Tempat Asing
“Dimana aku?” ujar gadis yang tengah terbangun di sebuah kamar megah.
Gadis itu memegangi kepalanya yang sangat sakit, namun rasa penasaranya membuat ia menahan rasa sakit tersebut. Ia mengedarkan pandangan keseluruh ruangan kamar dan ia sama sekali tidak tau ia di mana.
“Rumah siapa ini? Apa aku bermimpi? Ayah dan ibu juga dimana? Ah! Apa aku ternyata sudah kaya tapi aku tak ingat?” ujar batin gadis itu.
Ia mencoba turun dari ranjang dan mengendap-endap untuk keluar kamar. Sebenarnya badan dan kepalanya masih nyeri namun ia ingin bertemu dengan ayah dan ibunya. Gadis itu menuruni tangga dengan pelan. Ia sangat takjub melihat interior rumah yang seperti istana. Gadis itu terus berjalan dan ia melihat ada dua orang, laki-laki dan perempuan paruh baya tengah duduk di meja makan. Gadis itu mengernyitkan dahi menandakan keheranan karena ia tak menemui kedua orang tuanya, malah kedua orang asing yang ia temui.
“Mereka itu siapa?” gumam gadis itu seraya berpikir.
“Ah mungkin tukang kebun ayah dan ibu? Tapi apa benar ini rumahku?” gumamnya dengan suara hampir berbisik.
Gadis tersebut mulai mendekat pada dua orang yang sedang menikmati makanan tersebut.
“Anu maaf. Paman dan bibi siapa ya?” tanya gadis itu langsung pada intinya.
Kedua pasangan paruh baya itu saling tatap dan agak terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan gadis tersebut.
“Amora, kenapa kamu tanya seperti itu?” ucap laki-laki paruh baya tadi.
Gadis yang bernama Amora tersebut semakin dibuat bingung atas jawaban mereka berdua. Ia tak mengerti, apakah salah jika dirinya bertanya seperti itu.
“Tapi saya benar-benar tidak tahu siapa kalian? Dan kenapa kalian bisa tau namaku Amora?” tanya Amora dengan ekspresi ingin menangis, karena kepalanya bertambah sakit.
Wanita paruh baya memandangi Amora dengan tatapan tak suka dan dingin. ia seperti ingin memaki Amora, namun mulutnya harus dijaga karena ia duduk di depan suaminya.
“Ya jelaslah kami tahu namamu. Kami ini mertua kamu Amora!” ucap wanita paruh baya tersebut.
Amora membelalakkan mata, ia terkejut saat mendengar jawaban dari wanita paruh baya di hadapanya. Amora memegangi kepalanya yang semakin sakit.
“Tapi saya belum menikah. Dan di mana ayah dan ibu saya?!”
Amora bertanya dengan nada sedikit membentak karena ia sangat ingin bertemu dengan ayah dan ibunya. Ia sebenarnya takut jika ia diculik karena ia sama sekali tidak mengingat kedua orang yang mengaku sebagai mertuanya.
“Kurang ajar kamu!” geram wanita paruh baya kepada Amora.
“Sudah Kirana, mungkin ini masih efek dari operasinya. Cepat hubungi Brian biar urus istrinya”.
Wanita paruh baya itu mengambil handphone dan mengetuk kontak yang bernama ‘Anakku’.
“Halo Brian, Amora sudah sadar. Cepat pulang dan lihat sendiri keadaanya.”
Panggilan pun diakhiri secara sepihak oleh wanita yang bernama Kirana ini. Sedangkan Amora sudah menangis dan memegangi kepalanya yamg sangat sakit, pandanganya juga mulai buram. Ia ingin bertanya kembali kembali namun pandanganya mulai buram dan ia kehilangan keseimbangan tubuh yang membuatnya tersungkur ke lantai.
Pria paruh baya terkejut ketika melihat Amora pingsan. Ia memanggil pelayan dirumahnya untuk membantu mengangkat tubuh Amora ke dalam kamar.
***
“Halo Brian, Amora sudah sadar. Cepat pulang dan lihat sendiri keadaanya,” Ujar suara di sebrang.
TUT
Telpon itu diakhiri secara sepihak, padahal belum sempat Brian membalas ucapan ibunya. Rasa bahagia sekaligus khawatir memenuhi pikiranya ketika mendengar ibunya memberi tahu bahwa istrinya telah sadar. Pria yang bernama Brian Aditya Nara itu adalah putra dari pemilik Nara Company, perusahaan yang sangat besar. Jadi bisa dibilang Brian adalah kalangan konglomerat.
Setelah menerima kabar dari ibunya, ia langsung bergegas pulang ke rumah. Jarak rumah dan kantor sekitar 30 menit. Namun kali ini ia benar-benar kalut karena tak sabar melihat istrinya yang lama ia nantikan. Karena berbulan-bulan istrinya hanya terbaring di ranjang rumah sakit dan hari inilah yang ia tunggu-tunggu.
Brian sampai di rumahnya yang sangat megah, halaman rumhnya dipenuhi dengan bunga-bunga yang telah bemekaran, setelah memakirkan mobilnya ia melihat bunga-bunga itu. Ia teringat ketika istrinya dengan bahagia menanam semua bunga-bunga yang kini membuat suasana rumah semakin indah.
“Aku tak sabar melihatmu Amora,” Gumamnya.
Raut wajahnya yang semula menunjukkan bahagia tiba-tiba berubah menjadi sedih. “Aku janji tak akan menjadi sumber rasa sakitmu lagi.”
Setelah berucap demikian, Brian berlari ke dalam rumah yang berkedok istana itu. Ia melihat ayah dan ibunya duduk di ruang keluarga.
“Mah, pa. Di mana Amora?” tanya Brian dengan ekspresi tak sabar.
“Di kamarnya. Tapi-“
Belum selesai ibunya berucap. Brian segera berlari menuju ke kamarnya. Kirana hanya bisa berdecak kesal karena anaknya telah banyak perubahan kepada istrinya. Sedangkan Darel hanya bisa tersenyum tipis meihat ekspresi istrinya yang sedang kesal.
Brian sudah sampai di depan pintu kamar mereka. Ah tidak, lebih tepatnya kamar Amora. Ia memandangi gagang pintu dan berbisik sebuah kata.
“Maaf.”
Brian membuka pintu dengan perlahan, ia melihat sosok perempuan cantik yang tengah terbaring di ranjang. Dengan perasaan yang campur aduk, ia melangkahkan kakinya mendekati ranjang. Perasaan bahagia, sedih, rindu dan lainya bercampur jadi satu, perutnya seperti penuh dengan kupu-kupu yang ingin keluar. Perlahan Brian duduk di samping Amora. Ekspresinya seperti ingin menangis. Ada banyak yang ingin ia sampaikan ke istrinya itu.
“Amora…” panggil Brian dengan pelan.
Tanganya menyentuh pipi Amora dengan pelan. Pipi yang dulu penuh dengan air mata dan memar kini terlihat lebih bersih.
PLAK
Mata Brian terbelalak karena terkejut, tanganya di tampik oleh Amora.
“Siapa kamu?” ucap Amora dengan tatapan dingin.
Tubuh Amora menjauh dari Brian. Ia sekarang berada di ujung ranjang. Brian yang melihat istrinya bertindak seperti itu menjadi bingung. Dengan perlahan Brian mendekati Amora, matanya ingin menangis.
“Amora. Aku tau kamu benci kepadaku, tapi kumohon jangan seperti ini,” ujar Brian dengan tatapan sayu.
Amora memandang Brian dengan ekspresi kebingungan, ia tak mengerti apa yang dimaksud laki-laki yang dihadapanya ini. Bahkan ia heran dengan kata-kata yang diucapkan Brian
“siapa orang ini? Kenapa dia bisa bicara seperti itu? Benci? Apa maksudnya. Bagaimana aku membenci seseorang yang sama sekali tidak ku kenal. Tuhan.. ini ada apa sih.” Ujar batin Amora.