Ini Mustahil

1210 Kata
Azam hendak mengecek ke atas, namun Safira terus menahannya. "Kau ini kenapa? Aku hanya ingin tahu apakah itu pocong atau hanya Karin saja," kata Azam. "Jangan, Bang! Nanti kalau pocong itu melukai Bang Azam, gimana?" Safira mencoba sebisa mungkin untuk mencegah Azam agar tak naik ke atas. Ia tak mau kalau Azam mengetahui jika Karina tidak ada di kamarnya, melainkan di kuburan. "Sesungguhnya hanya Allah yang selalu memberikan perlindungan." "Aku tidak peduli dengan ceramah Abang. Pokoknya Bang Azam tidak boleh ke atas!" cegah Safira. Azam tidak peduli. Ia tak menggubris kata-kata istrinya, dan langsung bergerak ke kamar atas. Safira mengikutinya dari belakang, dengan wajah ketakutan sekaligus kepanikan. Azam hendak membuka kamar Karina, tapi buru-buru Safira menghentikannya. "Kita lihat ke kamar kita saja, Bang. Pocongnya kan ada di kamar kita." Azam menuruti perintah Safira. Ia membuka kamarnya. Tak ada keanehan apa pun. Semuanya terlihat baik-baik saja. Tidak ada pocong, ataupun makhluk halus lainnya. "Mana pocongnya? Tidak ada apa pun di sini," kata Azam. "Mungkin dia sudah pergi, Bang." Tieng... Terdengar bunyi benda jatuh dari kamar Karina. Hal itu membuat hati Safira terkejut. Apakah mungkin pocong itu ada di kamar Karina? Kalau Azam mengecek ke sana, maka ia akan tahu kalau istri pertamanya hilang. Dan rahasia Safira akan terbongkar. Celaka! "Itu mungkin tikus, Bang. Kita tidur saja, kasihan kan Kak Karin lagi tidur. Kita tak seharusnya menggangunya," ucap Safira. "Sejak kapan kau peduli dengan Karin?" heran Azam. Azam keluar kamar dan menuju ke kamar Karina. Ia membuka pintu kamar. Seperti biasa kamarnya sangat gelap bagai dalam goa. Azam masuk ke dalam. Safira hanya mematung di depan kamar. Ia memejamkan matanya sembari memasang wajah kekhawatiran. Jantungnya berdegup kencang. Semua rahasianya akan terbongkar sebentar lagi. "Karin, kau tidak apa-apa?" Mendengar perkataan Azam, membuat Safira tersentak. Ia melotot seketika, membalikkan badannya dan ikut masuk ke dalam kamar Karina. Betapa terkejutnya Safira, ia menggelengkan kepalanya seraya melangkah kaki mundur. Bagaimana tidak, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Karina masih terbaring di atas kasur. Seolah tidak terjadi apa-apa padanya. Mustahil. Ia sudah membunuhnya tadi, dan menguburnya dalam kuburan. Jika Karina masih di atas ranjang, lalu siapa yang ia bunuh tadi? Itu tidak mungkin halusinasinya. Apakah Karina memang punya kekuatan ghaib? Itu bisa saja, buktinya ia tidak mati-mati bahkan di saat keadaannya yang seperti itu. Safira mendekat ke arah Azam dan memeluk tangannya. Matanya ia arahkan pada wajah Karina. Tatapan setajam pisau Karina lemparkan pada Safira. "Bang, sudah ayo kita tidur. Karin baik-baik saja kan, sekarang kita pergi tidur saja." Safira menggeret tubuh Azam untuk keluar kamar. Ia merinding melihat tatapan Karina yang seperti menyimpan dendam padanya. Mayat hidup itu berhasil membuat Safira ketakutan. Azam tertidur di kamarnya, sedangkan Safira hanya memeluk suaminya dan memikirkan semua kejadian yang di luar nalar. *** Allahuakbar ... Allahuakbar ... Adzan subuh berkumandang. Pagi menyongsong. Semua orang melaksanakan sholat subuh. Setelah sholat, mereka mendengarkan ceramah agama Imam Zubair. "Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. ( QS. An-nisa' 120)" "Janganlah kalian menjadi b***k-b***k para setan, yang akan menyesatkan kita semua dari jalan lurus, dan membawa kita menuju jalan sesat," kata Imam Zubair. "Maaf Abah, bagaimana setan bisa menjadikan kita sebagai budaknya, sedangkan kita semua rajin sembahyang dan mengaji?" tanya Farhan. "Pertama setan akan menguasai nafsu kita. Menyuruh kita untuk melakukan hal-hal buruk. Setelah menguasainya, dia akan menjadikan kita sebagai budaknya. Kita akan menjadi temannya di neraka nanti. Tidak peduli orang itu rajin ibadah, karena jika hati masih kotor akan nafsu setan, orang-orang seperti itu yang namanya munafik. Mengaku Islam, tapi tak pernah berteguh hati dalam menjalankan ibadah kepada Allah." Semua orang serius mendengarkan ceramah Imam Zubair. Pembawaannya yang damai, membuat orang semakin suka dan menghormati Imam Zubair. "Semoga kita dijauhkan dari perbuatan syirik, fasik, dan munafik. Senantiasa Allah menyertai kita para fakir ilmu. Aamiin." Imam Zubair menutup ceramahnya. Seseorang memasuki masjid, dan berbicara pada Imam Zubair. "Assalamualaikum. Abah, maaf mengganggu, jika Abah sudah selesai ceramah, Umi menyuruh Abah untuk segera pulang. Katanya, ada tamu dari luar kota." Ustadz Azam yang mendengarnya, bertanya pada Imam Zubair. "Apakah Anda punya tamu spesial, Abah?" "Apa itu orang yang akan melamar Maria, Abah?" Farhan ikut bertanya. Imam Zubair tersenyum pada mereka sebelum menjawabnya. "Insyaallah. Doakan saja yang terbaik." Imam Zubair pamit undur diri setelah mengucap salam, dan semua orang mencium tangan beliau. Farhan memandangi kepergian Imam Zubair dengan senyuman. "Subhanallah. Semoga Allah selalu memberikan umur panjang pada Abah." "Ada apa Farhan?" tanya Azam, keheranan melihat wajah Farhan yang terpampang kekhawatiran. "Aku tidak tahu ustadz. Entah kenapa aku merasa kalau Abah akan jauh dengan kita." "Maksudnya, beliau akan dijemput Allah? Astaghfirullah, Farhan. Jangan berpikiran buruk. Tidak ada yang tahu umur, hanya Allah yang Maha mengetahui." "Maaf ustadz. Ini hanya perasaanku saja. Aku berdoa agar perasaan ini tidak berarti apa-apa." "Lupakan. Bagaimana keadaan Renatha? Aku tidak pernah melihat dia keluar kamar. Apa kandungannya baik-baik saja?" tanya Azam. "Alhamdulillah baik ustadz. Tapi ... Ada yang aneh." "Aneh kenapa, Farhan?" "Renatha sering merasakan sakit ketika aku ajak mendirikan sholat. Alhasil dia tidak pernah sholat sejak beberapa hari ini. Dan kemarin, saat aku mengantar dia periksa ke dokter, ada kejadian janggal, Ustadz." "Janggal bagaimana?" Azam keheranan. Farhan gemetar sebelum mengatakannya. "Saat kita akan melihat bayinya lewat USG, bayinya tidak terlihat. Kata dokter, perut Renatha kosong. Tidak ada bayinya," jelas Farhan. "Astaghfirullah." Azam menarik napas berat, dan menepuk bahu Farhan. "Begini saja, nanti malam aku ke rumahmu. Aku lihat keadaan Renatha," ucap Azam. "Baik, Ustadz. Kalau begitu, aku pamit undur diri dulu. Assalamualaikum." Farhan pergi setelah pamit. "Wa'alaikum salam." *** Di rumah Imam Zubair. Mereka kedatangan tamu. Ibrahim terlihat sedang duduk bersama seorang pemuda tampan. Pemuda itu yang akan melamar Maria. "Assalamualaikum." Imam Zubair mengucap salam, lalu memasuki rumah. "Wa'alaikum salam. Kakak, dia yang aku ceritakan kemarin." Ibrahim memperkenalkan pemuda itu pada keluarga kakaknya. "Kak Fatimah, tolong panggilkan Maria." Ibrahim berbisik pada Fatimah. Fatimah memanggil Maria untuk ikut andil di ruang keluarga, karena ini adalah acara lamarannya. Maria terlihat sangat cantik dengan setelan gamis, dan hijab merah muda. Kecantikannya begitu alami. Senyumnya yang manis mampu memikat siapa pun yang melihatnya, termasuk pemuda dari luar kota itu. "Nak, ini Kareem. Dia telah selesai kuliah S1 di Turki, dan S2 di Arab. Kalian berta'aruf lah dulu. Kalau cocok satu sama lain, nanti kami akan mempersiapkan lebih lanjut lagi," seru Ibrahim pada keponakannya. Kareem berdiri dan meminta izin pada Imam Zubair. "Abah, bolehkah aku ngobrol bersama Maria?" "Silakan. Tapi ingat jaga pandangan. Kalian masih dalam ta'aruf. Haram untuk saling menyentuh," pesan Imam Zubair sembari tersenyum. Kareem mengajak Maria keluar rumah. Mereka berdua mengobrol di taman halaman rumah. Udara yang sejuk membuat keduanya betah. "Kalau kau tidak suka padaku, kau bisa menolaknya. Aku tidak ingin kau menikah dengan tekanan, apalagi paksaan orang lain," ucap Kareem pada Maria. "Kau sendiri? Apa kau juga dalam tekanan?" tanya Maria. Kareem tersenyum. Pemuda tampan itu memiliki lesung pipi yang manis saat tersenyum. Bahkan tampilannya seperti orang-orang timur tengah. "Kalau boleh jujur, aku mulai menyukaimu, Maria. Kau sangat cantik dan baik. Tapi aku tidak ingin memaksamu untuk menerima pernikahan ini. Semua akan terjadi atas kehendak Allah, dan tentu dengan persetujuanmu," seru Kareem. "MasyaAllah. Pemuda ini sopan sekali," gumam Maria dalam hati. To be continued...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN