Tiga |
[ A U T H O R ]
"Hai, Kak Dean!"
"Pagi, Kak Dean? Sarapan apa sih pagi ini? Kenapa makin ganteng aja?"
Dean Agif Delmias tersenyum tipis, dia melambai pelan ke arah segerombolan cewek-cewek di samping kirinya, membuat fans setianya itu menjerit kesenangan.
"Sarapan cintanya Mamah, Papah!" Seloroh cowok di sampingnya, membuat cewek-cewek itu mengernyit ketika air liur pria jakung itu bermuncratan.
"Yee, yang ditanya dewa surga yang jawab malaikat maut!"
Mendengar gerutuan dari para pemujanya itu, Dean mau tidak mau tertawa. Dia melempar kepalanya kebelakang dan tertawa lepas, menciptakan seruan keterpukauan dari berbagai sisi.
"Cute bangeeeeeet!"
"Ah Kak Dean, aku rela menua bersama mu.."
"Kak Deaaaaannnnnnn!"
Remaja dalam masa pubertas itu menjerit heboh mengiringi langkah ringan Dean, dia kembali memamerkan senyum bocahnya, sementara cowok di sampingnya tersenyum masam.
"Kalau begini terus, gue bisa di anggap sebagai mahluk halus pas jalan bareng lo, Man!" Dia meringis, menggaruk tengkuknya. Dean lalu merangkulnya dan mengajaknya berjalan menaiki tangga, menuju lantai dua.
"Jangan pernah merendahkan diri lo walaupun lo emang rendah, Sob..."
"Bangke!" Semprot Bobi melepaskan rangkulan Dean lalu mereka tertawa bersama. Tau kalau Dean hanya bercanda, mereka sering melemparkan ejekan menghina satu sama lain. Sudah menjadi sahabat baik semenjak masih ngompol dalam celana, hingga saat ini. Seperti anak kembar yang tidak terpisahkan, kemana-mana berdua. Dimana ada Bobi, di situ ada Dean, begitupun sebaliknya.
"Lo tetap menjadi sahabat terbaik gue," Dean tersenyum lebar menatap Bobi yang menatapnya dengan antisipasi.
"Walaupun lo masih ngompol di celana!" Teriak cowok itu lalu tertawa, berlari sepanjang koridor lantai dua.
"Bangke ya lo!" Bobi berteriak mengejar Dean yang sudah lebih dahulu berlari.
"Dean, oi!"
Mereka masih saling melempar ejekan satu sama lain saat melewati ruangan berjendela lebar dan luas di lantai dua. Hari ini jam pelajaran banyak yang kosong karena dewan guru sedang merapatkan sesuatu berhubungan dengan pelaksanaan Ujian Nasional, tentunya menyangkut kedua cowok itu. Karena mereka sudah duduk di bangku terakhir pendidikan SMA saat ini.
Dean tiba-tiba berhenti dan matanya menatapnya nyalang ke arah pintu ruangan yang terbuka lebar itu.
"Gue mau kesana!"
Bobi yang masih tertawa langsung mingkem, dia mengernyit menatap Dean yang tersenyum simpul.
"Kemana?"
"Kesana!" Tunjuk Dean dengan dagunya, Bobi menoleh ke arah yang di maksud Dean lalu terlonjak kaget. Dia langsung menoleh dan menatap cowok itu dengan shock.
"Ke sana?" tanyanya, Dean mengangguk, "tunggu," Bobi menahan langkah Dean. "Maksud lo ke Perpustakaan?" Bobi sama sekali tidak menutupi rasa keterkejutannya.
Mendengar nada bicara Bobi, Dean merasa tersinggung, dia menatap Bobi dengan hidung mengembang tidak terima. "Kenapa lo kaget banget?"
Bobi menggeleng pelan, lalu mendesah. "Ngga, aneh aja, gue bahkan ga tau lo pandai baca!" Lalu cowok itu melenggang duluan ke arah pintu, meninggalkan Dean yang termanggu, menganga bodoh.
"s****n, satu sama!"
Dean segera menyusul langkah Bobi, namun terhenti saat terjangan kasar menyambar pundaknya. Dalam sepersekian detik dia sudah meringkuk dengan leher yang berkemungkinan patah.
"Leher gue, oi!" Protes Dean, lalu pitingan itu terlepas dan cowok berbadan tinggi tegap itu tersenyum ke arahnya. Matanya yang coklat tajam menyipit menatap Dean, senyum lebar tersalip dibibir penuhnya.
"Botak! Niat ngebunuh ya lo?" Ucap Dean memijit lehernya yang sedikit nyeri, dia menggertak cowok di depannya, pura-pura marah.
Cowok itu terkekeh dan menggaruk tengkuknya tanpa merasa bersalah. Rambut hitamnya yang lebat menitikkan peluh yang diperolehnya setelah bermain bola. Mengherankan, kenapa Dean memanggilnya botak disaat cowok itu memiliki rambut yang sangat tebal.
"Sorry!" Ujarnya mencibir, tidak bersungguh-sungguh. "Ntar malam jadi kan?"
"Jadi apa?" Bobi yang dari tadi hanya diam langsung maju, berada di antara Dean dan pria bertubuh jakung itu.
"Ooooops, posesif..." cowok itu bersiul menggoda. "Pacar lo posesif banget sih," dia tertawa saat Bobi memutar bola matanya malas.
"Ay, udah santai!" Dean tampaknya meladeni candaan cowok itu, lalu mereka tertawa. Tentunya, kecuali Bobi.
"Jadi gimana?" Cowok itu kembali bertanya, alisnya terangkat satu.
"Jadi. Lo pastiin aja, kali ini benar-benar tanpa polisi. Nyokap gue udah kebakaran jenggot pas balapan terakhir! "
Raja tertawa, dia mengangguk dan mengacungkan jempolnya.
"Tenang aja, kali ini ga bakalan ada gangguan!" Lalu cowok itu mengedip ke arah Bobi yang masih menatapnya malas.
"Oke fix, jam tujuh udah di sana ya, gue pergi dulu. Bye, Ay!" Dia mengedip menggoda, kemudian beranjak dari sana.
Selepas kepergian cowok itu. Dean dan Bobi terdiam, lalu sama-sama menggelinjang.
"Anjir, geli gue!" Keduanya berujar sambil meraba tengkuk masing-masing.
"Aneh banget ya kalo si botak yang becanda begituan, kek nyata!" Ucap Dean menggeleng geli. Bobi mengangguk merasa kedutan geli di tengkuknya, dia merinding disko.
"Anjir geli banget!"
Mereka berbalik dari sana, sesekali masih mengernyit jijik.
Dean meneruskan langkahnya menuju rak-rak berisi berbagai macam buku. Sedangkan Bobi tertahan di meja depan, menggoda anak penjaga perpustakaan yang cantiknya aduhai. Sebenarnya tujuan Dean ke sini itu tidak ada hubungannya dengan susunan buku-buku ini, ini adalah kali kedua pemuda itu menginjakkan kaki di sini, pertama kali saat masa orientasi siswa baru, saat dia di ajak berkeliling sekolah dan kedua, sekarang. Dua kali ini, dalam keadaan sadar, bukan karena terpaksa saat di suruh mencari tugas oleh guru yang mengajar.
Dean melangkah santai, melihat satu-persatu sekat, mencoba mencari dimana cewek itu berada. Dia mengintip di cela-cela buku yang tersusun rapi, dan dia menemukannya. Gadis itu tengah duduk di sudut rak-rak paling ujung, bersila dan menyandar ke dinding. Tangannya sedang memegang sebuah buku yang sudah terlihat tua dan rapuh. Novel terjemahan karangan William Shakespeare yang melegenda. Wajah itu terlihat serius, membalik halaman demi halaman novel tua itu dengan hati-hati, seolah-olah takut menyakiti.
Parasnya yang ayu, khas remaja 17 tahunan begitu memukau. Mata bulat menggemaskan bewarna hitam pekat, bulu mata lentik dan rambut hitam berkilau yang di kuncir asal. Gadis itu tidak terlalu cantik, cenderung biasa saja. Namun ada sesuatu yang sejak pertama kali Dean melihatnya, membuat cowok itu terkesima dan tidak percaya kalau dia terpikat dengan mudahnya.
Dean bahkan tidak mempercayai kalau saat ini dia tengah menguntit seorang cewek yang seluruh AHS anggap sebagai gadis aneh, sementara dia di gilai oleh banyak cewek.
Dean masih menatap cewek itu saat dia tiba-tiba saja menangis. Ah, mungkin tidak bisa disebut dengan menangis karena dia sama sekali tidak beraksi. Memandang beberapa halaman terakhir novel tua itu dengan mata berkabut. Air mata itu meluncur mulus membasahi pipinya. Dean terdiam memaku, cewek itu tampak sangat tenang, walaupun air mata semakin deras berjatuhan membasahi pipinya, menyusul gugurnya air mata lain. Namun, wajah cewek itu tampak datar, tidak ada isakan ataupun desahan lirih yang keluar. Dia masih tetap membaca. Tampaknya tidak sadar sudah begitu terlarut dalam kisah cinta tragis tersebut.
Kisah dimana percintaan tidak berujung dengan kebahagiaan. Kisah dimana kematian adalah satu-satunya penyebab mengapa banyak orang yang tersiksa. Sehingga mereka memutuskan untuk menysul mereka yang telah dahulu pergi, menyebrangi jembatan dan tidak akan kembali lagi. Kisah yang membuktikan betapa peliknya sang takdir. Dia sudah sampai pada halaman terakhirnya. Air mata itu semakin deras meluncur, dan ketenangan gadis itu tidak tampak terusik sedikitpun. Dean semakin terpukau.
"Lo ngapain sih?"
Dean terkejut mendengar ucapan Bobi di belakangnya, dia melonjak sehingga tubuhnya menabrak rak-rak buku, menjatuhkan sebagian buku yang di tampungnya. Menjatuhi tubuh Dean dan Bobi tanpa berperasaan malah tertawa keras. Keributan itu tampaknya menganggu cewek itu, dia buru-buru berdiri dan menghapus air matanya, berjalan ke arah Dean yang tengah mengumpati Bobi dengan berbagai bahasa u*****n yang dikuasainya.
"Kalian ngapain?"
Ah, suara itu. Dean menggumam dalam hati, tubuhnya refleks rigid dan dia merasakan dingin di telapak kakinya. Dia berbalik dan menatap cewek itu dengan senyum salah tingkah menggemaskan miliknya.
"Gak ada, gak ngapa-ngapain!" Jawabnya, lalu menggaruk tengkuk salah tingkah.
"Sebaiknya kita beresin ini secepatnya sebelum Buk Nina datang dan lo..." dia meringis kecil, "akan dapat masalah yang lebih besar!" Tangan itu mulai memunguti buku satu-persatu. Dia berhenti saat Dean hanya diam tidak membantu.
"Lo ga bermaksud buat nonton doang kan?" Ucapnya santai, seperti sudah kenal lama, membuat Dean tersentak lalu mulai memunguti buku itu satu-persatu. Senyum malu tersemat di bibirnya. Bobi yang melihat itu langsung mengerti, dia tersenyum penuh arti lalu bersiul pergi meninggalkan kedua remaja itu.
"Wow, teman yang bertanggung jawab!" Ucap cewek bermata indah itu sambil memutar bola matanya, membuat Dean tertawa geli.
"Bobi emang gitu, otaknya kegeser pas lahiran." Ledek Dean setengah terkekeh, namun gadis itu hanya diam, tidak merespons candaan Dean.
Setelah semua buku kembali kepada raknya, cewek itu berdiri, dan beranjak dari sana. Dean tau ini adalah kesempatannya mendekati cewek itu, sekarang atau tidak sama sekali.
"Za?"
Cewek itu berhenti dan menatap Dean dengan alis mengkerut menyatu, tidak menyangka cowok petakilan itu tau namanya. Baru kali ini mereka bersapaan walaupun sudah sering berpapasan, bahkan berada di kelas yang sama semenjak dua bulan yang lalu.
"Ya?"
"Mau pulang bareng?"
***
Dean menatap mobil-mobil mewah yang sedang berlalu lalang di depannya, bermanuver dengan lihainya, deruan mesin menggerung memekakkan telinga, dan teriakan-teriakan menyemangati pun menambah semarak suasana. Sudah ketiga kalinya cowok itu menghela nafas gusar. Cewek itu menolak tawarannya tadi siang, dia berdalih harus pergi kesuatu tempat sebelum benar-benar pulang, sehingga Dean tidak bisa pulang bersamanya. Setidaknya untuk hari ini, dia berjanji akan pulang bersama di lain waktu. Dan Dean mencoba peruntungan dengan mengajak cewek polos itu ke tempat balapannya malam ini, yang tentunya juga di tolak dengan—walaupun-halus-tetap-menyakitkan.
Dan sekarang disini lah Dean, termenung sendiri seperti anak ayam kehilangan induk. Bobi juga sedang tidak bisa ikut, musnah sudah anggapan dimana ada Dean di situ ada Bobi. Hal itu tidak berlaku saat ayah garang Bobi berada di rumah. Ayahnya yang berprofesi sebagai kepala kepolisian begitu tegas mendidik anaknya yang ternyata begajulan. Sementara San Raja sedang sibuk membolak balik stirnya di arena balapan. Meninggalkan Dean yang kehilangan mood-nya.
Dean baru saja hendak beranjak dari sana saat matanya menangkap sosok mungil, terdesak-desak dan tampak terganggu. Badanya yang hanya sebahu Dean tenggelam oleh sweater abu-abu longgar dan jeans senada. Dia tampak kebingungan mencari seseorang. Hati Dean dibanjiri oleh perasaan bahagia saat mengenali sosok itu, dia sedikit berlari untuk mencapai sisi dimana Zade berada.
"Za.." Dean menyentuh pundak cewek itu membuatnya sedikit melonjak kaget, lalu melemas lega saat mengetahui siapa yang ada di depannya.
"Lo di sini?" Dean memastikan, takut ini cuman mimpi.
"Gue kebetulan lewat!" Ucap Zade pelan. Oh, ya.. emang apa yang bisa dicarinya di sini sehingga dia bisa 'kebetulan lewat?'
Zade mengerang lalu mengakui yang sebenarnya sebelum binar kebahagian di mata Dean meredup.
"Oke gue kesini nyariin lo, puas?" Ucapnya memutar bola mata.
Dean tersenyum lebar lalu mengajak cewek itu kemobil hitam mengkilatnya yang terpakir mulus di ujung. Namun baru beberapa langkah mereka dari sana, sirine mobil polisi berdengung. Zade otomatis panik, begitupun semua orang yang berada di sana, gerombolan itu bubar berlari tunggang langgang. Beberapa dari mereka tertangkap oleh polisi. Zade Mulai mengutuki keputusannya untuk datang kesini hanya karena merasa bersalah telah menolak ajakan cowok ini tadi siang. Dean tersenyum simpul melihat Zade yang kelihatan panik melihat semua orang disana berhamburan, masuk ke mobil masing-masing. Tangannya yang berkulit kecoklatan sangat kontras mengenggam jemari Zade yang putih pucat.
"A-ada apa?" Tanya cewek itu teredam oleh pekikan dan tawa para remaja yang sedang berusaha menghindar dari polisi itu, tampak terbiasa.
"Ada polisi!" Ucap Dean tenang dia membukakan pintu mobil untuk Zade dan menyuruhnya masuk, setelah itu dia berputar untuk duduk disisi kemudi.
Zade masih tampak panik, sehingga Dean harus membantu memasang seatbelt-nya. Tepat saat cowok itu menghidupkan mesin, seseorang berseragam lengkap mengetuk kaca mobil mereka.
Dean melirik ke arah Zade dan menyeringai. "Ready?"
"For what?"
"For this!" Lalu cowok itu menancap gas dengan kuat meninggalkan arena balapan dengan kecepatan maksimum. Beberapa polisi itu mengejar mereka namun Dean dengan mudah berkelit, meninggalkan polisi itu jauh di belakangnya. Adrenalin mereka berpacu seiring dengan detak jantung yang menghentak gila-gilaan, sehingga saat mereka lepas dari ketegangan itu, lega menghinggapi tak tertahankan, membuat tawa penuh kelegaan meluncur dari bibir keduanya. Dan Dean kembali terkesima. Melihat bagaimana gadis yang dia ketahui berwajah papan ini begitu cantik saat tertawa lepas. Begitu cantik dan menggemaskan.
"Baru kali ini gue ngerasa kaya gini!" Ucap cewek itu mencoba mengontrol tawanya. Dia tersadar saat Dean menatapnya intens, lalu berhenti tertawa, menatap Dean dengan nafas memburu, kembali tertawa saat cowok itu meringis geli.
"Seneng bisa liat lo ketawa, ternyata lo cantik banget pas ketawa!" Dean tersenyum tulus. Zade langsung berdehem, merasa canggung. Dia melempar pandangannya ke depan.
Beberapa saat di lalui dengan hening. Dia masih tidak menyangka terjebak bersama playboy tengil macam Dean Delmias saat ini. Di bawah naungan bintang dan bulan, menatap lurus ke arah kota yang berkilauan karena kilap lampu.
Mereka hanya orang asing beberapa bulan yang lalu. Well, memang satu sekolah, bahkan satu kelas, namun dia adalah murid baru di sini dan semua orang menjauhinya karena menganggap dia tidak normal dan aneh. Zade sebenarnya tidak memasalahkannya. Lebih baik seperti itu, namun sekarang di sini mereka, saling tertawa di balik ketegangan yang tercipta. Tiba-tiba Zade menegang, hawa dingin berhembus mengenai kulit kuduknya dia sontak menoleh ke arah Dean yang menatapnya lembut.
"Dean?"
Dean terpana mendengar namanya yang begitu indah keluar di bibir Zade.
"Lo pernah nabrak kucing dan ga nguburin?"
Pertanyaan itu membuat Dean mengernyit heran, dia langsung merasakan suasana horor di sekitarnya. Dia berdehem merasakan tenggorokannya mengering, sedikit meringsut ke arah Zade.
"Kenapa?"
"Ada yang mau lo minta maaf. Dia lagi duduk di belakang, bahkan udah lama disana. Satu minggu ini, katanya lo nabrak kucing cucunya."
Ah ya. Dean lupa kalau cewek ini Indigo.