Matahari sore mulai meredup, sinarnya menyelimuti halaman rumah sederhana tempat akad nikah itu berlangsung. Beberapa warga masih berkerumun, sebagian besar membicarakan pernikahan yang terjadi secara mendadak.
"Saya nikahkan dan saya kawinkan Anda, saudara Rasheed Hannan Al Buchori bin Muhammad Kaffa Al Buchori, dengan saudari Adeeva Khalila Putri binti Heri Saputra almarhum, yang walinya telah mewakilkan kepada saya untuk menikahkan dengan Anda, dengan mas kawin berupa uang sebesar Rp100 juta dibayar tunai," ucap penghulu dengan suara tegas dan lantang.
Hannan menelan ludah, tangan kirinya mengepal erat di atas lutut. Tak pernah dalam hidupnya ia berpikir akan menikah dalam kondisi seperti ini. Namun, ia tahu menolak hanya akan memperpanjang masalah.
"Saya terima nikah dan kawinnya Adeeva Khalila Putri binti Heri Saputra almarhum dengan mas kawin tersebut dibayar TUNAI," jawabnya mantap dalam satu tarikan napas.
Suasana sejenak hening. Semua mata tertuju pada mereka. Dan dalam hitungan detik, suara "sah" dari para saksi menggema. Lila menggigit bibir bawahnya, air mata jatuh tanpa ia sadari. Ia tahu cara yang ia pilih salah, namun di saat yang sama, ia berjanji akan menjadi istri yang baik untuk Hannan.
Hannan menarik napas panjang ketika penghulu menginstruksikan mereka untuk saling bersalaman. Ia merasakan tangan Lila yang hangat dan sedikit gemetar saat ia menggenggamnya. Ketika ia menunduk dan mengecup kening Lila, perempuan itu menahan napasnya. Hannan sendiri tidak tahu kenapa ia tetap melakukan semua prosesi ini dengan benar, meskipun hatinya penuh amarah dan ketidakrelaan.
Pernikahan mereka sederhana, hanya dihadiri keluarga inti dan beberapa warga. Hanan memakai jas seadanya, begitu pula Lila. Keduanya tak sempat mempersiapkan pernikahan ini karena harus menghindari amukan warga.
Di samping mereka, Kaffa, ayah Hannan, hanya bisa menatap dengan wajah penuh penyesalan.
"Selamat ya, Kaffa. Akhirnya anakmu berkeluarga semua," ujar Andri, sahabat lamanya.
"Terima kasih, Andri. Dan sampaikan permintaan maafku pada para warga atas tindakan Hannan dan Lila. Aku benar-benar menyesal dengan perbuatan mereka berdua. Semua ini terjadi karena kelalaianku sebagai orang tua. Andaikan aku lebih tegas, mungkin tidak akan begini jadinya," ucap Kaffa dengan suara berat.
"Daddy! Aku nggak ngapa-ngapain loh. Aku sama sekali nggak mengecewakan Daddy dan Mommy. Aku ini dijebak perempuan ular ini. Dia yang merencanakan semuanya!" sahut Hannan dengan nada tinggi, menunjuk langsung ke arah Lila yang masih tertunduk.
"Hannan! Jaga bicaramu. Bagaimanapun juga, Lila sekarang istrimu. Tidak pantas seorang suami berbicara kasar seperti itu," tegur Letta, ibunya, dengan tatapan tajam.
Hannan mendecak kesal. "Meskipun kami sudah menikah, jangan pernah berharap aku akan memperlakukannya dengan baik. Dia pasti akan menerima balasannya!" ujarnya sambil membuang muka.
Lila hanya tersenyum. Ia tidak membalas, tidak juga tersinggung. Sebaliknya, ia menatap wajah Hannan dengan tatapan penuh harapan.
Di sampingnya ada Melly, menyikut lengannya sambil berbisik, "Selamat ya, Beb. Semoga keputusan lo ini gak salah."
Lila tersenyum percaya diri. "Gue yakin Om Hannan nggak akan terus-terusan marah sama gue. Gue jamin dalam waktu singkat gue bisa bikin dia jatuh cinta."
Hannan menoleh tajam. "Ngapain kalian bisik-bisik? Mau merencanakan sesuatu lagi?!" tuduhnya.
Lila mengangkat kedua tangannya. "Nggak kok, Om. Mana berani aku merencanakan sesuatu lagi," jawabnya polos.
"Awas aja kalau kamu sampai merencanakan sesuatu lagi. Akan saya gantung kamu di pohon nangka itu!" Hannan menunjuk pohon nangka yang ada di halaman rumah Pak Andri.
Bukannya takut, Lila malah tertawa. Ia tahu Hannan sedang sebal, tapi itu justru membuatnya semakin tertarik. Lelaki ini punya karakter kuat, dan itu membuat Lila semakin penasaran.
Malam pertama mereka dipenuhi ketegangan. Hannan merebahkan tubuhnya di kasur dengan kasar. Ia tak menyangka sudah menjadi suami, dan lebih tak menyangkanya lagi, istrinya adalah orang yang licik yang sudah menjebaknya sebanyak dua kali.
Hannan menatap buku pernikahannya dengan tatapan nanar. Ia tak tahu harus bagaimana menjalani pernikahan yang penuh dengan paksaan ini. Bisakah ia mencintai Lila? Sedangkan di hatinya sudah ada wanita lain, Nafisa, yang ia cintai sejak lama.
"Maaf, Naf. Aku gagal menepati janjiku," gumamnya lirih.
Hannan menarik napas dalam untuk menekan perasaannya. Ia dan Nafisa hanya teman dekat. Tak ada hubungan lebih di antara keduanya, hanya saja Hannan sudah memuja Nafisa sejak lama. Tapi karena Nafisa sedang fokus meniti karir, ia jarang pulang ke Indonesia dan lebih banyak menetap di luar negeri.
Awalnya Hannan berharap jika tahun depan Nafisa sudah kembali dan menetap di Indonesia, ia akan datang untuk melamarnya. Namun sepertinya... semua itu hanyalah khayalannya belaka. Sekarang dia sudah menikah, tak mungkin ia akan melamar Nafisa lagi.
Cklek.
Terdengar suara pintu terbuka. Hannan menoleh dan melihat istrinya keluar dari kamar mandi. Namun, Hannan buru-buru memalingkan mukanya lagi saat melihat pakaian yang dikenakan Lila terlihat sangat tipis dan menerawang.
"Kamu ngapain pakai baju begitu? Nggak takut masuk angin?!" serunya kaget.
Lila tersenyum, melangkah mendekati ranjang dengan anggun. "Memangnya kenapa, Om? Bukannya ini baju dinas seorang istri?" godanya sambil memainkan rambut panjangnya.
Hannan mendengus, langsung bangkit dari tidurnya. "Percuma kamu pakai baju begitu, saya nggak tertarik!" ketusnya sebelum masuk kamar mandi.
"Masa sih, Om nggak kegoda? Aku seksi loh!" seru Lila semakin genit.
Pintu kamar mandi langsung tertutup dengan keras. Lila mengedikkan bahu. "Dasar pemarah. Untung aja ganteng dan kaya, kalau nggak, mana mungkin gue mau!" gerutunya pelan.
Sembari menunggu suaminya selesai mandi, Lila menyisir rambutnya dengan rapi lalu memakai skin care untuk perawatan wajahnya. Ia tersenyum senang ketika mendengar pintu kamar mandi terbuka.
Lila menoleh dan menatap suaminya yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan menggunakan kimono putih, namun dadanya terlihat sedikit terbuka, membuat Lila semakin tertarik.
Lila menggigit bibir bawahnya, menatap tubuh atletis suaminya dengan tatapan penuh minat.
"Mau ngapain kamu?" Hannan melangkah mundur ke belakang dengan ngeri.
Lila tersenyum penuh arti. Melangkah mendekat, sembari menurunkan tali lingerie yang dipakainya "Nggak pengen malam pertama, Om?" bisiknya menggoda.
Wajah Hannan langsung merah padam. Ia langsung memalingkan wajahnya. "Jangan mimpi kamu. Saya gak akan menyentuh kamu!" Ia berjalan cepat menuju lemari pakaiannya.
Lila mencebik dan terus berjalan mendekati Hannan. "Udah deh Om, nggak usah malu-malu. Kita ini sekarang udah suami istri. Masa sih, Om rela nganggurin istri yang cantik dan seksi ini?" Goda Lila, mengedipkan sebelah matanya dengan genit.
"Percuma cantik kalau kelakuannya kayak penyihir." Hannan langsung meraih bajunya dan kembali masuk ke kamar mandi.
Lila tertawa kecil. "Dasar sok jual mahal! Makin gemes deh!" gumamnya.
Hannan menarik napas dalam-dalam, menatap pantulan dirinya yang kini telah mengenakan pakaian tidur. Ia butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi Lila.
"Om, kok lama banget sih di kamar mandinya?" Panggil Lila dengan suara manja.
Hannan mendengus dan tak berniat untuk menimpali.
"Om buruan keluar dong. Udah gak tahan nih," goda Lila, diselingi tawa kecil.
Hannan mengeraskan rahang, lalu membuka kamar mandi dengan wajah kesal.
Hampir saja ia tersedak ludahnya sendiri, saat melihat Lila duduk di tepi ranjang dengan pose yang sengaja untuk menggodanya. Bahkan ia tak segan-segan untuk mengekspos pahanya yang mulus.
Sebagai laki-laki normal, tentu saja Hannan merasa ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Namun, ia cepat menggeleng untuk mengembalikan kesadarannya. Ia tak boleh tergoda dengan wanita licik yang ada di hadapannya. Bagaimanapun, Lila sudah berulang kali menjebaknya. Dan Hannan tak mau jatuh ke dalam lubang yang sama lagi.
"Ngapain kamu kayak gitu? Cosplay cacing kepanasan," cibirnya dengan sinis.
Lila melotot mendengarnya. "Om! Aku begini tuh demi menyenangkan Om. Bisa-bisanya malah disamain kayak cacing kepanasan. Dasar Om nggak normal!" teriak Lila marah.
Hannan memutar bola matanya dengan cuek. Ia lalu memutari ranjang dan naik ke atasnya. "Saya ngantuk, mau tidur. Pergi sana, kamu tidur di sofa," usir Hannan.
Lila menoleh dengan mata melotot. "Ih, nggak mau! Aku kan istri Om. Ya kali disuruh tidur di sofa!" protesnya tak setuju.
"Terserah kamu mau tidur di sofa atau di lantai. Yang penting jangan tidur di ranjang saya. Saya nggak mau sprei saya kotor gara-gara ular sawah kayak kamu." Hannan segera merebahkan tubuhnya di ranjang dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya hingga sebatas d**a.
Lila mendengus. Ia pun ikut naik ke atas ranjang, namun baru saja hendak merebahkan tubuhnya, Hannan sudah lebih dulu mendorong tubuhnya dengan keras hingga nyaris jatuh ke lantai.
"Om!" Pekik Lila marah.
"Apa? Jangan pikir kamu bisa hidup enak setelah menjebakku. Akan saya buat hidupmu lebih menderita dari yang kamu bayangkan!" ketus Hannan, melemparkan bantal ke arah Lila hingga mengenai mukanya.
Lila mendengus. Ia menatap Hannan dengan wajah merah, menahan amarah. "Sabar Lila, sabar. Dia ATM berjalan lo. Untuk malam ini lebih baik lo mengalah. Besok baru pikirkan rencana selanjutnya," batin Lila.
Dengan sangat terpaksa, ia berpindah ke sofa dan merebahkan tubuhnya di sana. Untung saja tubuh Lila mungil, jadi sofa itu terlihat pas untuk dirinya.
Namun, Lila tak bisa tidur. Ia merasa kedinginan karena AC di kamar itu masih tetap hidup.
"Om," panggil Lila, beranjak duduk dan menatap suaminya yang tiduran di ranjang.
"Hemm," jawab Hannan tanpa menoleh. Matanya masih terpejam.
"AC-nya matiin ya, dingin nih," kata Lila, mengusap kedua lengannya.
Hannan bangun, mengambil remote AC, dan bukannya mematikan, ia malah menambah suhunya.
"Om! Kok malah ditambahin? Aku udah menggigil ini!" protes Lila.
"Makanya pakai baju yang bener, bukan yang kurang bahan begitu," sinis Hannan kembali merebahkan dirinya di ranjang.
Lila mendengus kesal. Ia akhirnya mencari baju hangat miliknya dan kembali ke sofa. Tak lama kemudian, ia tertidur pulas. Hanan diam-diam bangun dan memastikan Lila sudah tidur, lalu... mematikan AC.
Ia tersenyum kecil. "Syukurin. Siapa suruh jadi perempuan licik!"
Dini hari, Lila terbangun karena kepanasan. AC di kamar mati, dan dia mendapati suaminya sudah tertidur pulas.
Dengan amarah terpendam, Lila melepaskan jaket, celana panjang, dan kaos kakinya, lalu membaringkan dirinya di sofa hanya dengan mengenakan lingerie merah saja. Matanya masih mengantuk, dan dia pun tertidur lagi.