Bab 1. Dua Garis Merah
"Nggak, gak mungkin aku hamil," gumam seorang gadis berusia 19 tahun. "Aku baru lulus SMA, mana boleh aku hamil."
Meta menatap alat test kehamilan yang ia genggam di mana dua garis merah terpampang jelas di permukaan. Matanya berair, dadanya terasa sesak, ia baru saja lulus dari bangku SMA. Kalau ia hamil, bagaimana dengan masa depannya?
"Ya Tuhan, kenapa aku harus hamil segala?" lirihnya dengan air mata yang membasahi kedua sisi wajahnya. "Aku harus kasih tau Reyhan, dia harus nikahi aku secepatnya."
Tanpa berpikir panjang lagi, Meta segera keluar dari dalam kamar mandi. Ia akan mendatangi kediaman Reyhan guna memberitahukan kabar kehamilannya. Bagi pasangan suami istri, hamil adalah anugerah, tapi bagi wanita yang belum menikah seperti dirinya, kehamilan adalah momok yang menakutkan, aib yang tidak dapat disembunyikan. Belum lagi, ia akan mendapatkan makian dan cemoohan dari orang sekitar. Walau bagaimanapun, Reyhan harus tahu hal ini dan menikahinya.
***
Setelah menempuh perjalanan dengan menaiki angkot, Meta akhirnya tiba dikediaman sang kekasih. Gadis itu nampak berdiri di depan pintu pagar berwarna keemasan di mana rumah mewah dua lantai tersembunyi di dalam sana.
Meta menyeka kedua matanya yang berair, menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan sebelum akhirnya menekan bel yang terpasang di pintu pagar.
"Permisi!" serunya dengan nada lantang.
Mobil mewah berwarna hitam tiba-tiba melipir lalu berhenti tepat di depan pintu pagar tersebut. Meta sontak memundurkan langkahnya dengan perasaan takut dan gugup. Ia menatap kaca mobil, berharap Reyhan, kekasihnya yang berada di dalam sana.
"Mudah-mudahan ini Reyhan," batinnya, menatap kaca jendela yang mulai diturunkan.
Sayangnya, yang ia lihat bukalah orang yang diharapkan, seorang wanita paruh baya nampak duduk di jok belakang, memandangnya dari ujung kali hingga ujung rambut dengan kening dikerutkan. Penampilan Meta sangat biasa, celana jeans dengan kaos oblong juga tas usang yang melingkar di pundaknya memperlihatkan bahwa gadis itu berasal dari keluarga sederhana.
"Kamu siapa?" tanya wanita tersebut dengan dingin.
"Saya Meta, Tante. Saya mau ketemu sama Reyhan, ada?" jawab Meta, seraya membungkukkan sedikit tubuhnya agar dapat melihat wajah wanita tersebut.
"Meta? Apa mungkin dia Meta pacarnya Reyhan?" batin wanita itu dengan kening mengerut.
Wanita paruh baya itu kembali menaikan kaca jendela mobil, tidak lama kemudian pintu mobil pun dibuka, Lidya, ibunda Reyhan keluar dengan wajah masam dan tidak bersahabat.
Meta berdiri dengan gugup dan takut, wajahnya pun pucat dengan telapak tangan berkeringat. "Aku mau ketemu sama Reyhan, Tante. Apa dia ada di dalem?" tanyanya dengan sopan, memaksakan senyum.
"Gak ada, dia udah terbang ke Inggris buat kuliah," jawab wanita itu dengan dingin.
Meta terkejut, matanya kembali berair. "Kuliah di luar negeri? Nggak mungkin, Tante. Reyhan gak bilang apa-apa sama aku."
"Buat apa dia bilang sama kamu segala, emangnya kamu siapa, hah?"
"A-aku pacar putra Tante dan aku--" Meta menahan ucapannya, rasanya ingin menangis sesenggukan setelah mendengar Reyhan pergi tanpa memberi kabar. "A-aku hamil anaknya dia, Tan. Aku harus ketemu Reyhan secepatnya, dia harus nikahi aku!"
Lidya terkejut, matanya membulat. "Kamu hamil anak Reyhan?" tanyanya dengan suara lantang. "Jangan ngarang kamu, Meta. Gak mungkin dia mau tidur sama cewek kucel, kumel kayak kamu!"
Tangis Meta pecah, air matanya bergulir deras. "Aku gak bohong, Tante. Anak ini darah daging Reyhan. Dia harus nikahi aku secepatnya," ucapnya seraya terisak.
Lidya menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan, ia berbalik dan kembali membuka pintu mobil dan meraih tas mewah miliknya dari dalam sana.
"Tante mau ngapain? Tante mau ngehubugi Reyhan?" tanya Meta, saat melihat ibu dari kekasihnya itu merogoh tas miliknya.
Akan tetapi, bukannya mengambil ponsel untuk menghubungi putranya, yang dilakukan oleh wanita itu adalah meraih segepok uang lalu melemparkannya ke wajah Meta dengan kasar.
"Ini, ambil uang ini dan gugurin kandungan kamu, Meta," bentaknya dengan murka. "Saya gak sudi punya menantu seperti kamu. Reyhan itu calon Dokter hebat, dia gak akan nikah muda sebelum lulus dan mewarisi Rumah Sakit Ayahnya. Paham?"
Meta memejamkan mata saat segepok uang berwarna merah itu menghantam wajahnya sebelum akhirnya berjatuhan dan mendarat di atas aspal. Ia seperti dihantam bongkahan batu besar, rasanya sakit dan sesak. Ia bukan hanya dihina dan diinjak harga dirinya, ibu dari kekasihnya yang notabenenya adalah nenek dari bayi yang ia kandung, tega memintanya mengugurkan kandungan.
"Ambil uang itu dan pergi dari sini. Anak saya gak akan pernah nikahi kamu, ngerti?" bentak Lidya lalu kembali memasuki mobil.
Meta bergeming, perasaannya hancur berkeping-keping. Jiwanya terluka, hatinya patah, kekasihnya pergi tanpa memberi kabar dan ibunya memintanya mengugurkan kandungan. Hidup seorang Meta seakan hancur tidak bersisa.
"Tega sekali kamu ninggalin aku gitu aja, Reyhan. Aku benci sama kamu, aku kecewa sama kamu," batin Meta seraya menangis sesenggukan.
***
Tujuh tahun kemudian.
Meta berlari memasuki Rumah Sakit seraya menggendong anak perempuan berusia tujuh tahun. Anak tersebut bahkan tidak sadarkan diri, terkulai lemas dengan tubuh panas.
"Tolong anak saya, Sus," pintanya kepada perawat yang bertugas.
Sang perawat segera menghampiri dan meraih tubuh anak itu dari gendongan ibunya. "Anaknya kenapa, Mbak?" tanya sang perawat.
"Anak saya demam tinggi, Sus. Dia sampe pingsan. Aku mohon, tolong selamatkan anakku," jawab Meta lemah dan bergetar.
"Baik, tolong Anda tunggu di luar, ya."
Meta menganggukkan kepala, menatap wajah putrinya yang digendong oleh sang perawat memasuki ruang pemeriksaan. Meta terduduk lemas di kursi tunggu seraya menahan air matanya.
"Ibu mohon bertahanlah, Sonia. Jangan tinggalin Ibu, Ibu gak sanggup hidup tanpa kamu," gumamnya dengan lemah dan kepala menunduk.
Seorang Dokter laki-laki berjalan melintasi Meta lalu masuk ke dalam ruang pemeriksaan.
"Dia sakit apa, Sus?" tanya Dokter tersebut mengenakan stetoskop di telinga lalu memeriksa anak perempuan berusia tujuh tahun itu.
Dokter tersebut meletakan stetoskop di dadanya dan menekannya pelan. Namun, gerakan tangannya seketika terhenti, menatap lekat wajah anak tersebut.
"Ya Tuhan, ko wajahnya familiar banget. Rasa-rasanya saya pernah liat anak ini," gumamnya, perasaanya tiba-tiba terhenyak. Rasa aneh seketika menyelusup relung hatinya yang paling dalam, rasa yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata.
"Dok, kenapa Anda melamun?" tanya sang perawat, menatap wajah sang Dokter dengan heran.
Dokter tersebut, memeriksa keadaan pasien dengan seksama, meletakan stetoskop di bagian d**a dan perut pasien berjenis kelamin perempuan itu. Detak jantungnya terdengar lemah, anak itu bahkan dalam keadaan tidak sadarkan diri karena panas yang mendera tubuhnya. Reyhan, Dokter spesialis anak, menekan bagian perut pasien, anak itu seketika mengernyit kesakitan dengan mata terpejam.
"Siapkan antibiotik, Sus. Kayaknya anak itu terkena tipus kronis," pinta Reyhan kembali meletakan stetoskop di d**a pasien. "O iya, saya mau bicara sama Ibu dari anak ini, ya. Suruh dia ke ruangan saya. Ini infusnya dicepetin aja, kayaknya pasien udah kehilangan banyak cairan, tambahin nutrisinya juga."
Sang perawat mengangguk patuh seraya mencatat apa yang baru saja diperintahkan. "Baik, Dok," jawabnya.
"Jangan lupa, suhu tubuhnya di cek satu jam sekali. Pokoknya, saya mau kamu melaporkan kondisi pasien setiap satu jam sekali. Kasian, dia pasti kesakitan banget."
Perawat kembali menganggukkan kepala. Reyhan mengelus kepala sang pasien seraya memandang wajahnya dengan sayu.
"Sebenarnya siapa anak ini? Kenapa hati saya bergetar ngeliat muka dia?" batin Reyhan dengan perasaan bingung.
Reyhan beranjak meninggalkan ruangan UGD, perasaanya kembali dilanda gelisah, ia bahkan menghentikan langkahnya sebelum membuka pintu ruangan dan kembali menoleh, menatap wajah anak tersebut dalam waktu yang lumayan lama sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan ruangan tersebut. Pria itu bahkan melintasi Meta yang tengah duduk dengan kepala menunduk, Meta sama sekali tidak menyadari kehadiran sang Dokter.
***
Reyhan Adiatama, Dokter spesialis anak lulusan Fakultas Kedokteran di University of Oxford Inggris. Tampan dan berperawakan tinggi dengan kulit putih, penampilan sang Dokter nyaris sempurna, tapi ia masih melajang dan memutuskan untuk mengabdikan diri sebagai Dokter. Pintu seketika diketuk, Reyhan memerintahkan untuk masuk tanpa menoleh ke arah pintu karena ia sedang membaca laporan pasien-pasien yang sedang ia tangani.
"Selamat siang, Dok," sapa Meta, seraya membuka pintu lalu melangkah mendekati meja. "Saya Ibu dari pasien bernama Sonia, Dok. Sa--" Wanita itu menahan ucapannya.
Meta menatap lekat wajah sang Dokter yang terasa tidak asing baginya. Langkahnya terhenti. Jantungnya berdetak kencang dengan tubuh gemetar.
"Reyhan," batin wanita itu dengan perasaan tidak percaya.
Bersambung ....