BAB 2: PULANG

1108 Kata
SELAMAT MEMBACA *** Rumana langsung berlari masuk kedalam rumahnya. Rumah yang sudah tujuh tahun dia tinggalkan. Dia memang keterlaluan. Hanya sejauh Jakarta-Yogyakarta saja dia pergi sampai tujuh tahun tidak pulang, lebih tepatnya tidak mau pulang. Seingatnya dalam tujuh tahun kepergiannya dia hanya pulang dua atau tiga kali, itupun tidak lama. Hanya beberapa hari untuk mengurus beberapa dokumen yang dia butuhkan. Sisanya, dia akan mengeluarkan banyak alasan agar tidak perlu pulang. "Assalamu'alaikum Nenek," salam Rumana saat memasuki rumah. Mendengar suara cucu perempuannya, Lastri langsung keluar dari dapur. Dia tergopoh-gopoh menyambut kedatangan cucunya. "Waalaikumsalam. Ya Allah cucu Nenek, akhirnya pulang kamu Nduk." Lastri langsung memeluk Rumana dengan haru. Dalam tujuh tahun terakhir pertemuan mereka terhitung minim. Itupun harus dia yang mengalah datang ke Jakarta jika merindukan cucunya. "Nenek kangen Ruma ya. Nenek bagaimana kabarnya. Nenek sehat kan?" Tanya Rumana langsung. Dia mengusap air mata di pipi sang nenek dengan lembut. Merasa bersalah pada neneknya. "Kangen sekali, Nenek ini kangen sama Ruma. Nenek Alhamdulillah sehat. Ruma sehat juga kan di sana." "Sehat. Ruma sehat, lihat ini Ruma makin cantik kan." Rumana memperlihatkan dirinya dengan berputar-putar di hadapan sang nenek. Lastri hanya tersenyum bahagia melihat sikap cucu perempuannya itu. "Assalamu'alaikum Bu ..." Rama dan Rinjani masuk kedalam rumah dengan membawa barang-barang milik putrinya. "Waalaikumsalam," jawab Lastri dan Rumana. Rama langsung menyalami Lastri lalu meletakkan barang-barang milik putrinya di ruang tengah. "Kok sepi Bu, anak-anak kemana?" tanya Rinjani saat melihat keadaan rumahnya yang sepi. Keempat putranya tidak terlihat batang hidungnya. Padahal ini adalah hari Sabtu yang harusnya mereka ada di rumah. "Anak-anak belum pulang dari pagi, katanya ada acara bersih-bersih sama karangtaruna." Jawab Lastri. "Memangnya mas-mas tidak tau kalau Ruma mau pulang. Masa tidak di sambut," celetuk Rumana dengan nada pura-pura sedihnya itu. "Pasti mereka langsung pulang kalau tau Ruma sudah di rumah. Apalagi Mas Rhandra dari semalam terus membicarakan Ruma katanya tidak sabar menunggu Ruma pulang." Rumana tersenyum mendengar cerita neneknya. "Coba di telpon," saran Lastri lagi. Rumana langsung mengambil ponselnya dan ingin menghubungi kakaknya. Namun, lebih dulu di cegah oleh Rama. "Sudah, tidak usah di telpon. Nanti juga pulang kalau sudah siang. Lebih baik Ruma masuk kekamar terus bersih-bersih dulu." Mendengar ucapan sang Ayah, Rumana akhirnya membatalkan niatannya. Dia memasukkan kembali ponselnya kedalam tas. "Yasudah Ruma mandi dulu kalau begitu. Ayah, Bunda, Nenek Ruma masuk dulu ya." Pamit Rumana pada semua orang. "Iya sana masuk kamar, bersih-bersih terus istirahat." Ucap Lastri lagi. Setelah itu, Rumana benar-benar pergi menuju kamarnya meninggalkan kedua orang tua dan neneknya di ruang tengah. "Bagaimana kabar Bunda di sana?" Tanya Lastri pada Rinjani. "Alhambudillah baik Bu, bunda sehat. Tadi waktu berangkat Bunda juga titip salam untuk Ibu." Jawab Rinjani. "Waalaikumsalam. Syukurlah kalau memang sehat. Ruma kalian bawa pulang pasti Bunda kesepian." Guman Lastri lagi. "Cucunya kan bukan cuma Rumana Bu. Masih ada Arman dan Arhan Bu," ucap Rama. "Ya tetap saja, biasanya bertiga sekarang sisa dua. Ibu saja waktu Ruma pergi rasanya sepi, padahal di rumah masih punya empat cucu tampan." Rinjani dan Rama hanya menanggapi ucapan sang ibu dengan kekehan pelan. Tiba-tiba terdengar suara motor yang berhenti di depan rumah. Tak lama setelahnya beberapa orang terdengar berbincang. "Itu sudah pulang," ucap Rinjani. Dia berdiri untuk menyambut kedatangan keempat putranya. "Assalamu'alaikum." Ucap keempatnya serempak. "Waalaikumsalam, anak-anak tampan." Ucap Rinjani menjawab salam keempat putranya. "Bundaaaaaaa..." ucap mereka dengan semangatnya. Satu persatu langsung memeluk dan mencium tangan sang bunda. Seperti sedang melepas rindu, padahal dia baru pergi lima hari belum lima tahun. Rinjani tertawa melihat sikap mereka. Sudah sedewasa ini, tapi tetap bertingkah seperti bocah ketika bertemu dengannya. "Ayah pulang juga kan Bun?" Radin putra ke empatnya yang bertanya. "Ada itu di dalam sama nenek," jawab Rinjani. Radin langsung masuk, ingin bertemu dengan sang ayah. Dia menarik kembarannya Raditya untuk ikut. "Ruma mana Bun?" tanya Rhandra langsung. "Didalam juga. Tadi nungguin kalian pulang, jadi ayah suruh mandi dulu. Cepat masuk terus bersih-bersih." ucap Rinjani lagi. Mendengar ucapan sang bunda, Rhandra dan Randhika langsung masuk kedalam rumah. Sampai di ruang tengah mereka duduk bergabung bersama kedua adiknya, ayah dan nenek. "Kok baru pulang Le jam segini?" Tanya Lastri pada keempatnya. "Iya Nek. Sudah selesai dari tadi bersih-bersihnya. Tapi kami mampir dulu minum es," jawab Radin. Putra bungsu Rama itu. "Mas Rhandra Nek, susah di ajak pulang. Mentang-mentang yang jual Es cantik dia sengaja lama-lama minumnya." Sekarang giliran Raditya yang bicara. Dia mengadukan sikap sang kakak pada neneknya. Plak ... Rhandra langsung memukul dengan pelan kepala Raditya. Enak saja dia yang di jadikan alasan. "Awas besok ngajakin beli es disana lagi," ucap Rhandra dengan ketus. Ketiga adiknya hanya tertawa melihat kekesalan kakak mereka. "Terus es nya Ruma mana?" Mendengar itu, mereka langsung spontan menoleh kearah tangga. Dimana Rumana berdiri dengan santainya di ujung tangga. Rhandra langsung bangun dan menghampiri sang adik. "Kangennnn Mas," Rumana langsung merentangkan tangannya menyambut pelukan Rhandra. Rhandra pun memeluk sang adik dengan suka cita. "Akhirnya anak ayah yang hilang kembali pulang," ucap Rhandra sambil memeluk tubuh Rumana. "Enak saja hilang, orang Ruma menjelma jadi orang kota kok. Lihat makin cantik kan sekarang," Rumana melepaskan pelukan Rhandra dan memperlihatkan dirinya sendiri. Dengan percaya dirinya mengatakan jika dia semakin cantik. "Ruma cuma kangen sama Mas Rhandra. Sama kita tidak," ucap Radhika dengan sedihnya. "Kan memang cuma adiknya Mas Rhandra, nanti kita minta adik sendiri sama Bunda." Sahut Radin spontan. "Pabriknya sudah tutup ya," sahut Rinjani langsung. Seketika tawa mereka semua terdengar. Rumana merasa sangat bahagia. Dia benar-benar merindukan obrolan absurd keluarganya yang seperti ini. "Sini kalau rindu, Ruma peluk juga." Rumana langsung menghampiri Radhika dan memeluk kakak keduanya itu. Jangan sampai dia merasa di kakak tirikan. "Sini Mas Radit sama Mas Radin juga. Kalau kangen Ruma, Ruma peluk." Setelah memeluk Radhika, sekarang Rumana beralih memeluk Raditya dan Radin. Rumana benar-benar merindukan keempat saudara laki-lakinya itu. "Ruma sehat kan disana?" Tanya Raditya. Dia memperhatikan sang adik dengan seksama. Melihat apakah ada yang salah dengan adiknya atau tidak. "Sehat, Ruma makan, sekolah dan hidup dengan baik. Ini buktinya makin cantik kan," jawab Rumana. "Mau berapa kali, Ruma bilang makin cantik itu nanti. Iya-iya makin cantik, yang merasa cantik sendiri." Sahut Radin dengan malasnya. "Kan memang Ruma yang paling cantik. Di antara semua anak ayah, cuma Ruma yang paling cantik. Jadi salahnya ucapan Ruma apa?" "Ya jelas Ruma yang paling cantik. Karena anak ayah yang perempuan cuma Ruma. Tidak mungkin Mas Rhandra yang cantik." Sahut Radin lagi. "Jadi Mas Radin tidak suka kalau Ruma bilang, Ruma paling cantik? Mas mau di bilang cantik juga?" Percekcokan antara anak bungsu dengan putra bungsu terus saja berlanjut. Tidak ada yang mau mengalah. Tidak ada yang berniat menyudahi ataupun menghentikan. Justru obrolan absurd menjadi tontonan dan hiburan semua orang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN