Efek Domino Obsesi Rani
Dua hari berlalu sejak Ira meletakkan "Permen Bintang" di bekal makan siang Kak Rani. Konsekuensinya campur tangan Ari yang manipulatif terasa lebih mengganggu daripada ancaman Rani yang sombong. Rani yang dulunya terlihat santai dan fokus pada Kevin, kini berubah menjadi sosok yang terobsesi pada detail kecil yang tidak penting.
Ira mengamatinya saat jam istirahat di kantin. Rani duduk sendirian, memegang kotak bekalnya yang sudah kosong. Ia bukan sedang makan, tetapi sibuk mengelap sisa minyak yang bahkan tidak terlihat di permukaan kotak bekalnya dengan tisu. Wajahnya tegang, seperti seorang detektif yang sedang memecahkan kasus rumit.
"Kenapa garis lipatan tisu ini tidak rapi? Ini akan merusak simetri lipatan bekal yang sempurna," gerutu Rani pada dirinya sendiri, suaranya pelan dan histeris. Ia menghabiskan waktu 15 menit hanya untuk memastikan kotak bekalnya bebas dari segala noda, mengabaikan Kevin yang duduk di meja lain, sesekali melihat ke arahnya dengan tatapan khawatir.
Ira merasakan Ari tertawa dingin di dekat telinganya. "Lihat, Ira. Pengalihannya sempurna. Aku hanya mengikatnya pada kebiasaan yang dia agungkan. Kesempurnaan. Sekarang, dia terlalu sibuk dengan kotaknya yang 'kotor' untuk mengganggumu atau Kevin. Bukankah ini lebih baik daripada pertengkaran bodoh?"
"Itu manipulasi, Ari. Itu kejam," balas Ira dalam hati, meskipun ia harus mengakui, ia merasa jauh lebih aman.
Namun, di sore hari, saat sesi MOS, efeknya mencapai puncaknya. Rani seharusnya memimpin sesi team-building yang serius.
Tiba-tiba, di tengah lapangan, Rani berhenti. Matanya melebar, menatap ke arah bangku kayu di pinggir lapangan.
"Laba-laba! Laba-laba kecil di bangku! Tidak boleh! Bangku itu harus bersih dan steril untuk sesi istirahat!" Rani berteriak, meninggalkan Kevin dan juniornya kebingungan. Rani berlari ke gudang peralatan, kembali dengan kain pel dan mulai membersihkan bangku kayu itu dengan liar.
Kevin segera mengejarnya. "Rani! Ada apa denganmu?! Itu hanya laba-laba kecil!"
Rani menangis. "Aku tidak bisa berhenti memikirkannya, Kevin! Kebersihan bangku itu! Bagaimana jika ada kuman? Aku harus membuatnya sempurna!"
Kevin menarik Rani menjauh, membawanya ke UKS, sementara suasana MOS menjadi kacau. Ira melihat Kevin membopong Rani dengan wajah yang dipenuhi kekhawatiran dan kelelahan. Ira merasa bersalah atas penderitaan Rani, tetapi pada saat yang sama, ia melihat peluang besar. Selama Rani sibuk dengan obsesi ciptaan Ari, Kevin tidak akan memiliki perisai atau saksi mata saat Ira mulai bergerak.
*****
Malam harinya, di kamar kosnya yang remang-remang, Ira bersandar di dinding, siap menghadapi kebenaran pahit tentang Ari. Dingin yang menusuk segera menyelimuti ruangan, membuat uap keluar dari napas Ira.
"Sekarang, Ari. Sudah cukup main-mainnya. Aku sudah membantumu mengalihkan Rani. Sekarang, penuhi janjimu. Ceritakan semuanya. Nama lengkap pembunuhmu, motifnya, dan bagaimana aku bisa menemukannya," pinta Ira, suaranya dipenuhi ketegasan.
Ari merespons dengan nada yang berat, penuh kepahitan dan dendam.
"Dua tahun lalu, 10 Mei. Itu adalah hari yang seharusnya menjadi puncak karirku. Aku sudah berlatih sejak usia 10 tahun. Aku adalah harapan sekolah ini. Tapi aku dihancurkan oleh ambisi dan kecemburuan. Pembunuhku adalah... Hendra Wijaya."
Ira mencatat nama itu dalam hati. "Hendra Wijaya. Siapa dia? Kenapa dia membunuhmu?"
"Hendra Wijaya adalah senior angkatanku. Atlet yang memiliki segalanya: koneksi, uang, dan bakat. Tapi ia tidak pernah memiliki passion dan kemampuan murniku. Aku selalu menjadi bayangannya. Saat itu, bisnis properti keluarganya, 'Wijaya Group', sedang di ambang kehancuran. Hendra tahu, kemenangan di Final Turnamen itu akan memberinya koneksi dengan dewan kota untuk mengamankan proyek pembangunan besar, memberinya reputasi pahlawan yang bisa diuangkan."
Ari melanjutkan. "Dia tidak berani menghadapiku di lapangan. Jadi dia memilih cara licik. Dia menyuap montir bengkel langganannya seorang pria bernama Joyo Santoso (J.S.) untuk memotong kabel rem mobilku, sehari sebelum pertandingan. Tujuannya agar aku terluka parah dan tidak bisa bertanding. Tapi montir itu memotong terlalu dalam. Kecelakaan itu membunuhku seketika. Hendra menggunakan uangnya untuk membeli laporan polisi dan membungkam dewan sekolah."
Ari menjelaskan bahwa jiwanya terikat pada dendam itu. "Aku tidak bisa pergi, Ira. Aku terikat pada ketidakadilan ini. Kau adalah satu-satunya kesempatan. Kau harus menemukan bukti nyata yang tidak bisa disangkal Hendra. kuitansi pembayaran kepada Joyo Santoso, atau bukti bahwa Hendra berada di lokasi kecelakaan saat itu. Kau harus membuktikannya sebelum 10 Mei tahun ini. Tanggal itu adalah puncak ikatan energiku. Jika kita gagal, aku akan lenyap, dan kau akan terikat pada energi gelap yang tersisa di sini."
*****
Pagi harinya, Ira datang ke sekolah dengan tekad yang kuat. Ia harus mencari bukti. Ia tahu, Hendra Wijaya, yang kini berstatus donatur terhormat, pasti meninggalkan jejak.
Ari memberikan petunjuk pertama. "Gudang Arsip Lapangan. Di sana semua dokumen Tim Bulu Tangkis disimpan. Saat kecelakaan terjadi, Hendra panik dan datang ke sana untuk memastikan tidak ada dokumen yang menghubungkannya denganku. Aku yakin ada satu bukti yang dia abaikan, satu jejak kecil."
Ira menunggu hingga jam pulang sekolah, saat koridor sepi. Ia menyelinap menuju Gudang Arsip Lapangan sebuah bangunan kayu tua di belakang Aula Olahraga. Di sana, hawa dingin Ari terasa begitu pekat, bercampur dengan bau debu, oli, dan memori kematian.
Ira masuk melalui jendela yang dicungkil paksa oleh Ari menggunakan energi dinginnya. Di dalam, rak-rak besi tua menjulang tinggi, dipenuhi kotak-kotak kardus berisi arsip yang menguning.
"Rak ketiga dari kanan. Kotak bertuliskan 'Tim Inti Bulu Tangkis 2004-2005'," bisik Ari, nadanya terdengar seperti pemandu yang tegang.
Ira menemukan kotak itu. Saat membukanya, ia menemukan foto-foto tim yang tersenyum, termasuk foto seorang remaja yang mirip Kevin, tetapi dengan aura yang lebih ceria itu pasti Ari. Saat Ira membalik foto itu, ia menemukan sesuatu yang terselip: sebuah kliping koran lama tentang kejuaraan yang dimenangkan Ari.
Di pinggir kliping itu, ada tulisan tangan yang samar, menggunakan pulpen merah. Tulisan itu berbunyi: "Hendra Wijaya tidak akan pernah membiarkan Ari menang. Dia sudah merencanakan segalanya." Dan di sudut bawah, inisial: J.S.
"J.S.! Joyo Santoso!" bisik Ira penuh kemenangan. Ini adalah konfirmasi pertama yang nyata. "Ari, kita berhasil!"
"Cepat foto itu! Aku tahu Hendra tidak akan pernah menghancurkan dokumen ini. Dia ingin dikenang sebagai pahlawan, bukan sebagai pembunuh!"
Saat Ira mengangkat ponselnya untuk memotret bukti itu, kelegaan Ira hancur oleh suara klik keras dari pintu gudang yang dibuka.
Cahaya sore menerobos masuk. Di ambang pintu, berdiri Kevin Aditama, wajahnya yang biasanya hangat kini terlihat serius dan sedikit marah. Ia memegang kunci pintu gudang.
"Zahira Wulandari! Apa yang kamu lakukan di area terlarang ini?! Ini bisa menyebabkanmu dikeluarkan! Gudang ini sudah ditutup sejak kecelakaan Ari Setyawan!" tegur Kevin, melangkah masuk.
Ira segera menyembunyikan kliping koran itu di balik punggungnya. Bisikan Ari meledak menjadi raungan di telinga Ira. "LIHAT! DIA DATANG UNTUK MENGGAGALKANMU! DIA ADALAH RIVAL! JANGAN PERCAYA DIA! JANGAN BICARA APA-APA! KELUAR DARI SANA SEKARANG!"
Ira mengabaikan Ari. Ia menatap Kevin, melihat ketulusan di balik ketegasannya.
"Kak Kevin, aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Tapi aku bukan berniat buruk. Aku... aku sedang mencari bukti tentang kecelakaan Ari Setyawan."
Kevin mendekat, matanya menyipit. "Bukti apa? Semua orang tahu itu malfungsi rem. Dan kenapa kamu berkeliaran di sini? Dan kenapa Rani bertingkah aneh sejak kamu datang?"
Ira tahu, ini adalah momen penentuan. Ira harus memutuskan apakah ia akan mengikuti perintah posesif Ari dan bertindak sendirian, atau melanggar aturan Ari demi mendapatkan sekutu nyata.
"Aku tahu siapa pembunuhnya, Kak Kevin. Itu bukan kecelakaan," kata Ira, mengeluarkan kliping koran itu, dan menunjukkan inisial J.S. pada Kevin. "Ini dia. Bukti yang tersisa. Dan aku butuh bantuanmu."
Kevin mengambil kliping itu, menatap inisial J.S., lalu melihat ke sekeliling gudang yang gelap. Ia merasakan energi dingin yang tidak wajar.
Kevin merenung lama. "Hendra Wijaya. Aku selalu curiga padanya. Dia terlalu sempurna, dan kehadirannya di setiap acara bulu tangkis selalu terasa... menyesakkan. Tapi Zahira, kau harus jujur. Kenapa harus kau yang tahu? Apa ini ada hubungannya dengan... bisikan yang kulihat membuatmu kesakitan?"
Ira mengangguk. "Aku bisa melihat dan mendengar Ari. Dia arwahnya. Dia yang memanduku. Dia adalah korban pembunuhan Hendra, dan dia memintaku mencari keadilan."
Kevin tersenyum sinis, menatap ke udara kosong. "Jadi, Ari Setyawan, kau memintaku, rivalmu, untuk membantumu? Kau punya selera humor yang aneh."
Tiba-tiba, Ira mencengkeram kepalanya, bisikan Ari terasa seperti guncangan gempa di otaknya. "JANGAN BERSEKUTU DENGANNYA! KAU MELANGGAR ATURAN! AKU AKAN MENYIKSA KEHIDUPANNYA! KAU ADALAH MILIKKU, IRA!"
Kevin melihat penderitaan Ira. Ia segera meraih tangan Ira, meyakinkannya. "Dengar, arwah posesif! Aku tidak peduli dengan rivalitas. Aku peduli pada keadilan dan Zahira. Aku punya koneksi di dunia nyata. Kau bisa memandunya, tapi aku yang akan melindunginya secara fisik! Terima aku sebagai sekutu atau kau akan melihat Hendra menang selamanya!"
Ancaman balik Kevin yang logis itu berhasil. Bisikan Ari mereda menjadi desisan marah dan sunyi.
Kevin memegang tangan Ira dengan erat. "Kita adalah Ganda Campuran sekarang, Ra. Aku akan menjadi perisaimu, melindungimu dari Hendra dan Bayangan Rani. Kamu akan menjadi mata gaibku. Kita akan menjatuhkan Hendra Wijaya. Tapi ingat, kita harus mencari Joyo Santoso(J.S.) yang tahu segalanya dan kita harus melakukannya sebelum tanggal 10 Mei. Waktunya sangat singkat."
Ira mengangguk, merasakan kehangatan dan komitmen dari tangan Kevin yang terasa nyata, yang jauh lebih meyakinkan daripada dinginnya Ari.
Misi mereka dimulai dengan aliansi yang dipaksakan: satu arwah dendam, satu gadis indigo, dan satu Kapten OSIS yang logis.