ENAM

1501 Kata
“Damian, udah jemput Julia?” tanya mamanya ketika dia baru saja tiba di rumah. Pria itu membuka kancing kemejanya sambil berdiri tegap di depan sang mama. “Julia kan udah pulang dari tadi, Ma. Dia ada di kamar, kenapa Mama nggak tahu dia pulang?” Mamanya terlihat geram dan langsung menuju ke lantai dua. “Mama mau ke kamar Julia?” “Iyalah, Mama lagi sibuk bikin kue tadi. Kan besok siang acara kamu,” Damian tidak tahu apa-apa tentang acara yang dimaksud oleh mamanya. “Acara apa, Ma?” tanya pria itu mengikuti sang mama menuju kamar Julia. Mamanya yang tidak menoleh ke belakang namun masih tetap fokus pada langkahnya. “Besok kamu tunangan sama anak temannya Papa kamu. Mau nggak mau, kamu harus terima. Itu sudah jadi keputusan Papa sama Mama. Papa kamu juga minta kamu untuk segera nikah. Masa iya kamu masih senang-senang begini. Kapan seriusnya kamu? Kamu juga kenapa jadi main jalang di luar? papa udah pernah dapat informasi kalau kamu main ke kelab terus bawa cewek, tidur bareng. Mau ditaruh di mana harga diri keluarga kita kalau kamu kayak gini, Damian?” “Mengenai itu, mungkiin Mama salah paham. Aku nggak pernah ajak perempuan ke kelab kok, aku nggak pernah ke sana juga,” Mamanya berhenti ketika tepat berada di depan kamarnya Julia. Lalu menunjukkan sebuah foto yang ada di ponselya. “Ini apa? Kamu nggak ke kelab? Kamu nggak main perempuan? Kamu lagi sama dua perempuan gini kamu bilang enggak? Ingat Damian siapa orang tua kamu. Kamu bukan anak sembarangan, jangan bikin gara-gara yang buat Papa kamu murka nanti,” “Tapi nggak harus dengan cara dijodohkan gini juga kali, Ma. Aku bisa cari sendiri,” “Cari sendiri, tapi yang ada kamu cari jalang. Itu gimana maksudnya nanti? Apa Mama sama Papa bakalan malu dikasih jalang sebagai menantu?” Damian menggaruk kepalanya dengan kesal. Hatinya tidak bisa menerima perjodohan itu, dia masih mencari keberdaan Fiona dan juga kedua calon buah hatinya yang masih hidup atau tidak setelah kejadian tersebut. Namun yang Damian yakini saat ini adalah anaknya sudah tiada—akibat kebodohannya yang memberikan obat untuk menggugurkan anaknya waktu itu. Jika bisa memilih, dia ingin tetap membiarkan Fiona di sisinya. Penyesalan itu memang datangn terlambat, tidak ada yang namanya penyesalan diawal. Andai penyesalan itu bisa dia rasakan diawal, maka tidak akan pernah ada kejadian buruk yang menimpa Fiona. Mengingat betapa sedihnya Fiona ketika menangis waktu ia berikan obat untuk menggugurkan kandungannya malam itu. Rasanya dia masih tidak bisa percaya dengan dirinya sendiri yang begitu pengecut dan membuat Fiona menangis karena dia sendiri yang membuat kesedihan itu. Ratna menoleh ke arah anaknya. “Tidak ada penolakan apa pun, Damian. Mama sama Papa udah setuju kok sama perjodohan itu. Lagipula kamu kan nggak ada pasangan,” “Ma, aku mau cari seseorang terlebih dahulu. Gimana kalau kita tunda dulu?” “Siapa? Alin? Kamu masih cinta sama perempuan yang udah buat kamu jadi berantakan seperti sekarang ini? Awalnya Mama memang setuju kamu sama dia. Tai seiring berjalannya waktu, Mama nggak setuju lagi sama dia yang udah buat anak Mama berubah menjadi seperti ini,” ujar Mamanya lalu mengetuk pintu kamar Julia. “Kamu ke kamar aja sana. Mama mau ngomong sama Julia.” Kenapa perjodohan itu bisa mendadak seperti ini? Dia yang belum siap menerima perjodohan karena dia ingin mencari Fiona terlebih dahulu. Hidupnya yang memang berantakan setelah ditinggalkan oleh Alin menjadikan dia menjadi seorang pria yang sangat pengecut dan egois. Dia yang terlalu cinta kepada Alin. Bahkan rela melakukan apa pun agar perempuan itu tidak meninggalkannya. Sekarang, semua  sudah terjadi. Hidup yang harus dia tata adalah bagaimana caranya menemukan Fiona yang masih belum dia tahu kabarnya di mana. Nomornya juga sudah tidak bisa dilacak lagi. Pergi ke rumah Fiona juga akan membuatnya menyerahkan nyawanya kepada orang tua Fiona tentang dia yang sudah diketahui tidak ingin bertanggungjawab atas apa yang sudah dia lakukan itu. Sungguh, sangat miris nasib yang harus ditelan oleh Fiona. Kehidupannya yang harus bahagia dan mencari karir dari kota satu ke kota lainnya. Hancurnya Fiona juga karena perbuatan Damian yang memang sudah kurang ajar mengenai perempuan yang harusnya bisa dia tanggungjawabi. Padahal, Fiona sudah mengatakann bahwa dia hanya ingin anaknya hidup walaupun Damian tidak bertanggungjawab.  Pikiarnnya yang terlalu buruk tentang perempuan itu yang membuatnya harus menerima pahitnya kisah sekarang ini. Dia membaringkan tubuhnya di atas kasur yang berukuran king size dan menatap langit-langit kamarnya. Yang terdengar hanyalah embusan angin yang berasal dari pendingin kamarnya yang sedikit meniup tepat di telinganya. “Kamu di mana? Kenapa nomor kamu tidak bisa dilacak lagi sih?” Andai saja dia mencari ke tempat seperti kantor polisi. Pasti dia akan ditanya penyebabnya apa. Dan itu akan menjadi jauh lebih rumit lagi. Dia melepaskan kaos kakinya dan masih berpikir bagaimana nasib perempuan itu. Damian meraih ponselnya di kantong celana kanan dan membuka galery untuk melihat fotonya bersama dengan Fiona dulu ketika berlibur bersama saat dia benar-benar bosan dengan pekerjaannya. Dia juga membuka chat untuk melihat chat terakhir Fiona yang mengatakan bahwa dirinya benar-benar tidak akan membebani Damian sampai kapan pun. Waktu itu, dia menjadi seorang pria yang pemabuk lantaran Alin yang tiba-tiba saja pergi meninggalkan dia sendirian dan tidak kembali lagi.  Malah memberikan kabar bahwa dia sudah memiliki pria lain. Kabar itu yang sangat menyakitkan di indera pendengaran Damian yang membuatnya menjadi  pria yang sangat angkuh dan arogan. Awalnya, dia adalah pria yang sangat penurut. Apa pun yang diinginkan Alin harus dia berikan. Sampai dia merasakan sendiri bagaimana pengkhianatan itu membuatnya sangat menyedihkan. Apa yang harus dia lakukan untuk bisa menjadi orang yang spesial di dalam hidup Alin adalah hal yang sia-sia. Dada Damian sedikit nyeri ketika dia dipanggil pembunuh oleh Fiona dengan air mata yang bercucuran dan berusaha untuk tetap tegar. “Aku yakin kamu sengaja menghindar seperti ini agar aku nggak ganggu hidup kamu lagi, Fiona,” ucapnya pada dirinya sendiri. Dia berjalan keluar ke balkon untuk menenangkan dirinya sejenak.   Tok tok tok Dia menoleh ke arah belakang. “Damian, Papa manggil kamu,” panggil mamanya. Ini pasti akan menanyaka perihal setuju atau tidaknya Damian mengenai perjodohan itu atau bahkan disidang karena dia tidak bisa mengelak lagi mengenai dia yang sudah membawa perempuan itu ke apartemennya. Baru saja dia keluar dari kamarnya. “Papa kamu kayaknya nggak main-main perihal perjodohan ini, Nak. Kamu mau nggak mau harus siap. Dia udah marah-marah dari tadi, dia bilang kamu anak sialan dan sebagainya. Kamu juga, kenapa bikin Papa sampai marah gini sih? Kamu kalau memang udah punya pacar ya udah, kenapa juga kamu bayar jalang-jalang di luar sana. Memangnya kamu nggak takut sama penyakit?” “Mama kok ngomongnya gitu sih?” “Gimana Mama nggak ngomong gitu. Papa kamu sampai marah ke Mama. Julia juga kena getahnya, kamu nggak mikir? Gimana kalau perempuan yang udah tidur sama kamu tiba-tiba hamil tapi bukan anak kamu. Tapi mereka bilang itu anak kamu,  mau korbanin anak yang nggak bersalah? Ujung-ujungnya anak kamu terlantar,” “Mama ih jangan ngomong gitu!” Dia tiba-tiba diam ketika melihat ekspresi papanya yang sedang tidak bersahabat. “Kamu kemanakan uang lima milyar itu, Damian?” “Uang apa, Pa?” “Jangan berlagak bodoh. Kamu pikir Papa nggak tahu kalau kamu narik uang segitu banyaknya untuk orang? Kamu beli jalang?” “Nggak, Pa. Aku beli sesuatu,” “Apa? Kamu beli mobil? Kamu beliin tas untuk pacar kamu? Udah nemu pacar yang jauh lebih matre dari Alin? Udah hebat kamu? Papa kasih kamu kepercayaan biar kamu bisa tabung uang kamu untuk masa depan. Bukan untuk senang-senang,” “Tapi, pa. aku nggak seperti yang Papa pikirkan,” Braaaak Foto berserakan di atas meja yang membuat Damian menelan salivanya. Dari mana papanya mendapatkan foto yang begitu banyak tentang dirinya itu. “Di media masih banyak lagi yang sudah Papa hapus. Kamu mau bikin Papa kamu mendadak mati karena ulah kamu? Kalau begini, mau nggak mau bukan hanya perjodohan untuk tunangan. Tapi segera menikah, Damian. Papa udah nggak tahan, sejak putus sama perempuan sialan itu kamu jadi pria b******k,” “Aku bisa jelasin, Pa. dan untuk menikah, sebentar Pa. Aku mau cari seseorang,” “Seseorang? Siapa yang mau kamu cari? Korban kamu?” “Intinya aku mau cari orang, Pa. Jadi jangan paksa aku untuk nikah lagi sekarang,” “Papa kasih waktu berapa minggu? Dua minggu cukup?” Jangankan dua minggu, ini sudah dua bulan lebih dia mencari keberadaan Fiona. Tapi tidak dia temukan di mana perempuan itu, “Pa, sampai aku menemukan dia,” “Dua mnggu, mau nggak mau, siap tidak siap Damian kamu bakalan nikah,” “Papa,” dia mulai kesal dengan paksaan itu. “Kamu sadar posisi kamu sekarang? Kamu memang mandiri, semua itu kamu usahakan sendiri, tapi kamu nggak bisa injak harga diri orang tua kamu dengan cara seperti ini, Damian. Kamu juga punya adik, kamu juga punya Mama. Nggak seharusnya kamu lukai hati perempuan karena kamu pernahditinggalin sama pacar kamu. Ingat kalau kamu nggak harusnya kayak sekarang ini. Mama kamu udah cukup nerima beban dari kamu,” “Ma,” dia melirik ke arah mamanya. Tapi mamanya justru menggeleng. “Apa yang dikatakan sama papa kamu nggak bisa Mama sangkal. Jadi sekarang semua tergantung Papa kamu, Mama nggak bisa bantu kamu,” “Nah kan. Kamu dengar sendiri Mama kamu aja capek, Damian. Apalagi Papa, dengar kamu yang nggak bener itu udah nyakitin hati Papa,” Dia mengusap wajahnya dengan kasar lalu berdiri dari sofa itu kemudian pergi dari ruang keluarga karena benar-benar marah  atas apa yang menjadi keputusan orang tuanya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN