"Oke! Kita akan kembali ke Indonesia besok pagi!" kata Haris menengahi debat kedua kawannya. Mereka mengangguk dan pasrah.
Sepersekian detik setelah melihat kedua sohibnya mengangguk, akhirnya ia pamit pulang.
Rizal yang menyadari akan hal itu menatap Haris tak suka. "iya dah! Mentang-mentang sudah ada istri aja, kita ditinggalin." Zul manggut-manggut.
Haris tertawa. Makanya, kalian buruan cari istri, biar jadi pelindung syahwat kalian." Rizal dan Zul nyengir kuda.
"Ya sudah, aku pergi dulu. Kalau ada informasi lagi, datang saja ke apartemenku, Assalamu'alaikum," katanya lalu beranjak pergi meninggalkan apartemen milik Zul.
Matahari bersinar terik, walaupun ini belum jam dua belas siang. Untung saja bantuan dari suhu di kota ini membuatnya tidak terlalu merasakan panas saat sengatannya mengenai kulit putih bersihnya.
"Assalamualaikum," katanya sambil memasuki pintu apartemen. Samar-samar dari arah dapur, ia mendengar jawaban halus dari seorang perempuan. "Wa'alaikumussalam."
Linza mendekat ke arah Haris. Mencium punggung tangan milik Haris. "Sudah selesai?" Haris mengangguk, lalu duduk rebahan di sofa depan tv.
"Kamu sedang apa?" Haris menyadari wanitanya itu tidak duduk di sampingnya, lalu menatap ke sembarang arah, mencari Linza. Linza datang dari arah dapur dengan membawakan segelas s**u cokelat. Hampir saja, Haris menggapai s**u itu sebelum cairan itu sudah masuk di kerongkongan Linza sebagian.
Haris mendengkus sebal. Linza terkekeh, menatap Haris yang seperti anak kecil.
"Baiklah, baiklah. Aku akan membuatkanmu." Linza kembali ke dapur. Beberapa menit kemudian datang dengan membawa segelas s**u cokelat. Haris menatap s**u itu berbinar. Linza terkekeh.
"Apakah ada yang kurang?" kata Linza saat melihat Haris mulai meminum s**u racikannya. Haris menggeleng. "Aku bertanya serius, tau!" Linza melipat kedua tangannya ke d**a, menatap Haris cemberut. Haris tersenyum.
"Kurang manis sedikit, tetapi kurasa manisnya sudah sempurna saat menatap wajahmu."
Rona merah hadir di kedua pipi Linza. Setelah itu, ia menepuk pipi Haris pelan. "Dasar gombal!"
"Gombal tapi ganteng, kan?" Haris memainkan satu alisnya, menggoda Linza. Linza menggeleng, sambil masih menahan pipinya yang merona.
Haris kembali tertawa. Buktinya suka banget megang-megang pipi, nih." Haris memegang tangan Linza yang masih berada di pipinya.
"Nah. Megang pipi cowok ganteng." Haris kembali terkekeh. Linza memeletkan lidahnya, mengejek.
"Ganteng tapi gak pernah mandi." Linza pura-pura mengibaskan tangan kanannya di depan hidung, seolah mengejek Haris yang badannya bau.
Haris dengan cepat menarik tangan Linza, hingga Linza oleng dan terjatuh di sofa tepat di pelukannya. Rona pipi Linza kembali hadir, dan untung Haris tidak memperhatikan itu. Sehingga Haris tak perlu susah payah menertawainya saat pipinya merona seperti kepiting rebus.
Satu detik.
Dua detik.
"Katanya bau, tapi kok masih betah dipeluk?"
Linza refleks berjingkat, bangkit dari pelukan Haris, menatap Haris yang masih terkekeh. Ia mendengkus sebal. Nyebelin!
Haris tertawa sambil menunjuk-nunjuk pipi Linza yang memerah, ingin sekali Linza menendang Haris, tapi apalah daya, jika ia hanya seorang istri yang mencoba menjadi lebih baik.
Melihat raut wajah Linza yang manyun, akhirnya Haris memberhentikan tawanya dan berucap, "Cuaca siang ini sangat cerah. Kita masih ada waktu satu jam sebelum Zuhur. Mari kita berjalan-jalan sebentar." Mendengar perkataan Haris, raut wajah Linza yang tadi cemberut berubah seketika menjadi berbinar.
"Benar, kita akan jalan-jalan?" Haris mengangguk, tersenyum. Linza nyengir kuda, memamerkan deretan gigi-giginya. Haris segera bangkit dan mengelus jilbab Linza penuh sayang.
"Kamu bersiap-siap, aku akan pinjam mobilnya Zul." Haris hilang di balik pintu setelah mengucapkan salam. Linza membalas, lalu dengan riangnya menaiki anak tangga menuju kamarnya.
Jalan-jalan, yes!
Lima menit Linza mencari baju yang pas untuk dipakai hari ini. Namun, tidak ada hasilnya. Padahal hampir semua baju yang ada di lemarinya sudah dikeluarkan. Ia menggigit bibir bawah sembari memilih-milih baju.
Haris yang menunggu Linza di bawah segera menaiki tangga untuk menghampiri Linza. Linza sontak terkejut saat melihat Haris yang sudah di ambang pintu. Padahal saat itu Linza hanya memakai handuk. Dengan malunya ia mencoba menutupi tubuhnya.
Haris tertawa pelan, melihat tingkah laku Linza yang menggemaskan. Silakan lanjutkan, aku tidak akan mengganggumu," katanya sambil mengangkat bahu. Pemandangan biasa saat melihat Linza seperti itu, bukankah dulu Linza juga memakai pakaian seperti itu?
"Pintunya tutup!"
"Kamu ingin aku menutup pintunya, sedangkan aku masih ada di kamar?" Linza menggeleng. Rona merah hadir di kedua pipi manusia itu. Sedangkan manusia yang satunya dengan wajah tanpa dosa berdiri di ambang pintu masih cengengesan.
Sepersekian detik kemudian, sebuah teddy bear melayang menuju Haris. Haris refleks menghindar, lalu menutup pintunya.
Setelah menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya Linza ganti pakaian juga. Sekarang ia disibukkan dengan memilih jilbab. Haris yang sudah sebal dengannya segera menghampirinya, lalu menggendongnya.
"Sudah, pakai saja seadanya. Memangnya mau ketemu siapa," ocehnya saat menggendong tubuh Linza. Linza ingin turun, kedua kakinya ia naik-bawahkan. Tetapi sia-sia. Haris sudah bersungut-sungut tidak akan menurunkan Linza, karena waktunya akan tersita banyak saat menunggui Linza dandan.
Haris menurunkan Linza saat sudah berada di depan pintu mobil. Haris membukakan pintunya, seolah berkata, "silakan, Tuan Puteri." Linza tersenyum manis, duduk dengan anggunnya bak Cinderella.
Haris mulai menjalankan mobilnya, menerobos keramaian.
"Ih, kok sudah Zuhur?" Linza mendelik saat sebuah aplikasi ponsel Haris mengumandangkan adzan.
"Itu salahmu, yang harus pakai inilah, itulah. Menghabiskan satu abad lamanya. Bisa-bisa kebakaran jenggot aku menunggumu." Haris menatap datar ke depan. Wajahnya ditekuk sebal.
Linza hampir saja tertawa menatap wajah tampan suaminya itu, tapi ia urungkan. Sejak kapan ia ada jenggot? Kumis saja masih tipis. Beberapa kali ia tertawa saat mengingat kata-kata itu: kebakaran jenggot.
"Kamu kenapa ketawa terus?" Haris memasang wajah sebal. Kiita telat ini Zuhurnya." Matanya masih tetap fokus mengemudi.
Linza memasang senyum termanisnya, menatap suaminya itu penuh cinta. "Sayang ."
Haris menatap Linza jengah. Pasti ada maunya saat ia dipanggil dengan sebutan itu. "Ada apa?" tanyanya dingin.
"Pengen ice cream." Ia tersenyum lembut, senyum yang akan menyihir seluruh lelaki saat menatapnya. Haris menatapnya, lalu menepikan mobilnya.
Kedua tangan Haris merangkup pipi tirus Linza, menatap senyumnya yang bisa melelehkan amarahnya, lalu bergantian menatap matanya yang memesona. Jangan tunjukkan senyum itu selain kepadaku."
Linza mengangguk, lalu tersenyum. Haris mengacak jilbab Linza.
"Loh! Kok diberantakin sih! Lama tau benerinnya." Linza manyun, menatap model jilbabnya yang sudah dirusak Haris melalui kamera ponselya. "Kan, jadi jelek tuh," katanya sambil wajahnya tertekuk.
"Sejak kapan kamu cantik?" kata Haris sambil kembali mengemudikan mobil, mencari ice cream untuk Linza. Linza mendengus, menatap wajah tampan itu yang sekarang mengulas senyum manis di bibirnya. Ia mengerucutkan bibir.
Setelah sekitar seperempat jam mencari, akhirnya mereka menemukan juga. Penjual ice cream kaki lima, yang masih menggunakan gerobak. Entahlah, di kota besar seperti itu masih ada yang memakai gerobak, walaupun gerobak itu sudah dimodifikasi jauh lebih baik dibanding di Indonesia.
Mata Linza berbinar, mengusap perut ratanya. Haris yang mengetahui itu langsung mencegah Linza tatkala Linza ingin keluar dari mobil.
"Kamu ada di sini saja, biar aku yang turun." Haris mencium pucuk kepala Linza dengan penuh cinta, kemudian turun dari mobil. Linza manyun, padahal ia ingin sekali menginjakkan kaki di sini. Setelah lama ia tak menginjaknya.
Cukup lama Linza menunggui Haris yang membeli ice cream. Dari jendela mobil, ia dapat mengetahui jika Haris sok-sokan kenal dengan sang penjual, bahkan ia kadangkali tertawa bersama penjual. Dasar tukang rumpi! Dengkus Linza.
Setelah percakapannya dengan penjual itu selesai, akhirnya Haris naik ke mobil dan memberikan Linza ice cream.
"Lama!" Haris terkekeh, kemudian kembali mengemudikan mobilnya, menerobos keramaian lalu lintas Ottawa.
Saat di tengah perjalanan, Linza refleks menjerit histeris. "Justin Bieber!"
Selama beberapa tahun ia tinggal di Kanada, baru pertama kali melihat wajah musisi juga aktor yang tampannya Subhanallah itu baginya, mungkin si Justin Bieber sedang mengadakan konser di Ottawa, bisa jadi, kan? Apalagi Toronto dekat dengan Ottawa. Linza senangnya bukan main.
Berulang kali ia ingin keluar dari mobil tapi dicegah oleh Haris. Haris mendengkus kesal, menatap istrinya yang terlalu mencintai aktor daripada dirinya. Ia cemburu.
Linza mengerucutkan bibirnya saat sosok sang idola sudah masuk dalam mobil mewahnya. Ia manyun. Tidak dibolehkan turun oleh Haris.
Ia menatap sebal Haris, begitupun Haris yang menatapnya datar.
"Apa sih, yang membuatmu mengidolakannya." Haris masih mengemudikan mobil pelan, sambil menatap lurus ke depan.
"Ganteng." Linza menjawab pendek.
"Di sampingmu ini juga ganteng." Haris menatap sebal jalanan. Untung saja ia masih waras, kalau sudah tidak, pasti dia sudah keluar dari mobil dan menyanyi di tengah jalan.
Linza yang mendengar itu, wajahnya berubah merona. Ternyata suaminya itu cemburu. Ia tersenyum segaris, nyaris tidak ada yang tahu jika itu senyuman.
"Lagi pula, buat apa ketampanan. Toh juga kalau sudah tua juga sama-sama berkeriput. Kalau sudah di alam barzakh juga sama-sama dimakan belatung, kalau sudah hari hisab juga sama-sama dihisab amal perbuatannya.
“Nanti kalau sudah tidak tampan kamu mau meninggalkannya, lalu mencari yang tampan lagi, seperti itu?" Haris mengoceh tak jelas. Tetapi, ocehannya itu mampu membuat Linza tersenyum senang. Menatap wajah tampan Haris yang cemburu itu membuatnya gemas. Ingin sekali ia mencubitnya sekarang juga.
"Suamiku." Haris diam, masih fokus mengendarai mobil.
"Sayangg ." Linza merajuk sambil tersenyum. Haris diam. Seolah tak mendengarnya. Linza menyeringai, tinggal satu jurus terakhir darinya yang akan membuat lelaki itu meleleh kepadanya.
Ia menyuruh Haris untuk menepikan mobilnya sejenak. Walaupun Haris heran, akhirnya menurutinya juga. Perlahan ia menggenggam tangan Haris. Lalu...
Cup!
Ia mengecup lembut pipi kiri Haris. Haris panas dingin. Linza tertawa terbahak. Jangan marah lagi, tidak ada yang bisa mengalahkan ketampananmu saat ini walaupun itu Zayn Malik sekalipun, hanya my daddy dan Nabi Yusuflah yang bisa mengalahkan ketampananmu."
Haris menatap mata indah Linza, tersenyum. "Sudah kukatakan, jika aku ini ganteng." Haris memainkan satu alisnya, teringat kejadian beberapa jam lalu.
Linza mendengkus, memeletkan lidah. Haris mengacak jilbab Linza sayang, lalu melanjutkan perjalanan pulang.
"Sudah, sudah. Waktu Zuhur tinggal satu jam lagi. Bersiaplah, kita akan ngebut!" Linza tersenyum, menatap tangannya yang bergandengan dengan tangan Haris.