Masih berada dalam ruangan ini, Lucas menatap mata Anna dengan tatajam tajam. Dalam benaknya, ia berpikir keras tentang bagaimana wajah gadis ini bisa sama persis seperti Emma.
Satu detik, tiga detik, lima detik, Lucas tak pernah bosan. Pandangan mereka berdua terus saja beradu, antara seorang aktris terkenal dengan CEO perusahaan terkenal. Entah apa yang dirasakan Anna dalam tatapannya, namun ketika ia sedang asik menatap pupil mata Lucas yang mulai membesar, tiba-tiba ia dikejutkan oleh Lucas yang menarik paksa lengannya untuk ke luar ruangan.
Anna sebisa mungkin berusaha untuk ke luar dari cengkeraman tangan Lucas. Menggeliat minta dilepaskan, berteriak kasar, mengumpat, bahkan menyakiti d**a bidang Lucas dengan pukulan siku tajamnya pun sudah ia lakukan. Namun pria itu seperti baja kokoh yang sangat kuat. Semua usaha yang ia lakukan seolah hanya membuat tenaganya terbuang percuma.
Lucas dengan wajah datarnya terus saja melangkahkan kakinya berjalan melewati tiap-tiap ruangan di perusahaan, tak peduli dengan rengekan Anna yang terus menggema di setiap langkah.
Meskipun mereka telah menjadi pusat perhatian dan dilihat oleh banyak orang, namun sekali lagi ... Lucas tidak peduli. Tak peduli jika di tiap langkah selalu ada beberapa tatapan mata orang-orang yang tertuju pada mereka, Lucas tetap berjalan seperti robot tanpa ekspresi. Tak peduli ada berapa banyak tatapan iba yang mengasihani Anna, namun mereka semua tak bisa berbuat apapun. Mereka hanya bisa berdiri terpatung dan menatap nanar pada Anna sembari berdoa dalam hati, namun tak sedikit pula yang hanya merasa kasian dan tak mendoakan.
Penarikan paksa seperti ini adalah hal yang dilarang, namun siapa yang berani menghentikan aksi CEO tersebut? Tak ada seorang pun di kantor ini yang mampu merelai mereka berdua. Dan Anna hanya bisa diam tak berdaya, menerima kenyataan bahwa tak ada orang yang akan menolongnya meskipun ada banyak orang di sini.
Langkah demi langkah yang mereka berdua lalui perlahan mulai membawa mereka lebih jauh. Tanpa sadar, kini Lucas dan Anna telah sampai di depan sebuah toko pakaian yang lumayan besar. Karena kantor perusahaannya terletak di jantung kota, maka tak sulit untuk menemukan toko pakaian branded ketika berjalan-jalan santai di sini.
Anna sedikit terkejut ketika Lucas tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Namun dia memilih diam saja sembari menatap kesal ke bawah, tak berani menatap mata Lucas.
Pria dengan ekspresi datar itu tiba-tiba berkata dengan suara bass-nya, “Masuklah!”
Sontak Anna tertegun. Ia mendongak cepat untuk melihat tempat di depannya. Toko pakaian. Seketika dahinya menyerit dengan alis yang lurus. Mengapa pria ini membawanya ke toko pakaian? Tidakkah dia telah melihat bahwa Anna sudah menggunakan pakaian rapi dan sopan yang mampu menutupi tubuhnya?
Sesaat ia menoleh menatap Lucas, melihat ekspresi datar pria itu yang tampak sangat menyebalkan.
“Masuklah!” Ujar Lucas dengan nada yang sama.
Tak ada pilihan lain lagi. Pria itu telah berkata untuk yang kedua kalinya, jadi tak ada alasan bagi Anna untjk menolak perintah bos besarnya itu. Anna menghembuskan napas kasar, kemudian dengan berat hati ia mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam toko besar yang tampak mewah itu.
Di dalam toko, kini rengekan dan teriakan yang keluar dari mulut Anna sudah mulai tak terdengar lagi. Percuma saja, dia akan dianggap orang gila jika bertingkah seperti itu di dalam toko, terlebih lagi karena dia adalah publik figur.
Saat ini, Anna berjalan dengan otak yang terus berpikir. Ia berpikir keras tentang alasan pria aneh di sebelahnya ini mengajaknya ke sini. Apakah ini adalah hukuman karena ia telah berbohong? Mengapa hukumannya sangat nikmat? Ia dibelikan pakaian branded karena telah berbohong. Perlahan, senyum di wajah Anna mulai merekah meskipun ia berusaha menutupinya. Namun sedetik kemudian ia kembali menyerit. Dalam benaknya ia berpikir, apakah mereka datang ke sini sungguh untuk membeli pakaian?
“Mengapa kita ke sini?” Tanya Anna memecah keheningan.
Lucas tampak sedang sibuk, matanya melirik ke segala arah seolah sedang mencari sesuatu. Ketika mendengar sebuah pertanyaan terlontar dari mulut gadis di sampingnya, Lucas menjawab tanpa mengalihkan pandangannya,
“Aku sedang mencari jubah bertudung merah.”
Mendengar jawaban Lucas, seketika mata Anna melebar dengan wajahnya yang mulai pucat pasi. Bagaikan petir yang menyambar di siang hari, jantung Anna rasanya seolah berhenti berdetak di detik itu juga. Sekarang ia paham tentang alasan Lucas mengajaknya ke sini, ternyata pria itu masih penasaran dengan gadis berjubah merah malam itu.
Meskipun wajahnya pucat dan jantungnya berdegup kencang, namun Anna tetap berusaha meminimalisir rasa gugupnya dengan bersikap normal,
“Jubah bertudung merah? Untuk apa?”
“Untuk dipakai oleh dirimu.”
Speechless! Anna tak bisa berkata-kata lagi, semuanya semakin jelas. Sekarang ia tak bisa pulang atau pun menghindar dari Lucas, hanya bisa diam dengan jantung yang berdetak sangat cepat.
“Nah, ini dia!”
Lucas mengeluarkan sebuah pakaian dari dalam gantungan di lemari. Pria itu tersenyum senang seolah telah mendapat apa yang ia cari. Sesaat kemudian Lucas berbalik menghadap Anna dengan senyum sumringah,
“Cepat pakai ini! Aku beri kau waktu satu menit.” Ucapnya tanpa toleransi sedikit pun.
Anna menghembuskan napas gusar, rasanya seperti berada di ambang kematian. Gadis itu meraih jubah yang tengah dipegang oleh Lucas. Kemudian melenggang pergi menuju ruang ganti.
Lucas dengan santai menunggu di luar, ia duduk dengan menaikkan satu kakinya ke kaki lainnya. Benar-benar seperti bos. Terlepas dari durasi satu menit yang ditawarkan Lucas, Anna ternyata dapat berganti pakaian dalam waktu kurang dari satu menit. Wajar saja, mengingat profesinya sebagai model memang mewajibkan dirinya untuk memiliki soft skill seperti itu.
Gorden hitam dari ruang ganti perlahan-lahan mulai terbuka, menampilkan seorang gadis dengan jubah bertudung merah yang tengah ia kenakan. Anna berdiri di depan ruang ganti, menunduk lesu seolah tak menyukai jubah ini.
Sementara di sisi lain, Lucas sangat tertegun hingga tubuhnya perlahan berdiri dengan raut wajah takjub. Matanya melebar karena takjub, begitu juga dengan mulutnya. Gadis di depannya ini ... bukanlah Anna, melainkan Emma!
Anna mendongak dan melihat ekspresi Lucas. Ia menyerit keheranan dengan alis yang ditekuk, “Ada apa? Mengapa menatapku seperti itu?”
“K-kau ....”
“Aku kenapa?” Tanya Anna dengan polosnya.
Lucas perlahan berjalan menghampiri dirinya, kemudian menggenggam tangan Anna dan menariknya untuk mengikuti dirinya, sepertinya tadi. Kali ini Anna tak berontak, ia hanya menurut. Meskipun dalam hatinya dia merasa sangat risih dan ketakutan.
Di kasir, setelah membayar beberapa dolar untuk jubah yang digunakan Anna, Lucas berjalan keluar membawa gadis bertudung merah itu dan pergi ke toko sebelah. Tangan mereka sejak tadi terus saja tertaut seperti sepasang kekasih muda.
Lucas tanpa ragu-ragu memasuki ruangan tersebut bersama Anna. Di dalam ruangan itu, Lucas bisa melihat dengan jelas da banyak foto gaya rambut yang terpajang di tempat ini.
“Lucas, apa kau sudah gila? Mengapa mengajakku ke Barbershop?” Tanya Anna dengan panik.
Lucas hanya diam dan tak mengindahkan pertanyaan Anna. Ia lebih memilih untuk berbicara pada salah satu pegawai Barbershop yang ada di depannya. Lucas menatap pria dengan pakaian terpotong ala anak metal itu, kemudian berkata dengan suara datar,
“Tolong ubah rambut blonde ini menjadi rambut cokelat tua.” Ujarnya sembari menunjuk Anna. Lucas mendongak untuk melihat foto gaya rambut seorang gadis yang terpajang di sampingnya, “Seperti itu!” Ucapnya sembari menunjuk gambar tersebut.
Sang pegawa Barbershop tampak mengangguk paham dan mengambil sebuah kursi di sampingnya sembari mempersilakan Anna untuk duduk di sana. Namun Anna sama sekali tak menyangka dengan apa yang akan menimpa dirinya. Ia tak pernah menduga bahwa Lucas akan bertindak sejauh ini untuk mengungkap misteri masa lalu itu.
Meskipun sampai saat ini Anna masih berpura-pura dan bersikap seolah ia bukanlah Emma, namun kebohongan yang ia tutupi tetap saja tak menutup rasa curiga dan penasaran pada benak Lucas.
Saat Petugas Barbershop mempersilakan dirinya untuk duduk, Anna segera menggeleng kuat dengan raut wajah ketakutan, “Tidak! Aku tak ingin merubah warna rambutku!”
“Jadi setelah berbohong, kau enggan untuk bertanggungjawab? Oke, aku tidak akan merubah warna rambutmu jika kau mengakui bahwa kau adalah Emma yang kulihat di hutan belantara Papua beberapa waktu yang lalu.”
Suara Lucas terdengar tenang dan santai, berbeda dengan Anna yang semakin berkeringat karena panik. Sekeras apapun Anna berusaha untuk mengubah mindset pria ini, namun semuanya gagal total. Kini Anna menjadi frustasi akibat kebohongannya sendiri.
Melihat Anna hanya diam saja dengan wajah frustasi, Lucas mengalihkan pandangannya menatap Petugas Barbershop dan berkata dengan santai, “Lanjutkan pekerjaanmu. Tak usah pedulikan penolakannya.”
Wajah Petugas tersebut terlihat kebingungan dan heran. Dalam benaknya pasti dia bertanya-tanya tentang bagaimana mungkin mengecat rambut orang lain jika orang tersebut tak setuju? Tentu saja akan ada pemberontakan yang membuat dia kesulitan melakukan pekerjaannya. Namun daripada mengatakan isi hatinya pada pria berseragam kantoran di sampingnya, Petugas tersebut memilih untuk mengangguk pasrah dan menghembuskan napas panjang sebelum melakukan pekerjaannya.
Dengan perasaan terpaksa, Anna duduk di kursi tersebut. Ekspresi penuh emosi antara marah, sedih, takut, dan pasrah yang tergambar jelas wajahnya seolah menjadi kepuasan tersendiri untuk Lucas yang sedang duduk santai di kursi khusus tamu.
Berbeda dengan toko pakaian branded tadi, Barbershop ini membutuhkan waktu lebih lama untuk mengubah penampilan fisik Anna. Sudah lebih dari 40 menit berlalu namun rambut Anna masih dalam proses pemerataan. Meskipun demikian, Lucas tetap sabar menunggunya dan bersemangat untuk menyambut Emma-nya.
Pelan tapi pasti, waktu yang terus berlalu membuat proses pengecatan rambut Anna semakin mendekati tahap finish. Petugas Barbershop tampak sedang menggunakan hair dryer untuk mengeringkan rambut baru Anna. Suara hair dryer terdengar sangat nyaring di telinga Anna dan Lucas. Hingga akhirnya, proses selesai dan Petugas menyuruh Mita untuk berdiri dari tempat duduknya.
Ketika Anna berbalik menghadap ke arah Lucas, lagi-lagi pria itu dibuat kagum olehnya. Rambut cokelat tua miliknya terlihat persis seperti Emma.
“Tak salah lagi, kau ada gadis yang kucari.” Ujar Lucas dengan tatapan mata yang sangat terfokus pada Anna, seolah terhipnotis oleh kecantikan Anna.
Anna tampak mendengus dingin. Ia memutar kedua bola matanya malas dan melipat kedua tangannya di d**a.
“Jangan seperti itu, sikap angkuhmu sangat bertolak belakang dengan sikap Emma yang tenang, lemah lembut, dan pendiam.”
“Aku bukan Emma! Aku adalah Anna!”
Seolah buta karena rasa cinta yang ia miliki, Lucas menggeleng, “Tidak, kau adalah Emma.”
Mendengar jawaban Lucas, Anna semakin kesal. Ia tahu bahwa dirinya memanglah Emma. Tapi ia sama sekali tak ingin jika ada orang lain yang mengetahui fakta itu. Namun pria di depannya ini sepertinya terlanjur cinta dengan kepribadian Emma di dalam dirinya. Dan itu akan menjadi malapetaka baginya.
Anna menatap penuh emosi pada Lucas yang saat ini masih tampak kagum. “Tolong jangan pernah bermimpi bahwa aku akan menjadi Emma untukmu! Kau membuatku seperti orang gila hanya karena obsesi terhadap hal yang tak mendasar!”
Tanpa memedulikan pengunjung lain, Anna melenggang pergi meninggalkan Lucas di Barbershop tersebut.