Bab 12 - Masak Bareng

1242 Kata
Devan dan Ara akhirnya sampai ke apartemen, Devan pun menurunkan Ara. “Kalau begitu aku langsung pulang aja ya. Ngga ada kerjaan juga 'kan hari ini?” “Buru-buru sekali Kak. Hm, bagaimana kalau kita sarapan dulu yuk.” ujar Ara lalu sontak menarik pergelangan tangan Devan dan membawanya masuk ke dalam tanpa seizinnya. “Tunggu! Tunggu! Kenapa kamu menarik tanganku? Aku saja belum memberikan jawaban.” Ara menghentikan langkahnya lalu melepaskan genggaman tangannya pada Devan. “Kamu lama sekali sih menjawabnya.” Itupun membuat perempatan muncul di dahi Devan. ‘Hah! Lama bagaimana? dia saja baru selesai berbicara dan langsung menarikku begitu saja.’ batinnya tak habis pikir “Ya udah karena kamu udah di sini, lebih baik kamu sarapan di sini. Oke kak? Aku tidak menerima penolakan." “Memangnya kamu sudah membuat sarapan? Bukankah dari pagi tadi kamu sudah keluar?” Devan ada benarnya, Ara baru teringat bahwa dia belum membuat apapun pagi ini. Ia pun mengusap dagunya, memasang tampang berpikirnya. “Hm ... Kalau begitu ayo kita masak bersama saja yuk,” “Hah!—“ belum sempat merespon, Devan kembali ditarik Ara menuju dapur. Setibanya di dapur, Ara tampak sibuk memeriksa bahan masakan yang tersedia di kulkas dan lemari penyimpanan dekat pantry, sementara Devan terlihat hanya berdiri dan sibuk memperhatikan Ara. Ara tampak mengeluarkan daun bawang, wortel, telur dan cabe. Ia menatap Devan yang masih tak bergeming dari tempatnya. “Kak! Ayo ke sini?” Dengan langkah malas ia mendekati Ara, sebenarnya ia sudah lelah dan ingin istirahat. “Apa? Kamu ingin membuat apa?” “Aku ingin membuat nasi goreng. Kamu tolong pecahkan telur ini ya.” Ara memberikan tiga buah telur beserta gelas dan sendok pada Devan lalu beralih memeriksa nasi yang sedang di panasin di dalam rice cooker. “Ini telurnya mau digoreng sama nasinya atau digoreng pisah.” “Di goreng pisah aja kak, buat telur ceplok. Kakak yang buat telur ceploknya ya, hidupkan aja kompornya.” “Hm, tapi aku ngga bisa memasak Ra.” “Pasti bisa. Masa masak telur aja ngga bisa. Pokoknya harus bisa! Semangat ya!” Ara menyemangati Devan lalu pergi ke wastafel untuk mencuci sayuran untuk pelengkap nasi gorengnya. Devan pun menuruti perintah dari Ara, namun sebelumnya ia melepaskan jas hitamnya dan menggulung lengan kemejanya dan setelah itu segera mengambil telpon kecil yang tergantung di dinding lalu menghidupkan kompor. “Minyaknya ambil yang dalam botol aja kak.” celetuk Ara seolah-olah tahu dengan isi pikiran Devan. “Oh iya, oke.” Devan mengambil minyak dalam botol tersebut lalu menuangkan ke telpon kecil itu secukupnya. Saat merasakan minyaknya sudah panas, Devan pun menuangkan telur yang telah ia pecahkan sebelumnya ke dalam teplon yang sudah panas tersebut. “Aduh, aduh ....” Tubuh Devan sontak menjauh ketika lehernya tak sengaja terciprat minyak panas, namun tangannya yang memegang spatula mencoba untuk membalikkan telur yang meletup-letup hingga membuatnya terlihat lucu ketika membalikkan telur dengan jarak yang sedikit jauh dengan kompor. Itupun membuat senyum kecil Ara muncul ketika melihat cara Devan memasak. “Aduh ... ini kenapa telurnya meletup-letup sih.” “Makanya pelan-pelan dong masaknya kak.” “Aku udah pelan-pelan masaknya. Tapi, masih meletup-letup juga.” “Ya udah nikmatin aja, tinggal satu lagi tuh telurnya yang belum di goreng.” Devan melirik Ara dengan tatapan tajamnya, namun tetap melanjutkan menggoreng telur terakhirnya. Dan setelah 20 menit kemudian akhirnya nasi goreng buatan Ara dan Devan pun jadi. Kini mereka telah menata menu sarapan dan kelengkapan lainnya di atas meja makan. “Ayo mulai sarapannya! Selamat makan!” seru Ara setelah mengambil duduk di salah satu kursi. Dan Devan hanya mengangguk sebagai jawabannya. “Bagaimana dengan nasi gorengnya? Enak 'kan?” Devan mengangguk, “Ya, lumayan.” Hingga akhirnya hanya terdengar dentingan sendok dan piring di ruangan tersebut, mereka makan dengan lahap karena pada dasarnya mereka sudah sangat lapar. Setelah sarapan, Devan mengambil duduk di ruang tamu, sementara Ara sebelumnya minta izin untuk ganti baju dulu. “Kalau bosan, hidupkan saja tv nya.” Devan sontak mengalihkan pandangannya ke arah orang yang baru saja mengeluarkan suaranya. Ara tampak berdiri tak jauh dari tempat Devan. Ia terlihat mengenakan pakaian yang lebih santai, sweater oversize coklat s**u, dan bawahannya celana training warna hitam. “Oh, iya. Tapi, sepertinya aku harus pulang sekarang.” Devan berdiri dan Ara pun mendekatinya. “Kenapa buru-buru sekali? Padahal aku baru saja mau memberikanmu tugas.” “Tugas apa? Jadi hari ini aku juga bekerja?” “Iya, tapi untuk hari ini kerjamu bukan untuk menjagaku, tapi ikut membantuku membersihkan apartemenku.” Mata sipitnya melebar ketika mendengar penuturan dari Ara. “Apa! Ta-tapi—“ “Tidak ada tapi-tapian Kak. Ayo bantu aku bersihkan apartemen!” lagi-lagi Ara menarik tangan Devan lalu memberikannya kain lap di tangannya. “Kakak tolong bersihkan yang berdebu ya, aku akan menyapu.” Belum sempat Devan menjawab, Ara kembali meninggalkan Devan ke teras, ia akan menyapu dari luar sebelum menyapu ke dalam apartemen. Pandangan mata Devan mengikuti arah langkah Ara keluar. ‘Apa dia tidak memiliki asisten rumah tangga satupun? Apa selama ini dia sendiri yang membersihkan apartemennnya?’ pikirnya lalu tanpa berlama-lama lagi segera membersihkan apapun yang berdebu. *** “Kak sini dulu deh, ayo kita istirahat dulu. Kakak pasti capek 'kan.” Ara terlihat membawa dua gelas minuman dingin ke atas meja lalu menyuruhnya untuk beristirahat sejenak. Devan mengangguk lalu meninggalkan pekerjaannya untuk beristirahat. “Ya ampun, kasihan banget sih kak sampai keringatan gitu.” ujar Ara dengan tangannya yang terlihat tergerak untuk menyeka keringat yang mengalir di dahi Devan dengan sapu tangan yang sudah disiapkannya dari awal. Tubuh Devan sontak membeku hanya bola matanya yang bergerak melirik wajah orang yang duduk di sebelahnya. Ia menatap pahatan wajah yang begitu indah dan halus di sampingnya, hingga akhirnya ia mengedipkan matanya secara perlahan setelah menatap wajah cantik Ara untuk beberapa saat tanpa berkedip lalu reflek menjauhkan kepalanya. “Apa yang sedang kamu lakukan?” Raut wajah Ara sontak berubah menjadi sedikit kecewa. “Aku hanya menyeka keringatmu, memangnya tidak boleh ya?” “Hm, bukan seperti itu maksudku. Tapi, aku bisa menyekanya sendiri.” “Ohh ya udah nih.” Ara pun memberikan sapu tangan pada Devan dan Devan menerimanya. Ia pun menyeka keringatnya dengan sedikit canggung. Sementara Ara meliriknya sejenak lalu memilih untuk meneguk minuman dinginnya. Crashh! Ara dan Devan sontak mengalihkan pandangannya ke arah belakang dimana asal bunyi keras itu berasal. “Ada apa itu?” gumam Ara lalu sontak berdiri dan melangkah menuju ke belakang, Devan pun dengan cepat melangkah mengikuti Ara yang sudah jalan lebih dulu. Mata Ara melebar ketika melihat jendela di dapur yang pecah dan ada sebuah batu besar yang masuk ke dalam apartemennnya. Sementara Devan dengan cepat melangkah ke depan jendela yang kacanya pecah itu dan tak sengaja melihat seseorang dengan penampilan serba tertutup sedang melangkah dengan cepat menjauh dari apartemen Ara. “Itu pasti pelakunya. Aku harus menangkapnya.” Baru saja Devan ingin pergi mengejar orang itu, Ara lebih dulu menahan pergelangan tangannya. “Tidak perlu kak. Lagipula dia sudah jauh. Pasti tidak akan ketangkap.” “Tapi, kita harus tahu siapa yang melakukannya.” “Kamu tidak akan bisa mengejarnya. Dia sudah jauh.” Devan kembali menatap ke luar jendela dan memang tidak lagi mendapatkan tanda-tanda orang tersebut di sana. Ia menghela napas kasar. “Ya udah. Terus bagaimana dengan jendelamu?” “Aku bisa menyuruh tukang untuk memperbaikinya nanti. Kita ke depan lagi aja yuk.” Devan mengangguk lalu menuruti ajakan Ara. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN