Dua jam pelajaran pertama di kelas itu kosong. Guru pengajar yang pindah berhalangan hadir hanya meninggalkan beberapa lembar catatan dan tugas untuk dibawa pulang. Beberapa anak terlihat tekun menulis di bukunya, beberapa lagi sibuk bercengkerama, asyik membuat riuh suasana kelas dengan tawa.
Kean, menjadi satu-satunya orang yang tidak masuk dalam tiga kategori di atas. Daripada mencari kesibukan lain untuk membunuh waktu yang pagi ini terasa begitu membosankan, dia hanya diam di bangkunya, tidak ambil pusing gaduh yang menyeruak di sekitar. Buku di hadapannya pun masih tertutup rapat, tak terjamah. Cowok itu memilih tenggelam dalam pikirannya sendiri, memikirkan hari-hari yang harus ia jalani nanti.
Banyak hal terjadi tanpa dapat ia cegah. Tentang mereka yang pergi dan tak akan pernah kembali. Tentang rindu yang hanya mampu ia pendam sendiri. Juga tentang sakit ... yang tidak pernah menemukan jalan untuk ia bagi.
Kean menarik napas panjang lalu memejam. Sampai panggilan lirih dari seseorang di sebelahnya berhasil membuat fokusnya buyar.
"Key, dicariin, tuh!"
Kean refleks membuka mata dan langsung membawa pandangannya ke depan, tepat ke arah pintu yang terbuka lebar. Sejenak ia membeku saat irisnya bertemu dengan manik segelap malam milik sosok yang berdiri di sana. Seperti biasa, sosok itu terlalu redup untuk Kean baca. Tidak ada luapan emosi di matanya, hanya ada luka dan perasaan kecewa yang sialnya berhasil ditutup sempurna. Satu hal yang tidak pernah disukai Kean suka dari sosoknya. Karena dibalik dingin tatap itu, Kean tahu ada luka menganga yang bertambah lebar setiap harinya.
Mata itu masih belum berpindah dari tempat Kean berada, sebelum akhirnya pergerakan kecil dari pemuda itu membuat Kean segera bangkit untuk kemudian mengikutinya keluar kelas.
"Nyariin, ya? Kenapa?" tanya Kean setelah mereka menghentikan langkah.
Zafran, si pemilik manik segelap malam itu mendecih kemudian merogoh sesuatu dari dalam saku. Dia menarik tangan Kean dan meletakkan silinder bening berisi pil kecil di sana dengan gerakan sedikit kasar.
"Gue ke sini buat nganterin nyawa lo yang lo tinggal gitu aja di meja makan."
Kean memandangi benda di tangannya, kemudian mendongak memandang Zafran. Senyum tipisnya mengembang, diiringi suara kekehan yang terdengar sumbang.
"Nyawa gue tuh buatan Tuhan, bukan barang ginian, tahu!"
Kean memang selalu seperti itu. Akan selalu berusaha menjadi menyenangkan di depan semua orang. Tidak membiarkan orang lain mengetahui apa yang sejatinya ia rasakan. Anak itu akan selalu mencoba terlihat ceria, karena memang hanya dengan cara itu dia bisa terlihat baik di hadapan semesta. Kean memang begitu dan Zafran benci itu.
Zafran menatap Kean tak suka. Mata tajamnya memincing, lalu suara beratnya kembali mengalun memecah hening.
"Nggak usah sok nasihatin orang kalo ngurus diri sendiri aja lo nggak bisa!" katanya datar, sementara Kean merengut sebal.
"Siapa yang nggak bisa? Gue bisa, kok."
"Kalo bisa, itu barang nggak akan sampe ketinggal di meja dan bikin gue harus rela bakar kalori buat nyamperin lo ke sini."
"Yaudah, sih, namanya juga lupa. Lupa mah nggak ada obatnya."
"Terserah. Lain kali lebih teliti lagi dong, jangan teledor soal ginian! Ini bukan masalah sepele yang bisa lo anggap enteng."
Tanpa sadar, senyum di bibir Kean kembali mengembang. Kalimat Zafran membuat Kean sedikit merasa lega. Karena setelah semua yang hilang dari hidupnya, dia masih punya satu orang yang peduli dan tetap berdiri di sisinya. Masih ada yang bisa ia jadikan tumpuan ketika kaki tak sanggup lagi menopang.
Setidaknya ... Kean masih punya Zafran.
"Omong-omong, barang ini bisa ada sama lo, berarti tadi lo ke rumah? Lo pulang?" tanya Kean setelah beberapa saat terdiam.
Tatapannyakembali menjelajah manik gelap Zafran, mencari potongan luka yang masih rapat ia pendam. Kean ingin tahu apa yang sebenarnya pemuda itu rasakan. Kean ingin tahu apakah dia baik-baik saja atau sebaliknya. Kean ingin tahu tanpa harus bertanya.
"Gue pulang buat ambil baju doang. Udah ya, gue balik kelas." Zafran hampir berbalik, namun tangan Kean lebih sigap menahan pundaknya. Kemudian lirih suaranya terdengar dan kalimat yang ia gumamkan berhasil menyeret Zafran kembali pada luka.
"Udah dua minggu semenjak kepergian Papa. Lo masih belum mau pulang?"
Zafran menarik napas panjang. Sejenak ia memejam untuk meredam ngilu yang menjalar saat sosok itu kembali masuk ke dalam obrolan. Rasanya bahkan masih sama. Menyakitkan. Zafran belum bisa melupakan kenyataan bahwa sosok yang selama ini selalu ia jadikan tumpuan itu pergi dan tidak akan pernah pulang. Sederhananya, Zafran belum bisa menerima kenyataan.
Pemuda itu memandang Kean sekilas sebelum kemudian menepis tangannya.
"Gue butuh waktu, Key. Gue harap lo ngerti."
Setelahnya Zafran berbalik, menjauh dari tempat Kean berpijak sebelum akhirnya hilang ditelan jarak. Menyisakan Kean yang masih memaku di tempat dengan pandangan tertuju ke arah sosok itu lenyap.
Senyum getirnya menguar, lalu bibir itu kembali terbuka perlahan, membisikkan kata tepat saat binar di matanya memudar.
"Dan lo pikir gue nggak butuh lo, Kak?"