Kantin adalah tempat sejuta umat, tempat paling dinantikan ketika bel istirahat berbunyi. Semua siswa tumpah ruah, berlomba-lomba untuk datang ke kantin terlebih dahulu. Sama halnya dengan Genta dan Zidan yang sengaja datang duluan ke kantin untuk mem-booking salah satu meja favorit mereka. Hari ini adalah hari yang menyenangkan, karena kelas XI IPS 2 beberapa kali kosong karena guru yang mengajar sedang ada kegiatan workshop. Setidaknya empat jam pelajaran pertama kosong dan dihabiskan dengan tidur.
Berbeda dengan Genta dan Zidan yang memiliki tingkat kemalasan ekstra tinggi, Tito adalah makhluk yang mencintai buku. Cowok itu masih membawa buku olimpiade kesayangannya sampai di meja kantin. Tepat di mana kedua cowok antipati dengan buku itu sedang duduk.
"Please deh, buku Lo bikin napsu makan gue turun!" Sindir Genta ketika melihat Tito masih fokus membaca buku tebal yang mungkin bisa untuk memukul maling sampai pingsan.
Tito menurunkan kacamatanya lalu kembali fokus dengan bukunya. Sudah pernah Genta jelaskan sebelumnya, olimpiade itu adalah segalanya. Golden tiket untuk bisa masuk ke perguruan tinggi favoritnya dengan menggunakan beasiswa.
Zidan mengambil dua piring siomay setelah membayarnya, meletakkan satu piring lagi di depan Genta yang hanya menggelengkan kepalanya heran. Tidak lama kemudian, segelas es teh datang untuk Zidan dan segelas es jeruk untuk Genta. Kedua cowok itu hanya fokus dengan makanan dan membiarkan Tito terus bermesraan dengan bukunya.
"Minum nih, biar sehat!" Ucap Genta menyodorkan botol air mineral yang selalu diberikannya kepada Tito.
Cowok itu mengangguk tanpa melepaskan fokus matanya. Genta mulai jengah, diambilnya buku itu dari tangan Tito. Membukakan air mineral itu dan menyodorkannya di depan Tito.
"Ilmu Lo enggak bakalan menguap karena Lo minum beberapa detik. Mau makan apa Lo? Biar gue pesenin," tanya Genta yang hendak berdiri.
Tito meraih botol minumnya dan menenggak isinya. Genta memang tipikal sahabat yang pengertian dan selalu memperlakukan orang lain dengan baik. Tito menggeleng, tidak ingin makan. Bukan karena tidak lapar, namun Tito sengaja menahan rasa laparnya karena terlalu kasihan dengan isi dompetnya yang tidak bernyawa karena tidak ada isinya. Ibunya sedang dalam masa sulit dan Tito sengaja tidak memakai uang sakunya untuk makan di kantin.
Zidan mengambilkan sebungkus roti keju kesukaan Tito, membuka bungkusnya dan diletakkan di hadapan temannya itu.
"Makan ... Kalau Lo mau menang dan bisa berpikir dengan baik, Lo harus bisa mempertahankan napsu makan kaya si Genta. Makannya rakus banget tapi badannya kecil kaya sumpit." Ledek Zidan kepada Genta yang memang memiliki napsu makan di atas rata-rata.
Genta yang merasa namanya diikut sertakan dalam pembahasan, merasa tidak terima dengan pernyataan itu. Walaupun pada kenyataannya, Genta tidak bisa menyangkalnya.
"Enak aja! Gue makan porsi laki, Elo aja yang makannya kaya cewek!" Ketus Genta membela dirinya.
Zidan menggeleng, "Enggak ngerti deh, mungkin di dalam perut Lo itu ada cacingnya!" Tebak Zidan yang semakin ngawur.
Tito tidak menanggapi perdebatan kedua sahabatnya, cowok itu lebih memilih memakan roti keju yang diberikan Zidan tadi. Pertengkaran kedua sahabatnya itu tidak lagi menjadi hiburan untuknya. Tito hanya cukup diam, meskipun kedua cowok itu meminta pembelaannya.
Genta melipat tangannya di d**a dengan kesal. "Iya! Cacing besar Alaska," jawabnya dengan wajah kesal.
Tito menyetop pertengkaran keduanya dengan mengelus kepala Genta maupun Zidan. Lalu perlahan menekan kepala kedua sahabatnya itu untuk duduk di kursi masing-masing. Sudah cukup membuatnya malu dengan pertengkaran receh tidak berfaedah itu.
"Lo kebanyakan nonton kartun Spongebob, Gen." Ucap Tito yang kembali fokus dengan bukunya.
Genta memang suka dengan kartun itu, sejak kecil kartun itu adalah tontonan paling seru dibandingkan dengan tontonan lainnya. Terkadang jika jam istirahat seperti ini, Genta akan mencari kartun itu, sayangnya sedang mati listrik. Televisi itu tidak bisa untuk ditonton kali ini.
Zidan dan Genta kembali memesan jus jambu. Kali ini pesanan mereka sama, sudah lelah dengan argumen tidak penting mereka tadi. Sekarang waktunya menuntaskan hasrat untuk makan apapun yang mereka mau sebelum masuk kelas.
"Gen, emang kemarin Lo nonton balapan motor di tempat biasanya?" Tanya Zidan yang langsung mendapat perhatian dari Tito. Cowok dengan kacamata itu sudah pernah melarang Genta maupun Zidan mendekati tempat semacam itu. Tetapi, Genta masih cukup bandel untuk menurut.
"Tahu dari mana Lo?" Tanya Genta menyembunyikan wajah terjekutnya.
"Papa bilang sempat lihat Lo masih pakai seragam dan duduk di atas motor barengan sama cewek. Baru mau Papa deketin, eh Elo udah bablas aja. Yang mau gue tanyain adalah, siapa cewek itu?" Tanya Zidan menyelidik.
Genta diam seribu bahasa, cowok itu tidak mungkin mengatakan siapa cewek yang bersamanya kemarin. Pasalnya Genta tidak cerita apapun kepada Zidan dan Tito perihal kedekatannya dengan Alyn. Mereka berdua hanya tahu jika Genta sering menolong Alyn, bukan jalan bareng dengan Alyn.
Tito meletakkan bukunya, kali ini lebih fokus dengan pembahasan Zidan perihal cewek yang dimaksud. Sebenarnya Zidan maupun Tito sudah bisa menebaknya, namun mereka ingin mendengar langsung dari Genta.
Cowok itu menghela napas panjang, menatap Zidan dan Tito yang sedang menunggu jawabannya. "Ck, kenapa Lo berdua harus kepo, sih? Astaga, masa gue harus jelasin sama kalian." Gerutu Genta karena merasa jika dirinya tersudut.
"Jawab aja," celoteh Tito yang mendapatkan tatapan kesal dari Genta. Bukankah Tito orang yang paling tidak peduli dengan hal semacam itu?
Genta mengalihkan pandangan matanya, "Dulu, waktu Zidan sama Rere belum pacaran, Elo enggak kepo banget deh, To. Kenapa pas bagian gue, Elo penasaran amat!"
"Lah, kenapa cewek gue Elo bawa-bawa?" Sewot Zidan ketika nama Rere disebut oleh Genta.
Cowok itu cemberut, menampakkan raut wajah bingungnya. "Gue jalan sama Alyn beberapa kali!"
"WHAT?"
Itu teriakan Zidan dan Tito secara bersamaan. Membuat heboh kantin untuk kedua kalinya. Genta langsung meminta kedua sahabatnya itu untuk diam sebelum rumor itu menyebar ke seluruh sekolah.
Bukan apa-apa, tetapi Genta tidak ingin membuat masalah dengan siapapun. Bahkan Genta tidak ada hubungan apapun dengan Alyn selain mengajak cewek itu jalan-jalan.
"Bentar, gue sulit untuk mencerna apa yang Lo omongin. Oke, gue tahu kalau Elo sering bantuin cewek itu. Tapi gue sama sekali enggak tahu kalau seorang Gentasena jalan sama cewek dan ceweknya itu Ralyna." Ucap Tito tidak percaya.
"Kenapa sama Ralyna?" Lanjut Tito kembali.
Genta menggeleng, "Memangnya harus ada alasan buat jalan sama cewek?"
Zidan mengusap wajahnya kasar lalu meminum jusnya sampai tandas. Tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Lo suka sama dia?"
Pertanyaan yang Zidan utarakan baru saja itu seperti terngiang di kepala Genta secara terus-menerus. Genta lupa bertanya kepada dirinya sendiri tentang hal itu.
Apakah Genta suka dengan Alyn?
###
Genta menatap jam tangannya, sudah terlalu sore untuk pulang. Seharian ini dia sibuk di perpustakaan, jika bukan karena tidur di kelas ketika jam bahasa Inggris, gurunya tidak mungkin memberikan hukuman untuk menata buku di perpustakaan ketika jam pulang sekolah. Kedua sahabatnya sedang sibuk dengan urusan masing-masing, jadi tidak bisa membantunya. Hari ini Alyn juga tidak masuk. Hari Genta semakin membosankan.
Cowok itu meregangkan tangannya, beberapa jam membawa buku tebal lalu menata buku itu di raknya masing-masing membuat Genta merasa kelelahan. Es teh yang ditraktir Ibu penjaga perpustakaan saja tidak cukup menghalau rasa hausnya.
Genta menaiki motonya setelah memakai jaketnya. Ketika hendak memakai helm, Genta bisa melihat dengan jelas seorang perempuan berkacamata hitam sedang berada di dalam mobil dan menatapnya. Cowok itu meninggalkan tasnya di atas motor dan memilih untuk mendekati mobil itu.
"Gimana bisa masuk?" Tanya Genta tanpa basa-basi.
Perempuan itu melepaskan kacamata hitamnya dan tersenyum lebar. Sudah berjam-jam dirinya menunggu cowok yang wajahnya hampir mirip dengan dirinya itu.
"Bisa masuk ke mobil dulu enggak?" Tanya perempuan itu kepada Genta yang memutar bola matanya malas. Namun Genta memilih memutar dan membuka pintu mobil lalu masuk ke dalam.
Cowok itu bahkan tidak tersenyum atau terlihat ramah seperti biasanya. Genta lebih banyak diam walaupun menurut untuk masuk ke dalam mobil perempuan itu.
"Ibu cuma mau ngobrol sama kamu. Kamu udah makan? Gimana kalau kita makan ke restoran atau pergi ke tempat yang kamu mau?"
Itu Gita, perempuan yang melahirkan Genta. Artis papan atas yang sangat Genta benci karena meninggalkan dirinya dan Ayahnya. Cowok itu bahkan tidak memberi respon sama sekali. Matanya tidak pernah mau menatap lembut semenjak tahu jika Gita adalah Ibunya.
"Atau mau Ibu pesenin makanan? Terus kita makan di mobil?" Tanya Gita kesekian kalinya.
Genta menggeleng, "Saya masuk ke mobil Anda bukan untuk menerima tawaran makan. Apa maksud Anda datang ke sekolah saya? Sudah saya bilang berulang kali, jangan pernah temui saya di sekolah atau di manapun." Tandas Genta dengan nada kesal.
Gita menghela napas berat, Genta berulang kali menolaknya. Selalu memintanya untuk tidak pernah datang menemui cowok itu. Gita tentu saja merasa keberatan karena perempuan itu merasa rindu dengan anaknya. Anak yang ditolaknya ketika bayi dan begitu disesalinya ketika melihat anak laki-lakinya tumbuh dewasa.
Perempuan itu ingin sekali memeluk atau paling tidak mengelus kepala Genta. Namun diurungkannya, Gita tidak seberani itu. Dengan seperti ini saja, Gita sedikit merasa bahagia. Setidaknya Genta mau duduk didekatnya.
"Ibu punya hadiah untuk kamu, kali ini tolong jangan menolaknya." Gita memberikan paper bag warna biru kepada Genta.
Cowok itu mendongak, "Kalau saya terima, apa Anda langsung pergi?" Tanyanya menatap mata Gita. Lagi-lagi tidak ada senyuman yang terlihat.
Gita akhirnya mengangguk lalu tersenyum, sesulit itu memberikan sesuatu kepada anaknya sendiri.
Genta mengambil paper bag itu. Ada satu lagi, sebuah kartu kredit yang berada di dalamnya. Cowok itu mengambilnya lalu menaruhnya di dashboard mobil Gita.
"Saya enggak butuh kartu ini," ucap Genta.
"Setidaknya kamu bisa beli sesuatu. Uang Ibu 'kan, uang kamu juga," ucap Gita.
Genta menggelengkan kepalanya, "Bukan!" Jawabnya lalu keluar dari mobil perempuan itu.
Cowok itu menenteng paper bag yang diberikan Ibunya. Memasukkannya ke dalam tas dan bergegas untuk pergi sebelum ada orang yang melihatnya masuk ke mobil itu.
Gita hanya diam, menatap kepergian Genta yang melaju dengan motornya. Bahkan Genta tidak menerima kartu kredit yang diberikannya. Harapan perempuan itu begitu besar kepada Genta. Berharap anaknya bisa memberikan pintu maaf dan hidup layaknya Ibu dan anak. Tetapi Genta sulit untuk diluluhkan.
Sedangkan dilain sisi, Genta masih memikirkan apa yang Gita katakan kepadanya.
"Uang Ibu 'kan, uang kamu juga!"
Genta sama sekali tidak butuh semua itu. Genta hanya ingin perempuan yang mengaku sebagai Ibunya itu untuk meminta maaf dengan tulus. Berhenti memberikannya barang mahal dan terus meminta waktunya tanpa mengatakan kata maaf yang seharusnya dikatakan sejak awal mereka bertemu.
Genta muak dengan tingkah Ibunya ketika berada di televisi. Membangun image sebagai perempuan baik-baik dan seringkali melakukan kegiatan sosial. Namun kenyataannya, perempuan yang dipuja banyak orang itu sedang menelantarkan anaknya sendiri.
Cowok itu memarkirkan motornya di daerah perbukitan, di mana biasanya dirinya menenangkan diri dan menikmati ketenangan sebuah tempat yang jauh dari keramaian. Genta memiringkan tubuhnya lalu menatap pemandangan yang ada di bawah sana.
Genta sama dengan remaja seusianya, dia juga ingin memiliki keluarga yang utuh. Ada Ayah, Ibu, dan saudara. Tetapi dari ketiga opsi itu, Genta hanya memiliki satu hal dalam hidupnya. Hanya ada Ayahnya!
Bahkan beberapa jam yang lalu, Genta baru mendengarkan kabar di televisi jika seorang Gita Prameswari akan mengadakan pesta pertunangan dengan salah satu produser film. Kabar itu disiarkan hampir di semua stasiun televisi, membuatnya semakin muak dan kesal.
"Lo tahu tempat ini darimana?"
Seorang cowok dengan seragam SMA yang sama dengan Genta berjalan mendekat dengan membawa dua kaleng minuman soda.
"Gema ... Lo ngapain di sini?"
Cowok itu adalah Gema. Orang yang tidak menyukai geng Genta. Tidak pernah memiliki teman karena malas mendengarkan kesombongan cowok itu.
Gema menyodorkan satu kaleng minuman soda ke arah Genta, "Gue sering datang kesini kalau lagi banyak pikiran!"
Genta mengangguk, tujuannya dan Gema ternyata sama. Cowok itu tidak segan mengambil minuman kaleng itu dari tangan Gema.
"Thank's!"
"Sama-sama!"
Hening, keduanya tidak bersuara. Mungkin menikmati suasana atau berkutat dengan pikiran masing-masing.
"Eh, ngapain gue ngobrol sama Lo!" Ketus Genta ketika sadar sedang akur dengan Gema. Untuk sepersekian detik, mereka bisa berbicara serius tanpa menghina satu sama lain.
Gema menyetujui apa yang Genta katakan baru saja, "Iya! Ngapain kita jadi akrab. Dih, sono pergi Lo kutu," umpat Gema menjauhkan dirinya dari Gema.
Cowok itu juga mengambil jarak, sekarang mereka berdua di antara motor milik Genta yang terparkir di sana.
"Percuma! Gue mau balik aja deh, sekali lagi makasih untuk minuman ini. Btw, kita enggak perlu cerita ke siapapun kalau hari ini kita ngobrol dan ketemu. Anggap aja kita enggak pernah kaya gini." Ucap Genta mengambil keputusan. Menaiki motornya lalu memasang helm-nya.
"SETUJU!" Teriak Gema dengan antusias.
Tidak lama kemudian Genta sudah pergi dengan mengendarai motornya. Meninggalkan Gema yang tengah berdiri sendirian di atas perbukitan.
"Hm, enggak ada teman ngobrol ternyata enggak enak." Gerutu Gema menatap minuman kalengnya.
###