BAB 2 – PERLAKUAN KASAR

1286 Kata
Tidak lama pintu kembali terbuka, aku melihatnya masuk membawa seutas tali. Dengan cepat dia mengikat kedua tangan dan kakiku. “Apa yang kau lakukan Rafa? Ahhh, ini sakit.” Aku meringis kesakitan karena ia mengikatku dengan sangat kuat. “Aku tidak ingin kau kabur. Aku tidak akan membiarkanmu menikmati malam bersama suamimu itu.” “Mbak, tolong bereskan kekacauan yang terjadi di dalam. Sekalian nanti tolong siapkan makan malam untuk istri saya.” Aku mendengar dengan jelas apa yang Rafa sampaikan pada seseorang di balik pintu yang masih terbuka. Tutur bahasa Rafa begitu sopan. Tapi aku tidak suka dia menyebutku adalah istrinya. Seseorang masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Ia adalah seorang wanita dengan perawakan cukup tenang. Usianya aku perkirakan sekitar empat puluh tahunan. Ia tersenyum melihatku dan mulai membersihkan serpihan kaca yang aku senggol tadi. “Kak, maaf. Bolehkah aku minta tolong sesuatu?” Aku memberanikan diri menyapa wanita itu. “Mau tolong apa bu? Asal jangan minta tolong untuk melepaskan ikatan ini.” Dia berjalan kearahku. Kulihat matanya menaruh iba melihat kondisiku saat ini. “Tolong  jangan panggil aku ibu, Kak, panggil saja Nisa. Aku hanya minta tolong ambilkan kerudungku dan tolong pakaikan.” “Baiklah Nisa.” Wanita itu mengambilkan kerudung dan memakaikannya ke kepalaku. Tak lupa ia mengusap kedua pipiku dan menatapku dengan penuh hiba. Aku melihat ada tetesan bening keluar dari matanya. “Boleh Nisa tau siapa nama kakak?” “Panggil saja Mbak Rena. Nisa yang sabar ya. Sebenarnya Rafa itu sangat baik, ia begitu menyayangi Nisa. Cuma mungkin caranya sedikit salah.” Aku hanya tersenyum. “Yang penting jangan buat ia emosi. Mbak tidak tahan melihat Nisa seperti ini.” Mbak Rena membelai kedua kakiku yang terikat tali dengan sangat kuat. Aku hanya diam sebab aku tak punya kata-kata untuk menjawab pernyataan wanita yang bernama mbak Rena itu. “Mbak pamit ya, mbak akan siapkan makan untuk Nisa.” Aku hanya tersenyum melihat mbak Rena berlalu dari balik pintu. Aku begitu lelah dan mengantuk. Aku lihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku pun merebahkan badan di ranjang besar ini, dan terlelap. Aku terbangun ketika mendengar alunan suara azan dari pengeras suara masjid. Sekarang kamar ini tidak begitu gelap karena ada cahaya dari lampu tidur di atas nakas sebelah  ranjang tempatku berbaring. Aucchh ... Aku sedikit mengerang, karena pergelangan tangan dan kakiku terasa perih. Entah sejak kapan ikatan ini terlepas, tapi yang jelas aku sudah terbebas. Namun bekas ikatan yang kuat tadi meninggalkan rasa perih dan ngilu. Aku merasakan pergelangan tangan dan kaki agak lengket, sepertinya seseorang telah mengolesi obat. Aku berusaha bangkit dengan kondisi fisik cukup lemah. Aku mencoba membuka pintu, namun sia-sia, pintu ini terkunci. Aku melihat saklar lampu disebelah pintu, dan aku pun menekannya hingga membuat ruangan ini menjadi sangat terang oleh cahaya lampu kamar. Aku melihat di atas sofa sudah tersedia perlengkapan shalat. Alhamdulillah, ternyata Rafa masih menyiapkan ini untukku. Aku pun berjalan menuju kamar mandi, mengambil air wud dan menunaikan shalat subuh. Cukup lama aku menangis sembari menengadahkan tangan di atas sajadah ini. Memohon petunjuk dan perlindungan dari Allah, hingga tak terasa mataku mulai mengantuk. Aku pun akhirnya terlelap di atas sajadah ini. - - - - - POV Rafa        Entah sudah berapa kali aku memukul ranjang ini dengan tanganku. Sebenarnya aku tidak tega melihat wanita yang begitu aku cintai menangis dan menderita. Tapi rasa cemburu membuatku gelap mata. Aku tidak rela apabila Nisa dekat dengan pria mana pun, walau hanya berbicara. Apalagi kali ini aku harus melihat Nisa menghabiskan malam bersama laki-laki yang berstatus suaminya.        Aku panas dan terbakar amarah. Aku lebih baik melihat Annisa mati dari pada harus melihatnya hidup bersama laki-laki lain. Tidak peduli Nisa adalah ibu dari Amanda, putri semata wayang kami. Semenjak awal perkenalan kami waktu SMA dulu, aku sudah menggilai Annisa. Aku benar-benar jatuh cinta sedalam-dalamnya kepada gadis itu. Hingga kuliah, aku pun memutuskan untuk kuliah di Fakultas yang sama dengannya. Tujuannya hanya satu, ingin selalu mengawasinya. Aku tidak benar-benar ingin kuliah. Bahkan tugas-tugas kuliah semua kuserahkan pada temanku, kusuruh ia yang mengerjakan. Aku bahkan pernah menghajar salah seorang teman lelaki Nisa karena kedapatan membantu Annisa menyelesaikan tugas kuliahnya. Pernah juga aku mengajak teman-temanku mengancam dan memberikan satu pukulan kepada teman Nisa yang lainnya karena sudah menyapa Annisa ketika berjalan di depan kami, dan itu aku lakukan di dalam ruang kelas jurusan mereka. Semenjak saat itu, tidak ada lagi lelaki yang mau berteman bahkan menyapa Annisa. Karena aku cukup populer di fakultas ini, dan memiliki banyak teman-teman yang setiap saat mengawasi pergerakan Nisa. Aku tahu, dari dulu aku bersikap kejam kepadanya. Tapi semua itu aku lakukan karena aku begitu mencintainya. Cinta yang dalam membuatku gila. Aku takut kehilangannya. Aku takut Nisa terpikat kepada pria lain. Sore tadi aku menculik Annisa sesaat setelah dia keluar dari parkiran motor tempatnya bekerja. Annisa kubius hingga ia tak sadarkan diri. Aku melakukannya sendiri, sementara anak buahku mengawasi sekitar. Aku tidak ingin siapa pun menyentuh tubuh Annnisa. Hanya aku yang boleh menyentuhnya, memeganginya dan memilikinya. Tok ... Tok ... Tok ... “Maaf Rafa, bolehkah mbak masuk?” Seseorang yang aku tau adalah mbak Rena memecah lamunku. “Ya Mbak, silahkan.” Mbak Rena adalah asisten rumah tangga di rumah ini. Namun aku sudah menganggapnya adalah kakak sendiri. Mbak Rena pun masuk ke ruangan ini dan duduk di atas ranjang. Ia duduk tepat di sebelahku. “Maaf Rafa, mbak tidak bermaksud ikut campur. Tapi mbak kasihan melihat Annisa. Dia sangat terluka dan pasti kesakitan. Barusan mbak lihat sepertinya Nisa sudah tertidur.” Aku menyeka wajahku dengan kedua telapak tanganku. Apa yang dirasakan mbak Rena, aku pun juga merasakannya. Namun, kecemburuan yang berlebihan, membuaku menjadi gelap mata. “Maafkan Rafa Mbak, Rafa tidak berniat menyakiti Nisa. Justru Rafa begitu mencintainya. Mbak tau betapa besarnya rasa cinta Rafa kepada Nisa. Tapi Rafa tidak mampu menahan emosi setiap bayangan Annisa sedang b******u dengan suaminya memenuhi isi kepala Rafa.” Tak sadar ada tetesan bening keluar dari netraku. “Mbak’kan sudah beberapa kali bilang ke Rafa, mencintai itu tidak harus memiliki. Apalagi harus membuat orang yang kita cintai tersiksa, itu salah Rafa.” Mbak Rena mengenggam pergelangan tangan kiriku. Cara bicaranya sangat lembut dan menenangkan. “Maaf mbak, istilah itu tidak berlaku untuk Rafa. Bagaimana pun Rafa harus memiliki Nisa kembali. Apa pun akan Rafa lakukan untuk memilikinya kembali. Setelah itu Rafa akan menebus semua kesalahan Rafa. Rafa bersumpah akan membahagiakan Annisa, Mbak.” Aku tidak mampu lagi menahan derasnya air mata ini. “Mbak sudah siapkan makanan untuk Rafa dan Annisa.” Mbak Rena mengusap kepalaku dengan lembut dan kemudian meninggalkanku sendiri di kamar ini. Aku bergegas menuju kamar tempat Annisa kusekap. Kamar itu terletak di sebelah kamarku. Aku melihat wanitaku sudah terlelap. Aku tahu, dia pasti sangat kesakitan dan menderita. Aku tak kuasa menahan air mataku. Kembali kukunci pintu dari dalam, takut tiba-tiba nanti Annisa terbangun dan melarikan diri. Perlahan aku lepaskan ikatan di kaki dan tangannya. Aku meluruskan posisi tidurnya. Aku lakukan dengan sangat pelan dan hati-hati, jangan sampai kehadiranku menganggu istirahatnya. Dia sekarang tampak kurus, sungguh berbeda dari Annisa yang kutinggalkan dua tahun yang lalu. Kuperkirakan kini beratnya hanya empat puluhan kilogram. Dua tahun yang lalu beratnya masih enam puluh kilogram, terlihat montok dan berisi. Aku tersenyum membayangkan wanitaku dulu. Nanti akan kubuat dia montok lagi. Aku mengusap lembut kepalanya yang sudah ditutupi kerudung. Mungkin mbak Rena yang sudah membantu Nisa mengenakan lagi kerudungnya. Aku memegangi pergelangan tangan Nisa, tampak memar dan luka. Pasti ini sakit sekali, pikirku. Aku segera keluar kamar, mengambil obat memar dan mengolesinya ke pergelangan tangan dan kaki Nisa. Setelah itu aku meninggalkannya sendirian. Menghidupkan lampu tidur dan mematikan lampu utama. “Selamat Tidur, Sayang ...,” bisikku pelan ke telinga Annisa seraya mengecup lembut keningnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN