Sebulan sudah berlalu, masa liburan Ara tinggal beberapa hari lagi. Fira dan Nesa mengajaknya untuk pergi jalan – jalan. Tapi Ara masih sedikit ogah – ogahan.
“Ayolah Ra. Sudah mau masuk loh kita.” Ajak Nesa padanya.
“Males nih aku. Emangnya mau kemana?”
“Ya kamu maunya kemana? Kita ngikut deh? Ya kan Fir?”
“Hooh, terserah kamu deh mau kemana.”
“Kalian gak lagi mau ngerjain aku kan?”
“Enggak kok.” Jawab mereka barengan. Malah membuat Ara semakin merasa ada yang janggal.
“Emangnya kalian mau kemana?”
“Mantai lagi yuk.” Ucap Nesa.
“Lagi?” tanya Fira.
“Eh anu, maksudku ke pantai.” Jawab Nesa gelagapan.
“Tapi kok pake lagi?”
“Salah denger kamu tuh.” Ucap Nesa ngeles.
“Halah, kamu mau gak ke pantai Fir?” sela Ara sebelum semuanya menjadi memburuk.
“Mau doooong.” Jawab Fira.
“Yaudah. Kapan rencananya? Sama siapa saja?”
“Bertiga aja kok.” Jawab Nesa.
“Bertiga? Naik apa nanti?” tanya Ara.
“Mobil.” Jawab Nesa.
“Yang nyetir? Aku gak mau. Nyari supir sana.” Ucap Ara cepat tak berjeda.
“Hahaha. Iya ada supirnya kok. Kita tinggal cus.”
“Iuran berapa nih?”
“Gratiiiiiis.” Jawab Fira.
“Kamu yang bayarin?” Tanya Ara.
“Enggaklah.” Jawabnya.
“Dasar pelit. Kalau masalah gratis paling depan. Tapi kalau disuruh bayar ga mau. Huuuu.” Ucap Ara sambil menyenggol badan Fira. Hingga cilok yang akan dia masukkan mulutnya jatuh ke tanah. Dia pun menoleh dan melirik sinis pada Ara.
“Apa? Marah?” ucap Ara sok galak sebelum Fira mulai nyerocos.
“Gak. Siapa juga yang marah?” ucapnya ngeles. Padahal sudah jelas dengan ekspresi dan lirikan matanya bahwa dia sedang marah.
“Oh ya udin.”
“Aku bukan udin.”
“Iya deh iya.”
“Kalian nih berantem terus. Cus lah ya besok kita berangkat?” tanya Nesa memastikan.
“Oke deh.”
“Tujuannya terserah aku ya? Pokoknya pantai?”
Ara mengangguk, sementara Fira hanya mengacungkan jempolnya tanda setuju.
“Nanti aku kirim detailnya Ra. Besok aku jemput subuh – subuh ya?” ucap Nesa.
“Subuh?”
“Iya biar ga macet.”
“Iya deh iya. Terserah kalian saja. Cuma bertiga aja nih?”
“Iya Ra. Bertiga aja. Dita gak bisa ikut katanya. Lagi mau pergi sama calon pacar.”
“Calon pacar?”
“Iya, dia punya gebetan loh.”
“Yang mana lagi?”
“Nanti deh aku ceritain. Kamu pasti bakalan ngakak sampe kram perut.”
“Oh ya? Wah seru nih. Bisa jadi bahan gibahan besok dijalan. Hahaha “ ucap Ara.
“Ra kita balik dulu ya?” ucap Nesa padanya.
“Loh koo buru – buru?”
“Iya, aku mau booking tempat dan siapin peralatan.”
“Peralatan apa?”
“Tenda dan lainnya.”
“Di rumah ada tuh tenda nanggur.”
“Gak usah Ra, kita nyewa saja biar ga ribet nyuci. Hehe.”
“Ealah. Iya deh. Aku juga balik.”
Mereka ahirnya pergi dari cafe tersebut. Terlihat Fira mengekor pada Nesa. Tumbenan dua orang ini akur, batin Ara.
***
Nesa memang tak pernah luput akan janjinya. Benar saja baru saja adzan subuh terdengar, sepuluh menit setelahnya dia sudah datang menjemput Ara. Ibu Ara yang sudah diberitahu akan dijemput oleh Nesa pagi – pagi, sudah menyiapkan bekal untuk mereka.
“Ra, suruh mereka masuk dulu. Minum teh hangatnya.” Ucap Ibunya saat Ara keluar membawa day pack nya.
“Iya bu.” Jawabnya.
“Disuruh masuk dulu sama Ibu. Minum teh dulu biar anget.” Ucap Ara pada kedua temannya.
“Oke.” Jawab mereka. Mereka pun turun dan segera menyeruput teh yang sudah dihidangkan.
“Bu, tolong bungkusin kopi satu.” Ucap Ara pada Ibunya. Mereka memang selalu menyetok berbagai tempat makan dan minum. Biar saat dibutuhkan gak bingung nyari.
“Iya. Buat supir kan? Ibu juga sudah siapin kok.” Ucapnya sambil memberikan segelas kopi pada Ara.
“Tante kami pamit berangkat dulu. Terimakasih tehnya.” Ucap Nesa sambil mencium punggung tangan Ibu Ara.
“Iya kalian hati – hati ya.” Jawabnya sambil mengelus rambut Nesa. Fira ikut berpamitan juga. Kemudian Ara juga mencium punggung tangan Ibunya.
“Ara berangkat Bu. Loh ayah sudah bangun?” ucapnya kaget saat melihat Ayahnya berjalan menuju arahnya.
“Iya, ada yang kelupaan.” Ucapnya.
“Apa Yah?”
“Nih, buat makan disana. Kalau cuma makan mie instan di rumah juga bisa. Nikmati liburan kalian. Makan yang enak – enak. Hati – hati.”
“Makasih Yah.” Ucap Ara sambil memeluk Ayahnya.
***
Nesa dan Ara duduk di tengah, sementara Fira memilih duduk dibelakang. Biar bisa selonjoran katanya.
“Eh Nes. Kemarin kamu bilang Dita punya gebetan?” tanya Ara menanyakan bahan gibahan mereka.
“Iya. Duh aku sempet kaget loh pas dia cerita.”
“Kaget kenapa?”
“Karena aku tuh ga pernah tahu kalau Dita bisa mau sama cowok yang biasa – biasa saja.”
“Iya sih. Mantan – mantan dia kan kece semua. Tajir – tajir pula.” Sahut Ara.
“Iya ih, heran deh. Kok pada mau ya mereka sama si biang gosip.” Sahut Fira.
“Hus. Gitu – gitu juga temenmu tuh.” Ucap Nesa pada Fira.
“Hehehe.” Dia malah nyengir.
“Jadi gimana Nes. Lanjut.” Ucap Ara penasaran.
“Waktu itu dia tiba – tiba mampir ke rumahku sambil bawa cilok.”
“Tumbenan?”
“Nah dia bilang lagi deket sama cowok. Gebetan baru katanya. Jadi dia sudah lama nyari tahu tentang cowok itu. Tapi dia gak bisa dapet satu pun informasi.”
“Woah kejadian langka sih kalau Dita sampai gak dapet informasi.”
“Nah, saking penasarannya. Ahirnya dideketinlah cowok ini sama dia. Cowok itu cuek banget dan gak gubris dia katanya.”
“Terus terus?”
“Ya dipepet teruslah sama si Dita. Dia beli tuh ciloknya tiap hari.”
“Hah beli cilok?” tanya Ara kaget. Dia merasa ada yang sedikit gak beres.
“Iya, kamu tahu kan kang cilok di kampus?”
“Iya, kenapa?” jawab Ara sambil sedikit deg deg an mendengar lanjutan cerita Nesa. Jangan – jangan itu kak Hans, pikirnya.
“Ya itu dia gebetan barunya.”
“HAH?” ucap Ara secaea spontan. Dan membuat kedua temannya kaget.
“Kenapa Ra? Ada yang salah sama kang cilok?” tanya Nesa.
“Iya, kenapa Ra? Kok kamu kayak kaget banget gitu?” lanjut Fira.
“Ah enggak. Aku cuma heran saja. Kok tumbenan Dita mau sama cowok biasa saja.” Ucapnya ngeles. Padahal dia ketar ketir dengan kondisi Hans. Bagaimana bisa Dita deketin dia, dan bisa bilang kalau dia gebetannya. Harus segera interogasi kak Hans nih, batinnya.
“Katanya dia pernah bilang soal kang cilok itu ke kamu ya Ra? Tapi kamu gak nanggepin katanya.” Lanjut nesa.
“Iya memang. Aku mikirnya selera dia bukan yang begitu. Makanya gak aku gubris. Daripada nanti si kang cilok dimainin sama dia kan kasihan.” Jawab Ara.
“Tapi ini tuh enggak Ra. Aku tahu kebiasaan dia kalau lagi main – main sama cowok. Tapi kalo ini tuh dia beneran kesengsem.”
“Kok kamu bisa bilang gitu?”
“Karena baru dia, cowok yang bisa bikin Dita penasaran. Biasa cowok yang dia deketin iya iya aja sama yang Dita bilang. Tapi kang cilok ini tuh enggak. Jadi dia malah nasehatin Dita buat fokus kuliah saja. Kalau cewek bisa mandiri, kerja dan gak bergantung sama cowok. Nanti pasri dateng cowok yang sesuai. Dita sampe melongo pas denger nasehat dari kang cilok itu katanya.”
“Oh ya? Wah hebat juga ya si kang cilok.”
“Tapi kalau dilihat – lihat. Kang cilok itu ganteng loh.” Sahut Fira tiba – tiba.
Yaiyalah ganteng, bibitnya bagus – bagus, batin Ara.
“Iya Fir, bener juga kata Fira loh Ra.” Ucap Nesa pada Ara. Ara hanya bisa angguk – angguk saja. Dia gak tahu harus komentar apa lagi. Dia takut nantinya malah keceplosan soal kakaknya yang sedang nyamar jadi kang cilok.