Malam itu, dapur Arjuna Flame sudah seperti medan perang yang baru saja ditinggal para prajurit. Peralatan berserakan, aroma mentega gosong dan truffle masih menggantung di udara, dan di tengahnya—mereka berdua, masih saling memandang.
"Aku mau yang manis," ulang Kana, lebih pelan. Tapi mata itu... mata itu memohon dibakar.
Dante tidak bergerak selama lima detik. Lalu dia memutar tubuh Kana, menempatkan wanita itu membelakangi meja, pinggulnya menyentuh tepian dingin stainless steel.
"Mungkin aku bukan pastry chef," gumamnya sambil membelai garis rahang Kana, "tapi aku tahu caranya membuat sesuatu yang lengket, panas, dan bikin ketagihan."
Kana tertawa pelan, bukan karena lucu. Tapi karena dia tahu: dia sudah melewati batas—dan Dante bukan pria yang suka main aman.
Ciuman datang lagi. Lebih lapar. Lebih rakus. Dante mendorong tubuh Kana ke meja, tangannya menyusuri punggung terbuka dari jumpsuit wanita itu. Kana mendesah, menggigit bibir bawahnya, dan menahan napas saat kancing celananya dibuka perlahan.
Tidak ada waktu untuk romantisme. Tidak ada musik latar, hanya suara kipas dapur, detik jam dinding, dan napas mereka yang mulai memburu.
"Kamu yakin melakukan ini terjadi di dapurmu sendiri?" tanya Kana, di sela helaan napas yang berat.
"Aku bahkan ingin ini terekam di buku menu," gumam Dante sambil menurunkan celana kulit Kana separuh paha.
Kana menaikkan satu kakinya ke meja, memberi akses.
"Cepat. Aku mau manisnya sekarang."
Dante menunduk. Mencium pangkal paha Kana dengan pelan, sebelum bibirnya meluncur ke tengah bagian paha. Lidahnya bekerja seperti orkestra: terencana, intens, dan mematikan.
Kana mendongak, menahan suara yang nyaris meledak dari tenggorokannya. Tangannya mencengkeram tepian meja begitu erat, buku jarinya memutih.
"Ohhh..."
"Sial... Dante..."
Dante terus bermain, sampai tubuh Kana melengkung, menggeliat, dan akhirnya—bergetar hebat. Tapi dia belum selesai.
Dia berdiri, mencium Kana lagi, kali ini dengan rasa Kana sendiri di lidahnya.
"Kamu belum kenyang?" bisik Kana, suaranya parau.
Dante membalik tubuhnya, kali ini membaringkan Kana di meja, rambut panjang wanita itu terurai seperti sirup cokelat di atas fondant.
"Sekarang, dessert-nya aku."
Dia membuka ritsleting jumpsuit perlahan, mengungkap tubuh yang membuatnya nyaris kehilangan kendali sejak malam pertama. Tidak ada lingerie cantik malam ini. Hanya kulit yang mulus dan aroma tubuh yang terlalu nyata.
Saat Dante mulai masuk ke dalam tubuh Kana, tidak ada lagi kata-kata. Hanya suara daging bertemu daging, meja berguncang, dan desahan yang naik turun seperti simfoni yang memuncak.
Keduanya mencapai puncak dalam satu gelombang yang nyaris merobek keheningan dapur.
Dan saat semua selesai—mereka diam.
Peluh menetes. Nafas berat. Tapi mata mereka saling terpaku.
Dante menyentuh pipi Kana, lembut kali ini. "Kalau ini dessert... aku rasa aku tidak perlu appetizer lagi besok."
Kana tersenyum pelan. "Jangan terlalu cepat puas, Chef. Aku belum mulai menu utama."
---
Beberapa menit kemudian, mereka masih duduk di atas meja. Masih telanjang sebagian. Masih saling membungkus tubuh dengan napas dan sisa-sisa gairah.
Dante menyalakan satu batang rokok, mengisapnya setengah, lalu menyerahkannya pada Kana.
"Tenyata kamu merokok?" tanya Kana.
"Tidak. Tapi malam ini... kamu membuat semua larangan terasa halal."
Kana mengisap pelan, lalu meniupkan asap ke wajah Dante.
"Besok malam. Kamu datang ke apartemenku. Aku akan sajikan sesuatu yang tidak bisa kamu masak."
Dante menaikkan alis. "Apa itu?"
Kana berdiri, mengenakan celana lagi perlahan. "Rasa takut."
Lalu dia pergi.
Dan untuk pertama kalinya, Dante Arjuna tidak tahu apa yang lebih membakar—kenikmatan yang baru dia rasakan... atau rasa penasaran yang mulai meracuni jiwanya.
---
Apartemen Kana Maharani Gayatri berada di lantai paling atas gedung tua yang telah direnovasi menjadi tempat tinggal para urban elite—dinding bata ekspos, langit-langit tinggi, dan lampu-lampu gantung yang menggantung seperti bintang jatuh. Tapi malam itu, semua cahaya tampak redup dibanding kilatan di mata wanita yang berdiri di tengah ruang, mengenakan silk robe hitam yang nyaris transparan.
Dante berdiri di ambang pintu. Tidak membawa bunga. Tidak membawa wine. Hanya tubuh dan rasa penasaran yang belum reda sejak terakhir kali mereka saling mencicipi di dapur.
"Aku tidak tahu kamu suka arsitektur industrial," gumamnya.
Kana memutar tubuhnya perlahan. Robe itu mengikut geraknya seperti air. "Aku suka tempat yang terlihat keras di luar, tapi menyimpan banyak kelembutan di dalam."
Tatapan mereka bertemu.
Lagi.
Seperti dua pisau yang sudah siap menyayat.
"Masuklah," katanya.
Dante melangkah masuk. Menyadari bahwa aroma di dalam apartemen ini bukan aroma parfum mahal atau lilin aromaterapi. Tapi aroma wanita yang tahu betul caranya menciptakan bahaya.
Di meja makan, ada dua piring kosong. Dua gelas wine. Tapi tidak ada makanan.
"Apa kamu lupa menyiapkan hidangan?" tanya Dante sambil melepas jas.
Kana mendekat. Tangannya menyentuh kancing kemeja pria itu satu per satu. “Aku bilang tadi, yang akan kamu dapatkan malam ini adalah rasa yang tidak bisa kamu masak…”
Satu kancing terbuka.
Dua.
Tiga.
“…rasa takut. Takut kehilangan kendali.”
Robe-nya jatuh ke lantai. Perlahan. Tanpa suara.
Dan Dante menatap tubuh itu—sekali lagi. Tapi kali ini, bukan dengan nafsu semata. Ada ketegangan lain. Seperti sedang memasuki dapur musuh.
Kana mendekat. Tangan Dante terangkat untuk menyentuhnya. Tapi dia menepisnya.
“Berdiri di sana. Jangan sentuh aku dulu. Kali ini, kamu yang jadi bahan baku.”
Dante tertawa pelan. “Apa aku akan dimasak?”
“Tidak. Tapi kamu akan dikuliti. Pelan-pelan.”
Kana meraih remote dan memutar musik jazz pelan—bukan romantis, tapi sensual dan agak gelap. Dia berjalan mendekat lagi, lalu berlutut di depan Dante.
"Jangan bergerak," bisiknya, sebelum membuka kancing celana pria itu.
Tangannya dingin. Tapi bibirnya panas.
Dante mencengkeram sisi meja di belakangnya saat lidah Kana menyentuh bagian paling sensitif darinya—dengan ketenangan seorang ahli. Tidak tergesa. Tidak perlu memikat. Karena dia tahu dia sudah menang sejak awal.
“Ah… Kana—” desahnya, suara berat dan tercekik.
Tapi Kana tidak berhenti.
Dia memperlakukan tubuh Dante seperti sajian mahal: dipelajari, disentuh, lalu dilahap dengan intensitas yang membuat pria itu gemetar.
Ketika Dante nyaris kehilangan kendali, Kana berhenti. Menatapnya dari bawah.
“Masih kuat berdiri, Chef?” tanyanya sinis.
Dante menarik napas, lalu mengangkat dagu. “Kalau kamu terus begini, aku akan tumbang sebelum menu utama.”
"Bagus." Kana berdiri, lalu mendorong tubuh Dante ke sofa besar di tengah ruangan. "Karena sekarang, aku mau kamu diam. Duduk. Dan menikmati sajian."
Dia menaiki tubuh pria itu. Pelan, mendekatkan area paling intimnya ke tubuh Dante yang masih panas dan keras. Tapi dia tidak langsung membiarkannya masuk.
Dia hanya menggoda. Gerakan pinggul kecil. Gesekan di tempat paling menyiksa.
Dante mencengkeram lengan kursi. "Kamu suka menyiksa, ya?"
"Suka lihat kamu kehilangan kuasa," bisik Kana, mencium bibir Dante. Lidah mereka bertemu seperti dua rasa yang tak seharusnya disatukan—tapi menghasilkan ledakan yang tak bisa dihindari.
Dan akhirnya—dengan satu dorongan, Kana membiarkan tubuh Dante masuk ke dalam dirinya.
Penuh.
Dalam.
Dan panas.
Mereka bergerak dalam diam.
Tapi napas mereka adalah simfoni. Napas yang pendek, terengah, lalu pecah menjadi desahan panjang saat tubuh mereka menyatu dalam ritme yang lambat tapi memabukkan.
Gerakan Kana penuh kendali. Tidak seperti sebelumnya, saat Dante yang memimpin. Kini, dia yang memegang kendali. Dia yang menentukan tempo.
Dante mencoba membalas. Tapi setiap kali tangannya menyentuh pinggang Kana, wanita itu menekannya kembali ke sandaran.
“Diam. Nikmati. Jangan ajari aku cara memasak tubuhmu.”
Mereka mencapai puncak lagi—tapi tidak seperti malam sebelumnya.
Kali ini, lebih sunyi. Lebih menusuk.
Lebih menyerahkan.
Dan saat tubuh mereka lemas, saling menyandarkan diri, Dante menatap wanita itu.
“Kamu berbahaya,” katanya pelan.
Kana menyentuh bibirnya. “Karena aku tahu rasa. Termasuk rasa takut.”
---
Beberapa jam kemudian, Dante terbangun di tempat tidur Kana. Masih telanjang. Tapi tubuh wanita itu sudah tidak ada di sampingnya.
Dia bangkit, mengambil kemejanya, lalu melangkah ke dapur kecil di ujung apartemen.
Kana berdiri di sana. Memasak.
Telanjang, hanya mengenakan celemek tipis.
Dante bersandar di pintu, menatap pemandangan itu.
“Kamu tahu kamu bisa dihukum karena mengacaukan kesehatan mental seorang chef?” gumamnya.
Kana menoleh. “Kamu tahu kamu bisa dihukum karena menyerahkan kendali begitu saja?”
Dante berjalan pelan ke arahnya, memeluknya dari belakang.
“Aku tidak pernah menyerah. Aku cuma tahu kapan harus tunduk.”
Kana menoleh, mencium pipi Dante.
“Kalau begitu, siap untuk menu selanjutnya?”
“Menu apa?”
Kana tersenyum pelan. “Obsesi.”
Dan Dante tahu—ini bukan sekadar permainan. Ini awal dari sesuatu yang bisa menghancurkan mereka… atau membakar semuanya jadi sejarah.