Kegiatan rutin setiap malam minggu adalah bermain game atau pergi ke mall untuk membeli barang-barang kesukaan mereka. Malam ini mereka memilih pergi ke mall dan makan di di salah satu warung tenda pinggir jalan yang tidak jauh dari mall. Kali ini mereka berjalan menuju jalanan dan menyeberang tanpa memakai mobil. Mobil sudah terparkir aman di basement.
Batara suka makan mi ayam yang berada tepat di depan gedung bekas perkantoran yang katanya angker. Sayangnya, tempat itu tidak lagi menyeramkan ketika warung tenda itu mulai dibuka. Banyak sekali pengunjung yang datang bahkan sampai rela menunggu lama untuk menikmati mi ayam yang melegenda itu.
Tempat makan ini adalah tempat makan bersejarah bagi Batara. Dia sering makan di warung ini dulu. Ketika pertama kali merantau dan sekarang sudah berpindah generasi, tetapi mi ayam ini rasanya tidak pernah berubah. Mungkin hanya perbedaan harga yang mulai disesuaikan dengan kondisi saat sekarang. Atau ada tambahan topping yang menjadi pilihan jika memang pelanggan mau.
Genta menjadi kecanduan mi ayam juga. Tentunya mi ayam yang Batara sukai. Semenjak Ayahnya mengajak keluar untuk ke mall setiap malam minggu, laki-laki berumur 35 tahun itu selalu menyempatkan untuk mengajak Genta menikmati semangkuk mi ayam ini.
Mereka sudah sangat mengenal pemilik warung yang merupakan anak kedua dari Bapak pembuat mi ayam jaman Batara masih muda dulu. Walaupun pada kenyataannya, saat ini Batara cukup matang dan sangat tampan.
"Bang Tora, dua ya, biasa." Pesan Batara kepada seorang laki-laki bertato di kedua tangannya. Sudah mirip papan lukisan karena tato itu membuat seluruh kulitnya tidak terlihat.
"Eh, Bang Tara. Lama enggak pernah kelihatan? Siap Bang dibikinin, tapi agak lama ya, full pesanannya." Ucap laki-laki bertato itu.
Batara hanya mengangguk dan memberikan ibu jarinya. Laki-laki itu kembali duduk di tikar usang bersama dengan Genta yang sibuk dengan ponselnya.
"Ngapain?" Tanya Batara yang mengambil krupuk kulit yang ada di dalam topeles plastik.
Genta mendongak, menatap Batara yang sibuk membuka plastik krupuk kulitnya. Cowok itu menggeleng lalu fokus menatap ponselnya kembali.
"Mau minum apa? Biar Ayah yang ambilin," tanya Batara kembali.
Genta menaikkan botol tehnya ke udara. "Udah beli 'kan tadi. Masih banyak punyaku."
Lagi-lagi Genta tidak menggubrisnya. Batara menarik ponsel anaknya dan melihat apa yang sedang Genta lihat. Cowok itu sepontan langsung kaget karena gerakan tiba-tiba Ayahnya.
"Yah ... Bikin Genta kaget aja, sih!" Gerutu cowok itu dengan kesal.
Batara mengembalikan ponsel anaknya, "Kirain baru nonton bokep. Kok serius banget! Ternyata baru chat sama cewek. Siapa? Pacar kamu?" Tanya Batara dengan wajah yang penasaran.
Genta menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Ayah lagian aneh, masa aku nonton kaya gitu dengan keadaan tempat terbuka kaya gini."
"Lho, emangnya kenapa? Nonton bokep memangnya harus di tempat rahasia?" Tanya balik Batara yang terdengar lucu di telinga Genta.
"Ya iyalah, Yah. Eh ..." Genta menatap Ayahnya, tidak jadi meneruskan ucapannya.
Matanya melirik Batara yang sedang melipat tangannya di d**a, seperti puas dengan apa yang baru saja Genta katakan.
"Ayah ngerjain aku, ya?" Kesal Genta karena ketahuan pernah menonton film tersebut.
Batara menggeleng, lagi-lagi dengan wajah santai. "Jangan keseringan deh nonton film begituan. Ayah aja dulu enggak pernah. Mungkin perbedaan dulu dan sekarang, ya. Kalau dulu teman-teman Ayah nonton film kaya gitu dibela-belain ke warnet. Nah, bareng-bareng gitu dibilik biar bayarnya murah."
"Enggak ketahuan?" Tanya Genta penasaran dengan cerita Batara tentang jaman dulu.
Batara menggeleng, "Enggak! Mereka sengaja matiin volumenya. Malu lah kalau sampai ada yang dengar. Tapi kalau sekarang, nonton hal itu tidak lagi menjadi hal yang mewah. Iya 'kan?"
"Apaan sih, Ayah!" Gerutu Genta kembali karena malu dengan pertanyaan Batara.
Batara tertawa senang, dia bukan orang tua kolot yang tidak pernah membicarakan perihal s*x kepada anaknya. Menurutnya, pendidikan s*x perlu diberikan orang tua kepada anaknya dalam batas yang wajar. Batara sering bertanya hal-hal seperti ini kepada Genta, setidaknya sebagai seorang Ayah, Batara tahu kemana saja Genta berselancar dalam dunia maya.
"Sebenarnya manusia itu lebih pintar dari yang kita kira. Kamu tahu, kenapa pelajaran reproduksi itu hanya membahas perbedaan antara laki-laki dan perempuan?" Tanya Batara serius.
Genta menggeleng, dia sama sekali tidak tertarik dengan pelajaran itu sejak SMP. Hanya ada gambar alat kelamin laki-laki dan perempuan. Lalu ada juga penjabaran tentang ciri-ciri pubertas. Genta ingat sekali, dia maupun semua temannya amat malu ketika guru menjelaskan bagian itu.
"Gini nih, kelihatan banget kalau enggak pantas masuk IPA." Canda Ayahnya yang membuat Genta mendengus kesal. Genta tahu betul jika Ayahnya menduduki peringkat satu paralel di SMA dulu. Mantan anak IPA katanya.
"Kita enggak perlu mempelajari cara melakukan hal itu. Cara yang sering kamu tonton, jadi Ayah enggak usah jelasin lebih lanjut. Manusia itu pasti memiliki insting ketika berhadapan dengan lawan jenisnya. Untuk teori ini, tidak perlu dipelajari. Karena tanpa belajar pun, manusia pasti bisa melakukannya. Jadi kesimpulannya adalah, tanpa kamu nonton video bokep, kamu pasti bisa melakukan itu, kalau udah waktunya." Jawab Batara yang membuat pipi Genta memanas.
Penjelasan itu bahkan gamblang, mudah di mengerti, dan membuat beberapa orang yang berada di kanan dan kiri mereka menatap malu. Ayahnya ini memang bar-bar.
"Ayah sengaja mau bikin aku malu, ya?" Bisik Genta melihat beberapa orang yang menghentikan makan mereka karena mendengarkan penjelasan Batara yang singkat, padat, namun memalukan.
"Kakaknya keren," ucap salah satu bapak-bapak yang sedang duduk melingkar bersama dengan istri dan kedua anaknya yang mungkin sudah duduk di bangku SMP.
Batara tersenyum karena dipanggil kakak. Sebuah panggilan yang sangat Genta tidak sukai karena menurut cowok itu, dirinya bisa tersaingi dengan Ayahnya sendiri.
"Saya Ayahnya," ucap Batara sebelum anaknya mengamuk masalah panggilan tersebut.
Bapak itu menurunkan kacamatanya, tidak percaya dengan apa yang Batara sampaikan.
"Duh, Ayahnya masih muda banget. Kalau gini jadi susah, bedain Ayah atau Kakaknya." Sahut istri si Bapak yang terkagum dengan wajah tampan Batara.
Genta menghela napas panjang dan memilih mengabaikan pertanyaan orang-orang itu. Banyak juga yang mengatakan jika beruntung memiliki Ayah seperti Batara.
Ayahnya adalah Ayah yang keren, menempatkan dirinya sebagai seorang teman dan tidak pernah menuntut Genta dalam segala hal. Batara membebaskan Genta untuk melakukan hal yang diinginkan. Saling berbagi kepercayaan agar Genta bisa bertanggung jawab dan bisa menjaga kepercayaan itu.
Tidak lama kemudian, mi ayam mereka datang. Menyelamatkan dari pertanyaan-pertanyaan mengundang dari beberapa orang. Sepertinya, hanya Ayahnya yang terlihat famous dibandingkan yang lainnya. Ayah ideal untuk semua orang, maybe.
Jadi, siapa yang tidak ingin Ayah seperti Batara? Mungkin semua orang pun akan mengatakan ingin. Terlepas dari semua kesalahan masa lalunya sampai membuat Genta hidup di dunia.
###
Genta menguap beberapa kali, matanya tidak bisa dikondisikan ketika pelajaran matematika sudah menyambutnya sepagi ini. Pelajaran pertama sampai ketiga adalah matematika. Seperti membunuhnya secara perlahan. Mungkin tidak hanya dirinya, murid kelas XI IPS 2 sepertinya alergi dengan pelajaran tersebut.
Zidan yang berada di samping Genta pun hanya memainkan bulpoint miliknya. Kadangkala Zidan sibuk mencoret-coret bukunya dengan tulisan gravity ala kadarnya atau membiarkan kepalanya menyentuh meja seperti apa yang dilakukan Genta.
Pelajaran integral seperti ini tidak masuk ke dalam pikirannya. Hanya ada gambaran kantin yang sangat ingin Genta datangi hari ini. Sangat lapar, itu yang Genta rasakan. Belum sarapan tadi pagi karena kebetulan Ayahnya kesiangan dan diikuti oleh dirinya yang susah bangun karena begadang menyalin PR 10 nomor.
PR apalagi jika bukan matematika. Genta dan Zidan sama-sama rela menunggu Tito selesai mengerjakan tugas sebelum mengerjakan PR matematika mereka. Walaupun sebelum itu, Tito memberikan siraman rohani tentang pentingnya mengerjakan tugas.
"Gentasena ..."
Genta mendongakkan kepalanya, mungkin tidak hanya kepalanya, semua kepala yang tertempel di meja langsung mendongak. Anwar, guru matematika kelas XI itu menatap Genta dengan seksama.
"Ayo kerjakan nomor 2. PR-mu 'kan benar semuanya. Pasti kamu bisa mengerjakan soal ini." Ucap Anwar yang membuat kedua bola mata Genta membulat seketika.
"Lho, yang lain memangnya enggak ada, Pak? Masa saya aja yang betul semua? Nih, nilai Zidan harusnya sama seperti saya, Pak." Elak Genta kepada Anwar.
Anwar beranjak, menatap buku tulis murid-muridnya yang memang sengaja belum ia kembalikan. Lalu fokusnya adalah melihat pekerjaan Zidan. Ada satu nomor yang salah, hasil yang benar adalah 36 dan Zidan menulis 63.
"Punya Zidan salah satu, Genta. Yuk, sekarang maju dan dikerjakan. Bapak tunggu sampai bel istirahat berbunyi." Ucap Anwar.
Tet... Tet... Tet...
Bel istirahat berkumandang, penyelamat Genta dari semua ketidakadilan ini. Cowok itu langsung bersorak senang dengan wajah yang sumringah.
"Baik anak-anak, kita akhiri pertemuan pada pagi hari ini. Dan khusus Genta, silakan kerjakan soal yang ada di papan tulis. Hari jumat kamu kerjakan di papan tulis. Buku kalian bisa diambil di sini. Terima kasih."
"Terima kasih, Bapak." Seru murid kelas XI IPS 2 dengan senang.
Cowok itu menekuk wajahnya kesal. Bel istirahat ini tidak berefek sama sekali. Dia harus mengerjakan soal tersebut dilain hari. Genta harus belajar dengan Tito besok. Sebelum satu kelas menertawakan dirinya.
Semua anak beranjak keluar kelas setelah selesai membereskan alat tulis mereka. Zidan mengambilkan buku tulis milik Genta dan memasukkan buku itu ke tas cowok itu.
"Genta ... Zidan ... Gue ikut ke kantin, ya?" Indira berlari mendekat ke arah keduanya dengan senyum lebarnya.
"Mau modus 'kan, Lo?" Ketus Genta yang memasukkan uangnya ke dalam saku seragamnya.
Indira memajukan bibirnya kesal, tetapi berusaha sabar. Teman satu kelasnya ini memang sedang sensi karena disuruh maju.
"Udah, jangan berantem anak-anak. Mendingan kita ke kantin, gue udah lapar maksimal." Ucap Zidan yang menggandeng Genta dan Indira.
"Gue bilangin Rere kalau Lo gandeng Indira sampai kantin!" Ancam Genta yang membuat Zidan melepaskan genggaman tangannya dari Indira.
"Fine! Gue enggak gandeng Indira. Bentar, jangan-jangan Lo cemburu kalau gue gandeng Indira," celetuk Zidan dengan wajah menyelidik.
Genta menggeleng, "Lo pikir gue suka sama Indira? Cewek model begini, enggak ada bagus-bagusnya."
Indira menginjak kaki Genta karena terang-terangan menghinanya, "Dih, emangnya Lo oke? Dasar cowok nyebelin," kesal Indira.
Mereka bertiga mulai bertengkar kembali seperti anak kecil di depan kelas. Setidaknya ketiganya bisa dijadikan tontonan gratis oleh beberapa murid yang lewat.
"Terus, kalau Lo enggak cemburu sama Indira. Berarti Elo cemburu sama gue dong? Gen, kabar itu enggak benar 'kan? Elo enggak homo, 'kan?" Takut Zidan.
"Apaan sih! Yuk, ke kantin, Dir." Ucap Genta lalu merangkul pundak Indira. Sedangkan cewek itu hanya menurut dan meninggalkan Zidan sendirian.
Kantin cukup ramai, namun mereka bisa melihat Tito sudah duduk di kursi yang biasanya mereka duduki. Beberapa murid cowok menggoda Genta yang masih merangkul Indira dan terus menghindari Zidan. Indira tertawa-tawa karena tingkah kedua teman satu kelasnya itu.
Tito hanya menggelengkan kepalanya bingung. Setelah kedua temanya datang, suasana tenangnya menjadi rusuh. Mereka berdua sudah ribut ingin memesan siomay. Sedangkan Indira sedang duduk disamping Tito.
Alyn bisa melihat dengan jelas ketika Genta merangkul pundak Indira. Mereka tampak sangat dekat dan akrab. Keputusannya untuk pergi ke kantin dan melihat Genta, nyatanya tidak berhasil. Cowok itu sepertinya tidak melihatnya dan sibuk dengan teman-temannya.
Cewek itu ingin beranjak dari tempat duduknya. Namun seorang cowok yang beberapa hari ini tidak pernah mengganggunya tiba-tiba datang dan mendekat. Alyn mulai merasa takut dengan tatapan tajam itu. Cowok itu selalu membuatnya merasa sangat takut dan terancam.
"Kita ketemu lagi, sayang!" Lirihnya dengan menatap wajah Alyn yang semakin pucat. Cewek itu menggigit bibir bawahnya untuk tidak gugup. Namun tubuhnya mulai menggigil ketakutan.
"K-kak Juan, mau ngapain?" Tanya Alyn dengan terbata. Tidak berani mengangkat kepalanya sama sekali.
Itu Juan, cowok yang beberapa hari lalu dihajar Genta habis-habisan karena melecehkan Alyn dengan meraba paha cewek itu. Kali ini Juan sudah memastikan jika rencananya akan berhasil. Genta sibuk dengan teman-temannya dan semua murid tidak akan memperhatikan mereka karena padatnya kantin siang ini.
"Mau melanjutkan kesenangan kita yang tertunda. Apa mau malam ini aku lakukan sesuatu yang membuat kamu menjerit keenakan?" Tanya Juan dengan sinis.
Alyn menggeleng dengan cepat, paham kemana arah pembicaraan Juan. "Jangan ... Tolong jangan sakiti aku."
Juan tersenyum senang, "Jangan memohon sayang, tentu saja aku tidak akan menyakiti kamu. Bagaimana kalau kita pergi diam-diam dari sekolah. Itu akan lebih baik,"
Alyn menahan tangisannya, ingin rasanya memukul tangan Juan, tapi Alyn tidak mampu. Tangannya gemetar dan tubuhnya pun juga. Seandainya ada orang lain yang membantunya. Namun mustahil, semua orang tidak memperhatikan dirinya maupun Juan.
Ingin rasanya berteriak dan mendorong tangan itu. Namun dengan bodohnya Alyn diam saja. Tidak bergerak, seperti orang yang pasrah. Padahal kenyataannya dia sangat ketakutan untuk menolak.
Juan menarik tangannya, memaksa cewek itu untuk berdiri dan segera pergi dari kantin. Namun Alyn setengah tidak mau, cewek itu sangat ketakutan dan akhirnya memilih menangis tanpa suara. Hal yang selalu Alyn lakukan setiap kali merasa takut dan terintimidasi.
"JANGAN SENTUH CEWEK GUE!"
###