3

1904 Kata
Malam ini Holly bisa berbaring bebas diatas ranjangnya. Tobey sudah kembali ketempat tinggalnya. Meskipun Holly yang mengusirnya terus-terusan.   Tapi tak bisa ia pungkiri kalau seharian ini, ia cukup terhibur karena keberadaan Tobey. Dimana pria itu yang terus mengeluarkan kata-kata kotornya yang sudah kebal di telinga Holly, membantu Holly masak, merapikan apartnya dan menceritakan kehidupan pria itu sejak pria itu diutus untuk menggantikan posisi ayahnya.   Holly merasa aneh.   Benar-benar aneh karena reaksinya pada Tobey memiliki dampak yang hebat.   Biasanya, jika seorang pria yang mencoba mengajaknya berbicara dia pasti akan menghiraukan pria itu. Kali ini tidak. Tobey seperti magnet khusus sehingga Holly terus membalasnya walaupun yang keluar dari bibir Holly selalu ketusan pada Tobey.   "Hah... aku merasa sepi sekarang."   Holly mulai bermonolog.   "Apa mungkin aku sudah jatuh semakin dalam ya?"   "Ah tidak mungkin. Aku tipe orang yang tidak seperti itu."   "Kaukan sudah tau sendiri seperti apa pria itu, dan dia bukanlah tipemu, Holly."   "Tapi aku merasa sepi setelah kepergiannya."   "Aarrggghhh! Aku kenapa seperti ini?!"   Holly mengacak rambutnya frustasi. Benar. Ia sudah memiliki efek dari Tobey.   Tobey itu diibaratkan obat narkotika.   Mempunyai ketergantungan khusus walaupun ia baru mengenalnya seharian penuh.   Lagi, lagi dan lagi untuk bertemunya.   "Ck! Lebih baik aku tidur, bisa saja perasaan ini hanya sementara dan kau bisa melakukan rutinitas seperti biasa."   "Ingat! Dia hanyalah orang asing, Holly. Bisa saja ia berkata demikian namun untuk membuatmu berharap lebih penuh padanya."   "Ya! Pasti besok dia tidak akan menampakan dirinya dan hanya membuatmu lebih candu."   Setelah bermonolog singkat, Holly beranjak dan melakukan rutinitas malamnya sebelum tidur.   Sikat gigi, mencuci kaki dan memakai perawatan khususnya.     Dugaan Holly salah besar.   Apa yang sudah ia monolog semalam itu semuanya salah dan tidak terjadi.   Seperti pagi ini.   Ia sangat-sangat-sangat terkejut karena keberadaan Tobey yang ada di kamar tidurnya setelah Holly mandi.   Pria itu sedang berbaring sembari membaca buku tentang obat-obat miliknya dengan santai.   Tobey tersadar ketika suara decitan pintu terbuka. Ia menoleh dan mengeluarkan senyuman khasnya, manis, membuat Holly ngeblank seketika.   Namun gadis itu dengan cepat menggeleng cepat.   "Ka-kau bagaimana bisa berada di apartku-- di kamarku?!" Seru Holly sembari berjalan maju dan tepat disamping Tobey yang sudah terduduk dipinggir ranjang.   Tobey mengeluarkan, melempar kecil dan mengangkap sebuah kartu dan kunci kamar Holly.   "Aku mempunyai duplikatnya." Ujar Tobey santai.   "Bagaimana bisa?!"   "Seorang Lee Tobey pasti selalu bisa untuk mendapatkan apa yang diinginkannya."   Holly melangkah mundur ketika Tobey berdiri. Hampir saja dadanya akan bergesekan dengan Tobey jikalau ia tidak mundur.   "Kau wangi sekali." Tobey menatap penuh arti apa yang dilihatnya sekarang. "Vanila, kau sengaja ya memancingku untuk menarikmu kesana?"   Holly mengikuti arah jari telunjuk Tobey ke ranjangnya. Ia memicingkan matanya dan menutup dadanya yang tertutup baju handuknya.   "Keluar kau. Aku ingin pakai baju."   Tobey memajukan bibir bawahnya. "Apa kita tidak bermain dulu? Hanya sebentar saja."   "Tae, aku sudah bicara ba-"   Grep   "Yak! Apa yang kau lakukan?!"   Tobey dengan cepat mengeratkan pelukannya. Ia menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Holly. Kakinya ia tahan kaki Holly agar tidak banyak bergerak, juga tangan Holly yang berusaha melepaskan Tobey dari tubuhnya.   "Jangan bergerak, kumohon, kalau kau ingin selamat." Tobey berkata pelan.   Sengaja. Karena semakin keras Holly berontak, d**a Holly yang belum ditutupi bra terus bergesekan dengan d**a Tobey. Dan pemikiran Tobey sudah mulai bercabang kemana-mana.   "Biarkan aku memelukmu selama lima menit."   Holly menghela napasnya panjang. Terpaksa ia mendiamkannya dan membalas pelukan Tobey --membuat Tobey semakin mengeratkan dan menghirup dalam wangi tubuh Holly.   Gadis itu sekali lagi harus munafik karena di posisi ini, ia merasa sangat-amat nyaman karena Tobey.   Ia merasa... terlindungi?   Mungkin.   Namun yang pasti, Holly juga tidak mengelak kalau Tobey mempunyai rasa hangat dan nyaman yang membuat Holly ingin berlama-lama.   "Eum... Tae? Kurasa waktumu sudah habis. Aku harus pergi kuliah siang ini."   "Jam berapa kau kuliah?"   "Jam satu siang."   "Sekarang masih jam delapan pagi." Holly merinding karena hembusan napas Tobey. "Aku ubah dari lima menit menjadi lima jam untuk posisi ini."   "Tapi aku belum berpakaian dan sarapan."   Tobey mengecup cepat pipi kanan Holly sebelum kembali ke posisinya. "Kau tidak usah berpakaian. Cukup seperti ini saja. Kalau sarapan, aku sudah menyiapkannya."   Tobey sedikit beranjak -namun tidak melepaskan pelukannya- dan mengambil sebuah roti sandwich dan segelas s**u putih di meja nakas. Ia membiarkan Holly duduk dan menyandar di headboard.   "Cepat makan. Aku tidak mau kau menjadi lebih kurus."   Bagaikan tersihir, Holly mematuhi ucapan Tobey dan memakannya sampai habis. Tobeypun kembali ke posisi awal dan kali ini tangan kanannya mengelus rahang Holly.   "Aku jadi ingin memasukimu."   Holly mendelik tajam sehingga Tobey menyengir tipis. Ia kembali mengecup pipi Holly. Namun kali ini ia terus mengecup pipi Holly berkali-kali di kanan dan kiri sehingga gadis dibawahya terkikik geli.   "Sudah! Aku merasa geli jadinya,"   Tobey tersenyum lembut melihat wajah Holly yang sudah merona.   "Tapi aku serius, Holly."   Sekarang, mereka saling tatap-menatap dalam jarak yang sangat dekat.   "Kau belum berhasil membuatku jatuh cinta padamu."   "Berarti kalau aku berhasil, bolehkah?"   Holly menggigit bibir bawahnya pelan dan mengalihkan pandangannya dari mata Tobey yang memohon padanya.   Pria itu tau kalau Holly sebenarnya takut. Untuk meredakan ketakutan Holly, ia mengecup sekilas bibir gadis itu.   "Aku akan melakukannya dengan lembut."   Mata Holly dan mata Tobey bertemu. Mereka cukup lama bertatapan dengan Tobey yang sudah menindihnya.   Tobey mencium sekali lagi bibir Holly dan dilanjutkan melumatnya. Gadis itu seakan tersihir karena ciuman Tobey, ia mengalungkan tangannya di leher Tobey.   Holly sebenarnya belum tau bagaimana caranya berciuman, namun ia mengikuti gerakan Tobey padanya.   Cukup lama mereka berciuman, Holly mulai kehabisan napasnya. Ia mencengkram erat kerah Tobey dan pria itu melepaskan pautan mereka.   Tobey tersenyum lembut dan sangat manis. Sedangkan Holly tidak berani menatap Tobey. Karena ia masih malu.   "Sweet like a candy."   "Aku tidak memakai apa-apa di bibirku."   Tobey mengangguk. "Aku tau."   Dan mereka kembali saling berpelukan seperti posisi awal. Sekali-kali Tobey mengecup leher Holly membuat gadis itu berdesis.     "Hari ini kau melamun terus."   Gadis itu tersadar akan celetukan Jeffrey yang baru datang dengan makanan milik mereka bertiga -Holly, Jeffrey dan Welby.   "Ada masalah? Tapi sepertinya tidak."   Holly menggeleng sembari tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Welby.   "Kau bisa berbagi dengan kami, Holly."   "Nanti saja jika aku siap, ya?"   Jeffrey dan Welby saling menatap sebelum akhirnya mereka mengangguk. Mereka kini makan dalam diam, seperti biasa.   "Malam ini kau bekerja?"   Holly mengangguk. "Kenapa?"   Welby mendesah panjang. "Padahal malam ini kami ingin mengajakmu nonton bersama."   "Maaf," Holly tersenyum lagi. "Lain kali tak apakan?"   "Kenapa kau tidak mengundurkan diri saja? Lagipula pekerjaanmu dan kejurusanmu lumayan berbeda. Dan, orang tuamu dan kakakmu selalu mengirimkanmu uang tapi kau keras kepala ingin bekerja."   "Aku tidak ingin terus-terusan memakai uang mereka. Kecuali apartemen yang Chadric oppa belikan. Aku hanya ingin mencoba menjadi anak yang mandiri."   "Tapikan kau sebagai anak bungsu memang pantasnya memakai uang mereka, Holly. Tidak ada salahnya inikan? Mereka tidak menuntutmu untuk menggantikannya inikan?"   "Win, sudahlah. Aku sedang tidak ingin berdebat. Aku pikir kalian sudah mengerti keadaanku."   "Maaf, Holly."   Welby menunduk dalam. Pria itu memang paling mudah menciut kalau Holly sudah berkata demikian.   Holly tersenyum manis dan menepuk bahu Welby. "Tak apa,"   Ponsel Holly bergetar. Ia melihat siapa yang menelpon dan kedua alisnya menyatu saat itu juga.   Ibunya menelpon setelah satu bulan mereka tidak berkomunikasi.   "Kenapa tidak kau angkat?"   Holly mendongak melihat Jeffrey yang melihat Ibu Holly menelpon. Baru saja ia mengambil ponsel Holly, sambungan telepon telah mati.   "Kenapa tidak kau angkat?! Ibumu menelpon!" Seru Jeffrey yang terlihat kesal karena gadis itu hanya menatap layar ponselnya yang menghitam. "Siapa tau itu penting, Holly."   Tak lama kemudian, Ibu Holly kembali menelpon dan Jeffreyg langsung meraih tangan Holly setelah menerima panggilan.   "Bicaralah!" Ucap Jeffrey tanpa bersuara.   "Hai sayang!"   Hati Holly menghangat mendengar suara perempuan yang sudah melahirkan dirinya. Tapi sayangnya mulut Holly sama sekali tidak bergerak. Selain ia mengulum keras bibirnya sehingga membentuk garis.   "Holly, kau disana?"   Gadis itu cepat-cepat menarik napas dan mengusap matanya yang mulai berair.   "Ha, halo Ibu,"   Holly bisa mendengar helaan napas lega dari ibunya.   "Kau sedang apa, sayang? Ibu merindukanmu."   "Aku sedang di kafetaria bersama Jeffrey dan Welby. Kapan ibu bisa pulang? Aku rindu kita bisa berkumpul," diakhir kalimat, Holly memelankan suaranya. Tenggorokannya terasa tersendat dan mulai sulit untuk menghirup napas panjang-panjang.   "Hhh... maafkan ibu, Holly sayang. Kau tau ibu se-"   "Sedang bekerja dan agar aku tidak kesulitan? Itukan yang mau ibu katakan?"   Holly menyela karena ia sudah tau apa yang akan dibicarakan oleh ibunya.   "Kau tau bu, aku lebih baik kita hidup lebih sederhana dan bisa sering berkumpul daripada ayah dan ibu yang jarang dirumah untuk bekerja dan menelantarkanku sendirian disini. Aku kesepian, ibu. Aku butuh kau dan ayah disampingku. Aku ingin-"   "Holly, maaf aku tidak bisa berlama-lama berbicara denganmu. Sebentar lagi ibu akan rapat. Kita bisa bicara lagi lebih panjang di lain waktukan? Ibu janji minggu lusa kita akan berkumpul bersama. Bye, baby girl."   Tut tut tut   Sambungan telepon telah selesai. Namun Holly belum melepaskan ponsel dari telinga. Pandangannya juga belum lepas dari segelas kopi kesukaannya. Mata Holly mulai memanas dan akan mengeluarkan cairan bening yang paling Holly benci dari tubuhnya. Tapi dia dengan cekatan mengusap kasar matanya dan pergi dengan cepat meninggalkan Jeffrey dan Welby yang termangu.   "Holly..."   Tangan Welby ditahan oleh Jeffrey ketika pria berdarah Cina itu akan mengejar Holly.   "Biarkan dia sendiri dulu."   Welby menunduk menatap segelas kopi karamelnya. Mereka tau apa yang dibicarakan oleh Ibu Holly sehingga gadis itu pergi begitu saja.     "Holly!"   Gadis itu tersentak dan mendongak. Chanri -rekan kerjanya- sedang berkacak pinggang menatap Holly. Gadis itupun berdiri dan mengernyitkan dahinya.   "Kenapa?"   "Kau tidak mau pulang? Sekarang sudah jam sembilan malam."   Ucapan Chanri menyadarkan Holly membuat gadis itu melirik jam tangannya.   Benar.   Sudah jam sembilan malam. Dan artinya waktu kerjanya sudah selesai.   "Kau dari tadi melamun terus. Kau sakit?"   Holly menggeleng seraya mengulas senyum tipis.   "Wajahmu pucat. Sudah makan belum?"   Lagi, Holly menggeleng.   "Aku bawa bekal. Makanlah, aku tau kau sangat lapar." Chanri kemudian mengambil kotak bekalnya dan menyodorkan kepada Holly yang menatap kosong bekal tersebut.   "Terima kasih sebelumnya. Tapi aku benar-benar tidak lapar, Chanri. Ya sudah aku pulang dulu ya? Terima kasih atas bantuan dan perhatianmu, Chanri."   Holly memakai hoodienya dan berangsur keluar dari apotek. Ia melangkah santai di jalanan yang lumayan ramai.   Ponselnya bergetar di genggamannya. Di layar ponsel, tertera nama Tobey. Tapi ia kali ini sangat malas untuk mengangkatnya. Bukan karena ia marah pada Tobey, tapi moodnya kali ini memang benar-benar tidak terkontrol sehingga ia seperti sekarang ini.   "Kenapa kau tidak mengangkat panggilanku?"   Langkah Holly terhenti. Ia mendongak dan mendapati Tobey yang bersender di mobilnya.   "Aku sedang malas berbicara."   "Itu kau baru saja bicara."   "Maksudku-"   "Ayo masuk. Rekan kerjamu tadi bilang kalau kau belum makan. Kenapa kau belum makan? Kau mau sakit hah?" Tobey mengomel dan membuka pintu mobil bagian penumpang.   "Aku sudah makan, Tae."   "Makan sandwich yang aku buat tadi pagi? Itu yang kau bilang makan?"   Holly mengangguk lemas. Tobey mendengus dan menjalankan mobil menuju apartemen Holly yang jaraknya lumayan dekat dari tempat kerjanya.   "Aku sudah dengar masalahmu."   Gadis itu menoleh kesamping. Ia melihat Tobey yang terus menatap jalanan yang mulai macet. Menoleh sekilas, Tobey mengulas senyum manis.   "Jika kau merasa sepi, sedih dan ingin bersandar, kau bisa memanggilku. Aku bersedia bila kau ingin mencurahkan isi hatimu yang kau pendam selama ini."   Tangan Holly meremas pelan hoodie bawahnya.   "Jangan terus-terusan kau simpan masalahmu itu. Bicaralah kalau kau ingin. Kau tau, orang yang terus memendam masalahnya akan berakibat stres berlanjut dan akan mati. Dan aku tidak ingin kau mati lebih dulu sebelum kita mempunyai anak."   Tobey menoleh sekilas sebelum akhirnya ia menjalankan kembali mobilnya setelah lampu lalu lintas berwarna hijau.   Kini Holly menunduk dalam. Perkataan pria itu benar, sangat benar. Tapi ia belum siap untuk mencurhakan kepada siapapun. Termasuk Jeffrey dan Welby. Well, sebelumnya Holly pernah  bercerita, tapi tidak selalu mendalaminya.   Ia selalu membatasi dimana ia bercerita tentang masalahnya.     Tobey tersenyum senang melihat Holly menghabiskan makanan yang dibuat oleh Tobey sendiri. Walaupun makanan yang dibuat Tobey sangat sederhana, Holly sangat mengagumi masakan Tobey yang sangat lezat.   "Kenapa aku memasak telur dadar gulung tidak seenak seperti buatanmu?" Tanya Holly heran seraya menoleh ke samping kiri. Menatap Tobey yang sedang menatap Holly seraya menopang dagu dengan tangan.   Pria itu kembali tersenyum bangga. "Karena tanganku mempunyai kekuatan khusus." Jawab Tobey jenaka.   Holly cemberut. Ia kemudian menaruh piring kotor ke dalam tempat cuci piring dan menyucinya.   Tobey mengikuti Holly. Ia bersedekap d**a disamping Holly yang sedang mencuci piring sampai selesai.   "Aku menunggu, Holly."   Holly menaikan sebelah alisnya seraya melepaskan sarung tangan cucinya. Ia menatap balik Tobey.   "Menunggu apa?" Tanya Holly. Sedetik kemudian ia menjadi murung kembali dan Tobey menangkap rautnya itu. "Boleh aku minta sesuatu?"   "Tentu saja. Apa yang kau minta?"   "Cium aku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN