I’ve cried out all my tears
I pushed my feelings to the side
But then you bring them back
—Round and Round, Selena Gomez—
Kami pindah ke luar kota, bagus menurutku. Setidaknya kemungkinan bertemu Oliver atau orang tuanya hanya ada 10%. 10% itu adalah kekhawatiranku kalau-kalau mereka suatu hari pergi ke kota ini.
Mama sudah mendapatkan sekolah yang baginya bagus untukku. Namun anehnya, di sekolah itu tidak ada penjurusan IPA atau pun IPS seperti sekolah-sekolah lain. Saat aku ikut wawancara dengan Mama, mereka memintaku untuk menjawab serangkaian tes. Di antaranya tes potensi akademik, tes mata pelajaran—dan dari seratus lima puluh soal tersebut, materinya adalah materi dari seluruh mata pelajaran! Bukan hanya mata pelajaran eksak saja, dan yang terakhir adalah tes bakat dan potensi.
Aku tak pintar dalam akademik, di bidang non-akademik pun aku tidak tahu bakat dan potensiku. Payah memang.
Di dalam tes ini, aku tidak melaksanakan tes tertulis. Aku hanya diwawancara oleh seorang wanita yang mungkin umurnya sekitar tiga puluh lima tahun. Dia ramah, bukan ramah yang dibuat-buat. Dia hanya menanyaiku tentang apa yang biasa kulakukan di rumah, di sekolah lamaku, hobiku.
Setelah itu, aku keluar ruangan tersebut lalu menghampiri Mama yang sudah menunggu di kursi lorong. Banyak anak dan orang tua yang juga mengantri untuk mengikuti tes. Dilihat dari antusiasme para pendaftar, sepertinya sekolah ini memang cukup favorit.
“Mama akan kembali ke hotel, masih ada meeting. Pulang sendiri bisa kan?” tanya Mama saat kami berjalan keluar. Mobil Mama terparkir di area parkir selatan. Ya, sesibuk apa pun Mama, untuk hal seperti ini Mama masih mau mengantarku.
“Aku pulang sendiri, sudah hapal jalan kok,” jawabku. Aku sudah hapal jalan ke rumah baruku. Jaraknya hanya beberapa ratus meter dari sini.
“Ya sudah, hati-hati ya.” ujarnya. Aku mengangguk dan mencium tangannya. Mama tersenyum lalu berjalan sendiri ke area parkir, aku melanjutkan berjalan keluar dari kampus sekolah ini.
Lumayan juga sekolahnya, batinku.
Sekolah ini mempunyai empat gedung dan tiga lapangan. Jalan sedikit dari gerbang sekolah, ada pangkalan ojek yang kata guru-guru sekolah ini sudah jadi langganan setia anak-anak sekolah yang tak membawa kendaraan. Aku memanggil salah satu ojek dan menaikinya. Untuk kali ini saja aku ingin mencoba menaiki ojek dari sekolah ini.
Setelah memberitahu alamatku, ojek itu segera berjalan. Dari kejauhan, aku masih bisa memandang papan nama sekolah itu yang cukup besar.
Vire International High School.
***
Hari pertama sekolah.
Saat aku bangun pagi ini, kalimat itulah yang teringat di kepalaku pertama kali. Akan seperti apa masa SMA-ku di sini?
Apa aku akan bernasib sama seperti kemarin-kemarin ya?
Dinilai dari fisik?
“Sheina Alinagita Haryaja, kalau kamu nggak bangun-bangun juga. Mama akan dobrak pintunya,” seru Mama dari luar kamarku.
Aku menggelengkan kepala, ancaman Mama ada-ada saja.
“Iya, aku udah bangun,” jawabku sambil beranjak dari ranjangku.
Aku beranjak menuju lemari pakaianku, di sana sudah tergantung rapi seragam sekolah baruku yang kemarin sudah Mama ambil dari sekolahku.
Aku suka seragamnya.
Kemeja putih dengan pasangannya, dasi bermotif kotak-kotak berwarna biru tua, persis seperti dengan roknya. Dan pasangan serasi kemeja itu adalah cardigan berwarna biru tua.
Semoga ini pertanda bahwa aku akan suka juga sekolah itu.
***
Upacara hari pertama masuk sekolah tidak dilaksanakan di lapangan terbuka seperti pada umumnya. Ya, kami mengadakan upacara tersebut di sebuah aula yang sanggup menampung sekitar… err, berapa orang ini ya? Aku tidak tahu, karena aku lebih memikirkan kepalaku yang mulai pusing.
Aku memang tidak bisa dan tidak nyaman berada di dalam lautan manusia sebanyak ini. Tapi ini masih lebih baik, setidaknya murid-murid seangkatanku mungkin hanya separuh dari teman-teman seangkatanku di SMA yang dulu.
Ingat hal itu, otomatis otakku mensinkronkannya dengan Oliver. Apa hari ini dia memakai dasinya dengan—lagi-lagi—tidak rapi seperti biasanya? Kalau dasi Oliver sering berantakan—karena ia selalu grasak-grusuk setiap kali bermain dengan temannya sebelum jam pertama dimulai—aku selalu merapikan kembali dasinya. Dan setelah itu ia berterimakasih dengan tersenyum dan mengelus-elus ramnutku.
Ah, Sheina, di tempat yang sudah jauh darinya kau masih bisa saja memikirkan dia, gerutuku dalam hati. Aku duduk dengan tenang tanpa memerhatikan ke arah panggung di depan. Upacara belum dimulai, karena masih sepuluh menit lagi menjelang acara ini dimulai. Panggung pun masih kosong.
Aku duduk sesuai dengan kursi yang ditunjukkan di surat lampiran yang disampaikan dengan seragam-seragamku kemarin. Ternyata di kursi masing-masing sudah ada nama dari siapa yang akan duduk di kursi tersebut. Karena aku kelas dua, maka barisan kursiku berada di tengah. Sedangkan kelas tiga berada di depan dan kelas satu—which is, mereka yang baru masuk sebagai murid SMA—berada di belakang.
Aku suka dengan aula ini. Interiornya mewah namun tidak menunjukkan kesan norak dariku. Warna cat dindingnya yang putih dihiasi dengan gypsum berbentuk relief bunga yang sangat detail dan indah. Jendela yang besar dan tinggi mendominasi aula ini, sehingga penerangan dari luar dapat masuk ke dalam dan tidak perlu menggunakan lampu lagi sebagai sumber penerangan.
Ruangan ini seperti sudah dihuni oleh banyak lebah ber-cardigan biru karena banyaknya pembicaraan yang mendengung dari berbagai sudut. Aku baru sadar kalau kursi di kedua sisiku sudah berpenghuni. Di sebelah kananku ada seorang gadis dengan rambut lurus panjang dan poninya menutupi matanya karena ia sedang menunduk membaca. Kulitnya yang berwarna putih s**u sangat serasi dengan wajah tirus serta bibir mungilnya yang berwarna peach dari lipgloss yang ia pakai.
Sadar karena diperhatikan olehku, ia menoleh dari novel teenlit yang dibacanya ke arahku. Aku sempat merasa tidak enak karena telah mengganggu dan membuatnya risih namun perasaan itu hilang ketika ia tersenyum kepadaku.
“Hei, nama lo siapa? Anak baru ya?” tanyanya dengan antusias sambil mengulurkan tangannya kepadaku.
Aku membalas uluran tangannya, “Hai, iya, gue anak baru di sini. Gue Sheina,” balasku ramah.
Ia tersenyum kembali, aku baru sadar ia punya lesung pipi di sudut kanan bibirnya, “Gue Anne, kayaknya kita akan sekelas nanti,”
Aku baru akan menanyakan hal lain tentang sekolah ini ketika suara berdeham dari pengeras suara terdengar dan langsung membuat murid-murid yang ada aula langsung diam dengan tenang dan menatap panggung utama.
Aku dan Anne juga langsung menatap ke panggung utama. Di sana berdiri seorang wanita yang menurutku umurnya sekitar lima puluh tahunan, namun ia masih tetap awet muda dan cantik. Aura intelektual yang sangat kuat terpancar darinya. Tatapan mata yang ia edarkan dari balik kacamata dengan model half-frame itu menatap murid-muridnya dengan berwibawa, dan senyumnya hangat.
Namanya adalah Bu Anggunia. Ia adalah kepala sekolah baruku. Aku tahu mengenai itu saat Anne membisikkannya kepadaku lima menit yang lalu, saat murid-murid VIHS bertepuk tangan ketika sambutannya selesai. Kata-katanya sangat bijak dan ia menyambut hangat atas kembalinya murid-murid dari liburan kenaikan kelas kemarin.
Setelah itu, kami diminta keluar dari aula untuk segera ke kelas dengan tertib. Yang pertama dipanggil untuk keluar dari aula ini, adalah mereka murid-murid kelas tiga. Mereka dipanggil per kelas dan ketika nama kelas dipanggil, mereka akan langsung berdiri dan berjalan dengan tertib.
Namun ada yang aneh atau ada yang aku tidak ketahui.
“Kelas Tiga A, silahkan keluar terlebih dahulu.”
Aku menoleh kepada Anne, “Di sini kenapa nggak ada penjurusan IPA dan IPS seperti di sekolah lainnya ya?”
Anne pun menjelaskan, “Di sini, nggak ada penjurusan. Semua anak di sini belajar pelajaran IPA dan IPS sekaligus. Namun, kelas A adalah kelas spesial atau bisa dibilang kelas khusus. Dimana murid yang masuk ke kelas itu berhasil masuk karena ada potensi akan bakat dan minat terhadap bidang akademik maupun non akademik yang cukup menonjol dan dapat diasah dengan cepat dan tepat.
“Jadi, ini benar-benar kelas spesial,” ungkapnya dengan senyum lebar.
Ada ya sekolah seperti ini? Mereka mau menggali lebih dalam potensi dan bakat yang dimiliki muridnya, bukan mementingkan nilai yang mungkin belum tentu murni. Banyak kecurangan yang biasa orang-orang lakukan agar nilai mereka bagus.
Yang penting hasil, bukan proses, begitu menurut mereka.
“Jadi, gue masuk kelas apa?” tanyaku polos. Benar deh, aku belum tahu aku masuk ke kelas apa.
“Lo tadi ke administration office kan?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Coba lo lihat kertas yang diberikan oleh Bu Nita. Di situ pasti tertera lo akan berada di kelas mana.”
Aku menepuk keningku, sedangkan Anne hanya tertawa melihatnya. Bodohnya aku, tadi aku hanya mengambilnya lalu memasukkannya ke dalam tote bag-ku tanpa k****a sedikit pun.
Hah? Kelas dua A?
Mulutku pasti sudah menganga dengan lebar.
Aku tak percaya dengan yang tertulis di kertas ini. Kelas A kan kelas yang spesial, yang setiap muridnya memiliki potensi dan bakat yang menurut sekolah ini begitu gemilang. Aku punya potensi apa?
Aku saja tidak tahu.
“Pasti mereka salah tulis,” gumamku masih dengan ekspresi tidak percaya.
Anne menepuk bahuku, “Nggak, kok. Hei, ayo kita ke kelas. Kelas kita udah dipanggil,” ajaknya sambil menggandeng tanganku lalu kami berjalan beriringan dengan murid-murid yang tadi duduk di sekitar kursi kami.
Sepertinya penataan kursi juga diatur menurut kelasnya.
Wow, aku masih belum bisa membayangkan bagaimana masa SMA-ku di sini.
***