Kubuka lembar baruku
Kumulai dengan langkah pertama
—Langkahku, Zahra Damariva—
Ternyata masih ada lima belas menit waktu istirahat sebelum jam pertama dimulai. Anne terus menggandengku ke kelas, sepertinya dia tidak keberatan dengan kehadiranku. Saat rombongan kelas kami berjalan beriringan melewati koridor gedung satu, Anne memperkenalkan aku kepada dua puluh tiga anak lainnya yang akan menjadi teman sekelasku.
“Hei, teman-teman, kenalin dong, kita punya teman baru nih,”
Semuanya langsung menyapaku ramah. Aku langsung merespon dengan sama ramahnya. Tadinya aku takut aku akan menjadi seorang yang lonely di sini. Tapi ternyata tidak seburuk yang kubayangkan.
“Nama lo siapa? Gue Nerra,” tanya salah seorang gadis yang berjalan dekat denganku dan Anne. Wajahnya sangat kental akan paras eksotis latin. Kulitnya berwarna cokelat hasil dari tanning, aku tahu itu karena warna kulitnya tak sejelek kulitku.
Ugh, kenapa aku jadi mengeluhkan diriku sendiri?
“Gue Sheina,” jawabku sambil tersenyum. Setelah itu, acara berkenalan pun dilakukan kami sambil berjalan menuju gedung dua.
Gedung satu adalah gedung yang digunakan sebagai administration office, teacher’s room, principal room, dan aula. Gedung dua adalah untuk kelas satu—tempat aku mengikuti tes masuk saat itu, gedung tiga adalah untuk kelas dua, dan gedung empat adalah untuk kelas tiga.
Di masing-masing gedung terdapat dua laboratorium komputer, laboratorium bahasa dan laboratorium praktek kimia, fisika, dan biologi. Empat gedung ini berjejer dan dipisah dengan tiga lapangan yang dikelilingi taman dan kantin di sisi kanan dan kiri lapangan tersebut. Sedangkan area parkirnya, ada berada di samping taman.
Di sini terdapat empat kantin, tentu saja masing-masing terdapat di satu gedung. Namun yang paling sering dikunjungi adalah kantin gedung tiga. Karena pepohonannya lebih rimbun dan sangat asyik untuk menjadi tempat nongkrong.
Karena masih ada waktu isirahat, mereka semua kompak untuk memutuskan makan bareng. Aku ikut saja. Dan mereka semua ramah. Dengan berbagai karakter, aku bisa merasakan suasana di sini benar-benar hidup!
Kami memutuskan untuk menyatukan meja dan menjejerkannya supaya satu kelas kami tidak terpisah. Aku pun mulai bicara kepada teman-temanku, “Makasih ya udah mau nerima gue jadi anggota baru kelas kalian,” ucapku dengan tersenyum.
Cowok dengan rambut cepak dan kacamata yang cukup tebal membingkai matanya—yang kukenal sebagai Harris—menyahut, “Sama-sama, Sheina. Kita pasti menyambut baik semua orang kok,” ujarnya ramah diikuti yang lainnya.
“Harris itu jago komputer banget lho. Jadi kalau mau servis komputer bisa ke dia,” promo Nerra dengan bangga yang langsung dihadiahi lemparan sedotan.
“Promo aja lo dari dulu. Kalo ada yang bayar juga duitnya pasti bakal ada di lo terus,” canda Harris.
Suasananya sangat menyenangkan. Baik cowok mau pun cewek bergabung menjadi satu. Kami bercanda satu sama lain dan dengan cepat aku bisa menghapal mereka semua. Karena satu kelas tidak terlalu banyak, maka tidak sulit untuk menghapal nama mereka.
Ada Shari dan Shira yang kembar identik namun sangat berbeda—Shari tomboy dan dia jurnalis sekolah yang selalu diandalkan dan telah mengikuti berbagai event konferensi pemuda se-Asia bahkan pernah diundang untuk ikut acara semacam itu ke Jerman. Kalau Shira, ia cenderung orang seni. Dia desainer grafis freelance yang karyanya sudah mejeng di berbagai iklan dimana-mana.
Ada juga Reno yang menjadi atlet surfing di usianya yang masih muda ini, Lena yang menekuni tari balet, Ghani yang sudah terkenal sebagai fotografer freelance muda yang diincar banyak orang, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Tapi kalau aku dibandingkan dengan mereka, aku seperti tidak ada apa-apanya. Aku tidak pintar mau pun cantik. Aku tak sehebat teman-teman baruku ini.
Apa belum ya?
***
Jam belajarku dimulai dari jam delapan pagi dan berakhir jam tiga sore. Cukup melelahkan karena jam pelajaran di VIHS lebih lama dari sekolah lainnya.
"Bye, Sheina!" seru Anne dari kejauhan. Aku yang sudah berjalan beberapa meter darinya membalas lambaian tangannya. Ia tersenyum kembali lalu berjalan ke arah berlawanan.
Rumahnya dengan rumahku memang tidak searah. Hari ini pun aku memutuskan untuk berjalan kaki, tidak naik ojek seperti saat pertama kali aku ke sekolah ini. Aku memang biasa berjalan kaki jika tempat yang aku ingin datangi tidak terlalu jauh. Hal itu sudah Mama ajarkan sejak dulu.
Jalanan menuju rumahku sudah agak ramai. Banyak para babysitter atau para ibu yang mengajak anak mereka untuk bermain di taman komplek. Dan taman itu berada tepat di depan rumahku.
Mama memang tidak pernah salah untuk urusan lingkungan rumah.
Hari masih sore saat aku tiba di rumah. Kata Anne, pulang di jam-jam ini adalah mukjizat bagi murid-murid VIHS. Karena, walaupun hari ini sudah mulai belajar, tapi kegiatan ekskul atau organisasi belum seaktif biasanya.
Anne mendoakan aku supaya betah dengan rutinitas yang padat di sekolah ini. Aku juga berdoa seperti itu. Ya, tidak ada salahnya berharap akan betah di sini.
Tepat saat satpam rumah--Pak Bimo--membukakan pintu pagar untukku, handphone-ku berdering.
Mama's calling...
Dengan satu gerakan cepat, aku tersenyum berterima kasih kepada Pak Bimo sambil menekan tombol hijau dan menempelkan handphone ke telingaku.
"Halo, Ma,"
"Halo, Sayang. Gimana sekolah barunya?" tanya Mama seperti sebelum-sebelumnya ketika kami baru pindah.
"Wow! Cuma itu yang aku bisa bilang sekarang,"
"Dari suaramu kayaknya kamu senang." ujar Mama.
"Ya begitulah,"
"Sheina, kita kan baru pindah, tadi pagi Mama sempet bikin cupcake sebelum berangkt kerja. Tolong kamu anterin ke beberapa tetangga kita ya,"
Aku hanya mengangguk, itu salah satu cara untuk berkenalan dengan tetangga ala Mama, walaupun aku tahu Mama tidak bisa melihat anggukanku.
"Iya, Ma,"
"Thanks, Dear. Mama mau rapat lagi nih, udah dulu ya,"
"Iya, bye, Mom,"
Klik. Telepon diputus oleh Mama.
Aku masuk ke dalam rumah, kulihat ada Mbak Nia dan Mbak Laili--dua pembantu yang sudah bersama keluargaku sejak aku berumur dua tahun. Karena Mama benar-benar harus menggantikan posisi Almarhum Papa sepenuhnya di perusahaan, maka Mama memutuskan untuk memperkerjakan mereka. Bukan untuk menggantikan posisi Mama di rumah, tapi hanya untuk membantu menjagaku selagi dia bekerja. Mama sangat tidak setuju tentang pernyataan bahwa pembantu berfungsi untuk menggantikan posisi orang tua. Baginya, mereka adalah individu yang membantunya dan tidak ada kasih sayang sebesar apa pun yang dapat menggantikan kasih sayang orang tua.
Aku menyapa Mbak Nia dan Mbak Laili. Sejak dulu mereka sudah diperlakukan dan dianggap seperti keluarga kami. Kami sering makan siang bareng ataupun menonton televisi bersama. Mama memang mengizinkan mereka menonton di ruang keluarga walaupun aku atau Mama tidak berada di rumah.
"Eh, Mbak Sheina sudah pulang,"
Aku tersenyum lalu duduk di atas karpet di antara mereka yang sedang menonton FTV sore. "Iya nih. Ah iya, Mbak. Tadi Mama bikin cupcake ya?"
Mbak Nia--iya hanya lebih tua sepuluh tahun dariku, menjawab, "Iya, nganterinnya nanti maghrib aja, Mbak,"
"Iya, aku juga mau istirahat dulu nih,"
"Apa kami aja yang nganterin? Biar Mbak Sheina bisa istirahat lebih lama," ujar Mbak Laili sambil memandangku simpati.
Aku menggeleng, "Nggak usah, aku aja yang nganterin. Aku ke kamar dulu ya,"
Mereka tersenyum mengiyakan dan aku menaiki undakan anak tangga menuju kamarku.
Kamarku di rumah baru kami ini, berada di lantai dua. Dengan balkon yang langsung mendapat pemandangan taman komplek yang teduh. Taman itu menggodaku untuk mengunjunginya.
Kurasa itu ide yang cukup bagus. Mungkin dengan beristirahat di taman itu aku akan dapat semangat lagi untuk menghadapi hari esok.
***
Jam setengah lima sore, aku sudah terdampar di taman ini. Angin sore menerbangkan rambut ikalku yang masih basah setelah aku keramas. Entah kenapa, begitu melihat taman ini, hasratku untuk tidur-tiduran di ranjang hilang seketika.
Matahari sore masih dengan semangat menyinari taman. Banyak anak kecil yang sedang asyik bermain. Entah dengan temannya, bolanya, atau pun dengan mainan anak-anak yang ada di sini seperti dua ayunan yang berada tidak jauh dariku.
Aku memilih duduk di kursi kayu yang berada di bawah pohon mangga. Aku sangat suka pemandangan yang kudapatkan dari tempatku sekarang. Rasanya menyenangkan ketika melihat anak-anak yang menggemaskan itu tertawa riang. Aku lalu membaca majalah remaja yang kemarin aku beli.
Sampai aku sadar, bahwa seseorang telah memotretku. Aku mendengar bunyi blitz kamera yang tak jauh dari arahku. Saat aku menoleh ke arah kanan, benar saja, sebuah lensa langsung mengabadikan momen itu.
Si pemilik kamera tersenyum saat mengetahui bahwa objek fotonya telah melihatnya. Aku tidak sadar seperti apa wajahku sekarang. Merah padam kah? Rasanya aku malu ketika seseorang mengambil fotoku diam-diam. Aku memang tidak terlalu suka difoto.
“Maaf ya, gue suka motret elo,” ujar lelaki itu ketika ia tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapanku.
Aku tercengang mendengar kata-katanya.
“Gue nggak secantik model,” kataku cenderung skeptis. Entah kenapa malah kata-kata itu yang keluar dari bibirku. Apa itu ungkapan ketidak percayaan diriku?
“Kalau kita bertemu lagi, lo mau kan jadi objek kamera gue?” tanyanya sambil tersenyum lebar. Diangkatnya kamera DSLR-nya, sebagai tanda bahwa ia benar-benar menawariku.
“Kalau kita bertemu lagi,”
Aku berdiri beranjak pergi. Meninggalkan dia yang kini kulirik dari ekor mataku sedang duduk di kursi yang baru saja aku tinggalkan.
Ah, tawaran yang aneh. Kalau pun aku bertemu lagi dengan dia, pasti tak akan diingatnya lagi janji-janjinya itu.
Huh, siapa juga yang tertarik pada gadis biasa sepertiku?
Aku melenggang pergi sambil berusaha mengenyahkan tentang cowok aneh itu.
Pertemuan yang aneh.
***