. Setelahnya, mereka berjalan bersisian menuju tempat parkir.
Namun, begitu mereka keluar dari kafe, kepala Hannan tiba-tiba terasa berat. Matanya sulit dibuka, dan dalam waktu singkat, ia tidak sadarkan diri.
Lila tersenyum puas, lalu mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang.
Tak lama, sebuah mobil merah berhenti di depannya. Lila menuntun tubuh Hannan yang tak sadarkan diri ke dalam mobil, lalu setelahnya ia memutari mobil dan duduk di kursi penumpang depan.
"Gimana mangsa gue kali ini ganteng, kan?" tanyanya dengan nada bangga.
Melly tertawa kecil sambil menoleh ke belakang, menatap wajah tampan Hannan yang masih pingsan.
"Bukan cuma ganteng, tapi aroma duitnya kuat banget," kata Melly terkekeh.
Lila ikut tertawa. "Tentu dong! Kalau nggak punya duit, mana mungkin gue mau?"
Melly menghidupkan mobil. "Mau bawa dia ke mana sekarang?"
"Ke kosan gue dong," jawab Lila dengan tatapan penuh arti.
Hannan mengerjapkan matanya dengan susah payah. Kepalanya terasa berat, seakan ada batu besar yang menindihnya. Suara ribut-ribut di sekelilingnya membuat kepalanya semakin berdenyut. Begitu matanya terbuka sepenuhnya, ia tersentak. Ia berada di ruangan asing dengan banyak orang berkumpul di depan pintu, menatapnya dengan ekspresi mencurigakan.
"Ada apa ini?" gumamnya bingung.
Ia menoleh ke samping dan hampir melompat dari tempatnya, ketika melihat seorang wanita dengan tubuh tertutupi selimut duduk di sebelahnya. Hanya wajahnya yang terlihat.
"Lila?!" seru Hannan panik.
Ia buru-buru memeriksa pakaiannya yang berantakan dan koyak di beberapa bagian. Bahkan banyak noda merah di dadanya. Ia langsung merasa dejavu begitu teringat kejadian di dalam mobil malam itu.
"Dasar pasangan m***m! Cepat keluar kalian sekarang! Malu-maluin aja!" teriak seorang wanita bertubuh gemuk di depan pintu.
"Kita arak mereka keliling kampong aja. Biar kapok!" sambung warga lain dengan nada geram.
"Apa?! Nggak! Saya nggak m***m! Saya nggak ngapa-ngapain! Saya tadi…" Hannan mencoba menjelaskan.
"Halah alasan! Mana mungkin ada maling yang mau ngaku. Kalau ada pasti penjara penuh!" potong seorang ibu-ibu dengan galaknya.
Hannan memutar otaknya mencari cara untuk keluar dari situasi gila ini. Matanya menatap Lila yang masih diam menunduk dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk mencoba menjelaskan yang sebenarnya.
"Udah, Pak! Ayo kita arak mereka sekarang. Malu-maluin kos-kosan saya saja!" teriak si ibu bertubuh gemuk tadi.
Tanpa aba-aba, para warga mulai menerobos masuk, menarik Hanan dan Lila dengan paksa.
"Lepaskan saya! Saya nggak salah! Ini semua pasti rencana wanita gila ini! Dia itu licik, Pak! Dulu dia pernah menjebak saya seperti ini juga!" jelas Hannan dengan suara penuh emosi sambil menunjuk ke arah Lila.
Lila tetap diam, hanya menggigit bibirnya, seolah pasrah dengan keadaan.
"Sudah! Jangan percaya omongannya! Kita arak aja mereka!" seru warga semakin kalap.
"Nggak! Saya bisa kasih bukti kalau kami berdua nggak ngapa-ngapain!" teriak Hannan bersikeras.
"Bukti apaan? Baju kamu aja udah berantakan gitu! Leher kamu merah semua! Pacar kamu juga nggak pake baju! Mana mungkin kalian nggak ngapa-ngapain?!"
Hannan mengumpat dalam hati, lalu berbalik menatap Lila dengan geram. "Cepat jelaskan ke mereka kalau kita berdua nggak ngapa-ngapain! Mereka salah paham!"
Lila akhirnya mendongak. Dengan wajah polosnya, ia berkata, "Nggak ngapa-ngapain gimana, Om? Bukannya Om janji bakal bayar aku 100 juta setelah melayani Om?"
Hannan membelalak. "APA?! Kapan saya bilang begitu?! Saya memang mau bayar kamu 100 juta, tapi bukan untuk ini!"
Para warga semakin panas.
"Wah parah! Berani bayar 100 juta cuma buat indehoy di kosan. Nggak bisa dibiarkan ini!"
"Udah jangan lama-lama. Ayo arak mereka sekarang! Kalau perlu, keliling Jakarta sekalian!"
Tiba-tiba, seorang pria paruh baya berkumis tebal mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua orang tenang. Dialah Pak Rohman, Ketua RT setempat.
"Sudah, sudah jangan main hakim dulu. Biarkan saya bicara dengan pasangan ini!" katanya tegas.
Suasana sedikit mereda. Pak Rohman menatap tajam ke arah Hannan dan Lila.
"Sekarang saya kasih kalian dua pilihan. Menikah sekarang juga atau diarak keliling komplek, kalau perlu sampai keliling kota Jakarta. Biar kalian jera dan tidak berbuat m***m lagi.”
Hannan menggeleng cepat. "Nggak, Pak! Saya nggak mau nikah sama dia. Saya juga nggak mau diarak. Saya beneran nggak ngapa-ngapain! Saya dijebak, Pak."
"Udah Pak nggak usah kasih ampun. Kita arak aja mereka!" Warga kembali menarik Hannan dan Lila dengan paksa.
Keadaan kembali memanas, banyak warga yang berdatangan karena penasaran.
"Ada apa sih ini ribut-ribut?" tanya seorang pria paruh baya yang baru saja keluar dari bengkelnya.
"Itu Pak Andri. Ada pasangan m***m di kos-kosannya Bu Rodiah. Gara-gara mereka, komplek kita jadi ternoda. Kalau dibiarin nanti komplek kita kena sial," jelas salah seorang warga.
Pak Andri pemilik bengkel yang tak jauh dari kos-kosan Lila tampak geram. Namun, ekspresinya berubah begitu melihat siapa yang sedang ditarik oleh warga. Ia langsung menerobos kerumunan.
"Loh Hannan? Jadi kamu yang m***m di komplek ini?!"
Hannan tampak kaget sekaligus lega melihat pria itu.
"Om Andri… Tolong saya. Ini semua jebakan, Om. Saya nggak mau diarak keliling komplek. Saya juga nggak mau dinikahkan sama wanita gila ini. Tolong… saya Om."
Pak Andri menghela napas panjang, lalu berjalan mendekati Pak Rohman.
"Pak, sebaiknya pasangan ini di taruh di rumah saya dulu. Saya kenal dengan orang tua pria itu, biar saya yang menghubungi mereka dan mencari solusi terbaik."
Pak Rohman berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, kita bawa pasangan ini ke rumah Pak Andri. Tapi masalah ini harus diselesaikan hari ini juga!"
Akhirnya, Hannan dan Lila dibawa ke rumah Pak Andri, meninggalkan warga yang masih menggerutu. Hanya beberapa orang saja yang mengikutinya ke rumah Pak Andri.