Kareem dan Maria masih asyik mengobrol. Mereka memulai ta'aruf untuk saling kenal satu sama lain.
Maria melirik bunga-bunga yang bergerak dengan sendirinya. Ia terfokus pada bunga-bunga itu, hingga Kareem heran melihat wajahnya yang berubah.
"Ada apa, Maria?" tanya Kareem.
"Coba lihat itu."-Maria menunjuk bunga-bunga yang bergerak-"sepertinya ada sesuatu di sana."
Maria bergerak ke arah bunga itu. Sedangkan Kareem mengikutinya dari belakang.
Maria menyibak bunga itu, membuat jeritan seseorang terdengar.
"Aaaa!"
"Zara! Ziddan!" Maria terkejut melihat kedua adiknya di balik bunga-bunga itu. "Apa yang kalian lakukan di sini?"
Zara dan Ziddan cengengesan.
"Mengintip kakak," ucap Zara.
"Kakak kan lagi pacaran," sahut Ziddan.
"Astaghfirullah. Kamu ini masih kecil tapi suka ngintip orang. Lagi pula kakak ini nggak pacaran. Dalam Islam itu, pacaran nggak baik."
Kareem terkekeh melihat kekonyolan adik-adik Maria. "Adiknya ya? Lucu-lucu hehe."
"Mereka bukan lucu, tapi jahil," jawab Maria.
Setelah berta'aruf, Maria dan Kareem kembali ke ruang tamu. Semua orang tengah menunggu kabar tentang mereka.
"Bagaimana, Nak? Apa kalian sudah saling cocok?" tanya Ibrahim.
"Iya, Om. Tapi, semua terserah Maria," ucap Kareem.
"Jadi, Maria. Gimana? Mau ga dipersunting Kareem? Tampan loh, jarang-jarang orang tampan lamar kamu," canda Ibrahim.
Maria melirik ke arah Umi dan Abinya sebelum menjawab. Imam Zubair dan Umi Fatimah tersenyum ke arahnya.
"Insyaallah, Aku terima," seru Maria.
"Alhamdulillah," sahut Kareem yang terlihat sangat senang.
"Yeyy!! Kak Maria mau nikah!" Zara dan Ziddan berseru ria.
Semua orang terlihat bahagia.
***
Malam menyongsong. Menyapa kesunyian dalam ilusi. Akhir-akhir ini awan hitam selalu menutupi rembulan. Bahkan kerap terjadi hujan disertai petir. Maklum, ini adalah musim hujan. Jadi cuaca sering berubah-ubah.
Safira telah berpikir keras untuk menyingkirkan Karina dari rumah, namun semua itu sia-sia. Justru dia yang mendapat kejutan dan teror mengerikan.
"Sampai kapan kita akan merawat mayat hidup itu, Bang?" Safira mengomel pada Azam.
"Kamu ini kenapa sih. Selalu ingin marah sama Karin, salah dia apa? Lagi pula aku yang merawatnya, bukan kamu. Kamu tinggal menikmati hidup, kenapa masih tidak tenang?" Azam heran sama sikap istrinya.
"Aku sih nggak peduli kalau dia mau terus-terusan hidup. Aku hanya capek selalu diteror, Bang. Semua ini pasti gara-gara Karin. Semua setan jadi bersarang di rumah kita."
"Sudah ... Sudah. Abang mau keluar sebentar. Kau kalau mau tidur, tidur saja dulu. Nggak perlu nunggu Abang, mungkin Abang pulang larut," kata Azam.
"Mau ke mana, Bang?" tanya Safira.
"Aku ada urusan bentar."
"Jangan bilang kau mau ke rumah wanita hamil itu."
"Memangnya kenapa?"
"Renatha itu istri Farhan. Dan sekarang mereka sudah mau punya anak. Abang masih mau merusak hubungan mereka?"
"Astaghfirullah, Safira. Kenapa kau selalu suudzon sama suamimu sendiri? Abang hanya ingin melihat keadaan Renatha. Farhan sendiri yang mengundangku," jelas Azam.
"Bohong! Abang pikir aku tak tahu pasal hubungan lama Abang dengan Renatha? Kalian dulu mantan kekasih 'kan?" kata Safira.
"Itu hanya masa lalu, Safira. Sekarang istri Abang hanya Karina dan dirimu. Sudah-sudah, aku pergi dulu. Assalamualaikum." Azam langsung keluar rumah setelah berdebat dengan Safira.
Safira memanggil Azam. Tapi sepertinya Azam tak menggubrisnya. Sebenarnya Safira takut di rumah sendirian. Apalagi setelah kejadian kemarin malam. Benar-benar di luar nalar. Dia selalu merinding ketika melewati kamar Karina. Bahkan ia tak sudi lagi untuk menjenguknya.
***
Tiba di rumah Renatha, Azam disambut oleh Farhan. Mereka berdua menuju ke kamar Renatha.
"Sayang, ustadz Azam datang untuk menjenguk," ucap Farhan pada Renatha.
Renatha tersenyum melihat Azam, dan mengucap salam. "Assalamualaikum, ustadz."
"Wa'alaikum salam. Bagaimana keadaanmu, Renatha? Farhan bilang kau sering merasakan sakit ketika disuruh ibadah," tanya Azam.
"Iya ustadz. Aku tidak tahu kenapa. Aku ...."
Renatha tak jadi melanjutkan kata-katanya. Ia mulai merasakan mulas yang begitu sakit dalam perutnya.
"Ustadz, perutku mulai sakit ... Ustadz. Tolong aku..."
Farhan ikut panik. Ia mengusap perut istrinya. Ia terkesiap. Ia tak merasakan kehidupan dalam perut istrinya. "Ustadz, apa yang terjadi pada kandungan, Renatha?"
Azam memandangi seisi ruangan. Ia melihat sebuah Al-Qur'an di atas meja. "Farhan, untuk sementara jangan taruh Al-quran di kamar ini," perintah Azam.
Farhan heran dengan perkataan Azam. Tapi melihat istrinya yang kesakitan, tidak ada hal lain selain menuruti perintah Azam. Ia segera memindahkan Al-Qur'an itu di ruang tengah. Lalu ia masuk ke dalam kamar lagi.
Azam mengelus perut Renatha sembari melafalkan sesuatu. Hal yang mengejutkan terjadi. Azam merasakan bayi dalam kandungan Renatha itu menendang.
"Bayi kalian baik-baik saja," seru Azam pada Farhan dan Renatha. "Farhan, untuk sementara waktu jangan dekat hal-hal yang berbau agama di dekat Renatha. Bukannya aku melanggar perintah agama, tapi ini demi kebaikan kandungan Renatha. Kau sendiri yang bilang Renatha selalu sakit kalau disuruh ibadah. Kita akan tanya Abah gimana baiknya nanti," jelas Azam.
"Baik, Ustadz." Farhan hanya bisa menuruti perintah Azam. "Ustadz, aku berpikir ... Bagaimana jika Renatha sedang diguna-guna? Aku takut kalau bangsa setan dan jin mengincar bayi kami." Farhan terlihat khawatir.
"Doakan saja yang terbaik untuk bayi dan juga ibunya. Semoga Allah selalu melindungi Renatha dan bayinya."
"Aaminn."
Ponsel Farhan tiba-tiba berbunyi. Farhan mengangkatnya, itu dari ibunya. Dilihatnya raut muka Farhan, kelihatannya ada masalah serius saat dia menerima panggilan itu.
Sesudah berbicara di telepon, Farhan berbicara pada Azam. "Ustadz, maaf. Bolehkan aku meminta tolong?"
"Insyaallah semasa aku masih bisa. Ada apa memang?" tanya Azam yang keheranan melihat wajah Farhan yang menjadi khawatir.
"Begini ustadz, ayahku lagi sakit. Aku harus segera ke sana, untuk mengecek keadaannya. Katanya harus di bawa ke dokter. Dan nggak mungkin ibuku sendirian ke dokter. Aku mau minta tolong, kalau ustadz berkenan tolong jaga Renatha. Mungkin aku akan balik larut, atau besok subuh."
"Kau tidak perlu khawatir, Farhan. Kau pergilah, kasihan ibumu dan ayahmu. Renatha akan aman, insyaallah," ucap Azam.
"Iya, Mas. Aku tidak apa-apa. Kamu jenguk ayah mertua, kasihan. Berbakti kepada orang tua adalah nomor satu, baru istrinya. Lagi pula, Ustadz Azam ada di sini," kata Renatha.
"Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu sebelum hujan."
Farhan segera pergi menuju ke rumah orang tuanya. Rumahnya ada di kampung sebelah. Mungkin menghabiskan waktu 30 menit untuk sampai ke sana. Apalagi Farhan bawa mobil, dan itu akan lebih cepat.
Malam menjadi gelap. Sepertinya akan turun hujan. Gerimis juga mulai berjatuhan, ditambah nyiur angin yang melambai. Semua terlihat gulita, menciptakan suasana mencekam.
To be continued ...