Bab 4 - Sheina

1241 Kata
Everywhere I’m looking now I’m surrounded by your embrace Baby, I can see your halo You know you’re my saving grace —Halo/Walking On Sunshine, GLEE Cast—   Ini adalah rumah terakhir yang aku kunjungi dalam rangka berkenalan dengan tetangga baruku. Lumayan juga, mereka ramah-ramah. Kukira mereka orang yang individualis seperti orang-orang di kota besar lainnya. Sengaja aku datang ke rumah ini terakhir, karena letaknya berada di sebelah rumahku. Jadi di saat aku sudah mulai lumayan letih, aku hanya tinggal berjalan beberapa langkah. Ting tong. Bunyi bel rumah yang kutekan terdengar sampai ke telingaku. Sudah kuucapkan salam sejak tadi, tetapi tidak ada yang menjawab. Biasanya ada bapak-bapak yang selalu berada di pos satpam ini. Umurnya hampir sama dengan Pak Bejo. Tapi pos satpam ini dibiarkan kosong begitu saja sekarang. Ting tong. Kalau setelah ini tidak ada yang menyahut atau membukakan pintu, aku akan … “Sebentar!” … pergi. Suaranya bukan suara bapak-bapak, tetapi seperti suara ibu-ibu yang sebaya dengan Mama. Lalu aku mendengar derap kaki mendekat ke arah pagar dan ia membukakan pagar untukku. “Malam, Bu. Maaf ganggu malam-malam begini,” Ia tersenyum, menampilkan lesung pipi di wajahnya yang masih tetap segar di usianya yang sudah tidak muda lagi. “Malam. Kamu tetangga baru saya ya?” tanyanya ramah. Aku mengangguk mengiyakan. Ia menyuruhku masuk ke dalam rumah. Aku mengikuti langkahnya menuju rumahnya yang terbilang unik. Interior di dalamnya di tata dengan sangat apik, dengan paduan etnik nusantara dan modern klasik. “Maaf ya, Pak Samin lagi pulang sebentar ke rumahnya. Jadi nggak ada yang bukain pintu cepet-cepet deh,” ujarnya ketika aku dan dia sudah duduk di sofa yang berada di ruang tamunya. “Nggak apa-apa kok, Tante. Saya cuma nganterin ini buat Tante,” Aku menyerahkan Tupperware yang berisikan cupcake buatan Mama. “Terima kasih ya. Salam buat, Mama-mu. Ah ya, kita belum kenalan,” ia pun mengulurkan tangannya, “Panggil saya Tante Laksmi saja. Namamu siapa?” Aku menyambut uluran tangannya dan menjawab, “Saya Sheina, Tante. Saya permisi dulu ya, Tante,” Ia mengiyakan dan aku diantarnya sampai depan pagar. Setelah aku mengucapkan salam, refleks aku menoleh ke arah balkon yang menghadap taman—sejajar dengan kamarku—dan blitz kamera langsung membuat mataku terkerjap beberapa kali. Saat aku berada di depan pagar rumahku, aku menoleh kembali ke arah balkon tersebut. Kulihat ada seorang cowok yang sedang bersandar di balkon, posisinya membelakangiku dan dari sini aku masih bisa melihat kalau ia sedang melihat hasil jepretannya tadi. Sial, aku kecolongan lagi. *** Suasana VIHS di pagi hari tidak berbeda dengan sekolah lain menurutku. Ramai dengan kicauan dari mana-mana. "Anne, kursi di depan kita siapa yang nempatin? Apa Harris duduk sendiri?" tanyaku saat bel berbunyi, pertanda bahwa jam pelajaran akan dimulai. Hampir seluruh murid sudah masuk ke kelas. Anne tersenyum lalu menjawab, "Tuh orangnya dateng," ujarnya sambil menolehkan kepala ke arah seorang cowok dengan tinggi yang lumayan menurutku, yang sedang terburu-buru masuk ke kelas diiringi sapaan dari teman-temanku. "Hai, Nafran. Udah sembuh?" sapa Anne saat cowok itu sudah duduk di kursinya sambil meletakkan tas ranselnya di laci meja. Ia segera menoleh ketika mendengar suara Anne, "Hai, Ann. Udah sembuh kok, cuma kemarin belum diijinin sama Mama aja buat masuk sekolah," jawabnya sambil tertawa kecil. Rambutnya yang agak jabrik itu terlihat masih basah dan tercium aroma shampo yang wangi. Mataku terus mengamatinya, sepertinya aku kenal... "Hai, tetangga baru!" Aku kaget mendengarnya, dan ternyata aku baru ingat. Dia cowok yang memotretku secara diam-diam itu. "Hai," sapaku sambil meringis. Cowok ini benar-benar... unpredictable. Dan sebelum pikiranku melancong kemana-mana, Tanaka Sensei—guru bahasa Jepang-ku—sudah datang untuk mengisi jam pelajaran pertama. *** Waktu pergantian jam pelajaran. Gawat, kenapa dari tadi yang ada di kepalaku hanya si Nafran—tetanggga baruku ini? Aku hanya merasa… aneh. Coba bayangkan, bagaimana rasanya jika kemarin kamu dipotret secara diam-diam oleh tetanggamu—dan kamu nggak tau sama sekali untuk apa dia memotretmu—lalu tiba-tiba pagi ini dia datang dan duduk di depan kursimu sebagai teman barumu di sekolah? Rasanya seperti naik roaller coaster. “Ann, kok dia baru masuk sih?” tanyaku saat ia sedang surfing di MacBook-nya. Anne menoleh ke arah jariku menunjuk. “Nafran? Dia sakit, liburan kemarin dia kena tifus,” jawab Anne, lalu ia menatapku menyelidik dan tiba-tiba tersenyum jahil. Lalu ia berbisik, “Lo naksir sama Nafran? Wah, dia emang ganteng. Motretnya juga jago sama kayak Ghani, tapi dia lebih suka memotret pemandangan dan orang. Kalau Ghani kan cenderung lebih suka motret tempat-tempat unik gitu,” Aku sibuk ber-sst ria selama Anne mempromosikan Nafran secara bisik-bisik. Takutnya obrolan kami terdengar olehnya yang duduk persis di depanku. Aku pun balas berbisik kepada Anne, “Kok lo segitu hapalnya sih? Jangan-jangan elo kali yang suka,” tuduhku sembarangan sambil cengar-cengir. Rasanya hal yang mustahil kalau cowok macam Nafran—ya terpaksa aku mengakui bahwa dia ganteng, tapi tidak dengan hobinya memotret orang secara candid—tidak suka terhadap cewek tipe bidadari seperti Anne. Apalagi dengan tipe paling bawah sepertiku. “Gue mantannya,” jawab Anne dengan lugas. Aku menarik napas, lega. Entah kenapa, mendengar Nafran masih doyan cewek membuatku lega. Setidaknya dia masih normal. “Eh, tapi kok putus? Cowok macem apa yang rela ngelepas cewek secantik elo?” tanyaku tiba-tiba. Iya, cowok macam apa itu? Aku saja diputuskan karena fisik. Duh, tuh kan, aku suka tidak bisa menahan kendali untuk tidak merendahkan diriku sendiri. Menurut majalah yang pernah k****a, justru hal itu sangat tidak baik untuk keadaan psikis seseorang. Ya iya sih, baik darimananya merendahkan diri sendiri? Tapi sangat susah bagiku untuk menghilangkannya, apalagi aku telah berkali-kali mengalami penolakan dalam bersosialisasi karena faktor fisik. “Hei, kok lo diam gitu?” tanya Anne tanpa bisik-bisik lagi sambil menepuk pundakku. Aku terlonjak kaget, lalu Anne tersenyum, “Tenang aja, kalo lo suka sama dia ya jalan terus dong. Gue cuma mantan, mantan itu masa lalu, belum tentu masa depan seseorang,” ucapnya dengan bijak. Aku cuma diam sambil berpikir. Mantan itu masa lalu, belum tentu masa depan seseorang. Kata-kata yang bagus juga, menurutku. Saat aku sedang melamun sambil menopang daguku dengan sebelah tangan, tiba-tiba wajah Nafran sudah berada tepat di hadapanku dan… sangat dekat. Aku langsung menjauhkan wajahku dengan raut wajah yang merah padam. Kulirik Anne yang sepertinya tidak melihat kejadian barusan, ia sudah sibuk dengan novelnya. Ia memang sangat maniak kalau urusan membaca. Lalu aku memandang Nafran dengan ekspresi datar, ia hanya tersenyum lebar. “Kaget ya?” tanyanya sambil menudingkan jarinya dengan cengiran lebar. “Nggak tuh,” aku menggelengkan kepala. Aduh, entah kenapa rasanya aku ingin mengalihkan pandanganku darinya. Tapi pakai apa ya? Ah, aku langsung mengambil tasku di laci meja lalu berpura-pura menunduk mencari sesuatu. “Cuma orang salting yang geradak-geruduk gitu,” “Nggak ada yang salting,” aku menanggapinya walau terus mengaduk-aduk tasku tanpa tahu apa yang kucari. “Nama lo siapa?” Baru, aku berani mengangkat wajahku, setidaknya aku harus sopan ketika ada yang menanyakan namaku. “Sheina Alinagita Haryaja, nama lo?” Ups, aku kan udah tahu namanya, hh, ini refleks.  Tanpa kusangka dia mengulurkan tangannya sambil tersenyum, “Nafran Handardirga, tetangga lo yang motret lo di taman dan dari balkon rumah,” Tanpa sadar aku tertawa lalu, “Akhirnya, sang maling ngaku juga,” kataku sambil menaruh kembali tasku di laci. Sepertinya peran tasku sebagai pelarian dari Nafran sudah selesai. Dia ternyata tidak seaneh yang kuduga beberapa menit yang lalu. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN