Anna tak bisa menahan diri untuk tidak terlihat panik, jantungnya sejak tadi seolah terus saja mengancam dirinya untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang membuat ia semakin berpikir keras.
Di dalam ruangan yang tertutup ini, mata Anna dan menejernya bertatapan begitu dalam. Anna mencoba mencari jawaban melalui mata pria di hadapannya, namun tetap tak mendapatkan apapun. Lagipula dia bukanlah seorang telepati yang mampu membaca pikiran orang.
Melihat menejernya yang tak bereaksi sama sekali membuat Anna semakin geram. Anna mendengus gusar sembari memutar kedua bola matanya,
“KATAKAN!” Teriaknya yang sukses membuat menejernya tersentak kaget dan tersadar dari lamunannya.
Pria itu dengan gelagapan melihat ke segala arah, mencoba untuk beradaptasi dengan suasana saat ini. Sesaat kemudian ia menoleh menatap Anna yang tampak geram,
“Apa? Dia hanya menanyakan sesuatu yang tidak penting.” Ujar pria itu dengan ekspresi datar.
Mendengar pernyataan menjernya membuat Anna tertegun, tetapi juga tak menghilangkan rasa penasaran yang berkobar dalam batinnya.
“Apa yang dia tanyakan?”
“Dia hanya bertanya hari Senin pada tanggal 9 kau pergi ke mana, aku bilang kau hanya di rumah saja. Lalu dia bertanya lagi apakah kau tidak syuting, aku bilang 'ya, dia tidak syuting'. Hanya seperti itu, kenapa kau tampak sangat panik?” Ujar menejernya sembari menirukan nada bicaranya saat berbicara dengan Lucas tadi.
Berbanding terbalik dengan menejernya yang tampak santai, jantung Anna rasanya akan berhenti berdetak detik itu juga. Mata gadis itu melebar karena sangat terkejut. Ini sangat bahaya, menejer sialan ini telah memberitahu Lucas bahwa ia tak pergi syuting pada hari itu, dan itu artinya ....
“Arghhh, persetan with your f*ckin mouth! Berani sekali kau mengatakan kebenaran itu padanya! Apa kau tak tahu bahwa nyawaku sedang berada di ujung tanduk karena kecerobohanmu, hah?!”
Anna tak kuasa menahan gejolak amarahnya, ia membanting berbagai macam benda-benda yang tersusun rapi di atas meja, membuat menejernya gemetar ketakutan karena ulah aktris satu ini.
“Arghh sialan, mau ditaruh di mana muka ku ini, hah?!”
Sekali lagi, ia bertindak seperti manusia yang tengah kerasukan. Suara-suara teriakan histeris dan pecahnya benda-benda berbahan kaca di ruangan ini terdengar seperti sedang terjadi bom Hiroshima yang melanda Singapura. Begitu juga dengan isi ruangan ini yang tampak acakadul, seperti kapal pecah yang baru saja dilanda badai tsunami.
Sang menejer hanya bisa berlindung di balik meja dan berusaha keras untuk mengindari Anna. Sementara gadis di ruangan itu tampak sangat berantakan dengan rambut yang acak-acakan. Napas memburu yang terdengar jelas dari tubuh Anna seolah menggambarkan dirinya yang berkeringat.
Kini mata Anna menoleh ke segala arah, mencari pria berkemeja pink yang sedang bersembunyi. Begitu sorot matanya tiba di balik meja, ia mengeluarkan seringai liciknya, kemudian berjalan menghampiri meja itu. Aura mengintimidasi yang bertebaran di sekeliling tubuh Anna membuat pria berkemeja pink itu semakin ketakutan, terlihat dari gerakan tubuhnya yang tampak gemetar.
Langkah demi langkah yang dilalui Anna akhirnya berhasil membawa gadis itu sampai di belakang menejernya. Dengan sekali sentakan, ia membalikkan tubuh pria letoy itu dan membuat menejernya menunduk ketakutan, tak berani menatap mata yang dipenuhi aura kebencian itu.
“Menejer sialan, kau membuatku berada dalam masalah!”
Anna mengangkat tangannya ke atas, bersiap untuk memukul kepala manajernya. Pria berkemeja pink itu tampak tersentak dan mengerutkan tubuhnya, bersiap untuk mendapatkan pukulan dari gadis muda di depannya ini.
Namun saat kepalan tangan Anna berada tepat di atas kepala menejernya, tangannya berhenti di udara. Menejernya yang tampak mengerutkan tubuhnya seketika tertegun, ia mendongak dan melihat apa yang sedang terjadi. Rupanya gadis di depannya ini tak kuasa untuk melayangkan pukulan padanya. Di depan dirinya, Anna hanya terpatung dengan tubuh yang kembang-kempis akibat deruhan napas yang memburu.
Menyadari bahwa ia tak jadi memukul menejernya, Anna menurunkan tangannya dan menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya secara perlahan.
“Kali ini kau aman, tetapi jika suatu saat nanti kau berani mengulang kesalahanmu, maka kau akan tahu akibatnya!” Ancam Anna dengan nada yang tegas.
Gadis itu kini berbalik dan melangkahkan kakinya pergi, melenggang menuju ambang pintu dan keluar dari ruangan ini ... meninggalkan menejernya dengan sejuta rasa takut yang belum terobati. Pikirannya saat ini dipenuhi dengan Lucas, Lucas, Lucas, dan Lucas. Pria itu pasti sengaja menjebaknya dan bersikap santai seolah tak ada apapun yang terjadi. Memikirkan wajahnya saja membuat Anna semakin geram.
Tepat ketika melewati ambang pintu, raut wajah Anna seketika berubah dalam hitungan detik. Wajah yang tadinya menampilkan amarah dan kebencian seketika berubah menjadi gadis baik dengan mata yang berbinar. Dia sudah terbiasa melakukan ini selama bertahun-tahun, jadi sangat mudah baginya untuk berakting di depan orang-orang dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.
Kini langkah kakinya tak berhenti bergerak. Ia terus saja melangkahkan kakinya maju, berjalan menuju suatu tempat yang hanya bisa diketahui oleh dirinya sendiri. Pikirannya benar-benar dipenuhi dengan berbagai beban dan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa ia jawab. Suara langkah kakinya yang terdengar jelas seolah menegaskan bahwa ia sedang terburu-buru, bahkan para staf perusahaan yang dilewatinya tak bisa mengalihkan pandangan darinya ketika dia lewat.
Auranya sangat positif dan membuat orang-orang menjadi senang, namun ketika situasi membuat dirinya harus bertindak tegas, maka yang terasa dari dirinya hanyalah aura negatif yang membuat orang-orang merasa aneh.
Saat tiba di ambang pintu, Anna menaikkan tangannya sejajar dengan dadanya, berniat untuk mengetuk pintu yang tampak tertutup. Namun ketika hendak mengetuk, ia teringat akan satu hal. Matanya menoleh menatap ke samping pintu, ada sebuah tombol berwarna putih yang bisa ia pencet agar sang pemilik ruangan segera keluar dari dalam sana.
Anna menekan bel itu berulang kali dengan tekanan yang sangat kuat. Emosi di batinnya masih menggebu-gebu, namun tentu saja dia masih merasa gugup dan takut saat berada di sini. Takut menghadapi pria cerewet yang telah ia bohongi beberapa waktu yang lalu.
Perlahan tapi pasti, pintu yang tertutup itu mulai terbuka ... menampilkan pria dengan jas hitam elegan yang tampak ramah. Pria itu membuka pintu lebar-lebar, dan memperlihatkan senyum tulus di wajahnya pada sang gadis. Anna hanya bisa memutar kedua bola matanya dan bersikap malas tau. Gadis itu hanya diam sembari menunggu Lucas membuka suara lebih dulu.
Melihat Anna hanya diam saja dengan tangan yang melipat di d**a serta kaki yang terus saja mengetuk lantai membuat Lucas menyerit heran,
“Ada apa? Mengapa kau hanya diam saja? Katakan sesuatu!”
Anna mendongak menatap mata Lucas sembari berkata, “Apa yang harus kukatakan?”
Mendengar jawaban bernada pertanyaan yang dilontarkan oleh Anna membuat Lucas berdecak kesal. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tak ada seorang pun yang mengawasi mereka berdua. Setelah ia dapat memastikan bahwa tak ada seorang pun di sini, Lucas tiba-tiba menarik lengan Anna dan membuat Anna tertarik ke dalam pelukannya. Sedetik kemudian, pintu tertutup dengan sangat rapat, meninggalkan bekas suara teriakan Anna yang tampak terkejut karena tindakan mendadak yang dilakukan oleh Lucas.
“Apa yang kau lakukan?!” Ujar Anna sembari berusaha melepaskan dirinya dekapan Lucas.
Lucas melepaskan dekapannya dengan kasar, membuat Anna terdorong karena kehilangan keseimbangan tubuh. Namun tak sampai jatuh, ia hanya hampir jatuh. Kini tatapannya berfokus pada Lucas, melihat Lucas yang hanya diam tanpa menjawab pertanyaan yang ia ajukan membuat Anna semakin kesal,
“Apa yang kau lakukan?! Mengapa membawaku masuk ke sini?”
“Kau ingin kita berbincang di ambang pintu seperti orang gila, begitu?”
Anna terdiam. Ucapan Lucas memang ada benarnya. Namun tetap saja, menariknya secara paksa seperti itu membuat ia merasa kesal. Mengapa tak mengajaknya masuk dengan cara baik-baik dan sopan? Bukankah itu akan lebih enak dipandang?
Di depannya, Lucas menatap dirinya dengan tatapan datar. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh pria itu, Anna langsung saja membalas tatapan datar itu ketika ia menyadari bahwa dirinya tengah ditatap.
Satu detik, tiga detik, lima detik, mereka masih beradu pandang seolah sedang bertarung siapa yang bisa bertahan paling lama untuk tidak mengedipkan mata.
Di pikiran Lucas, ia saat ini merasa sangat puas karena bisa menatap Anna dengan jarak sedekat ini dan selama ini. Tak salah lagi, Anna pasti adalah Emma yang ia cari. Melihat wajahnya yang tampak ayu dan elegan membuat Lucas tak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi kecantikan Anna.
“Kau sangat mirip dengannya.” Gumam Lucas dengan suara yang sangat pelan.
Seketika Anna tertegun mendengarnya, ia hanya bisa berkedip dengan raut wajah kebingungan. Meskipun wajahnya tampak sedang bingung, namun jauh di lubuk hatinya yang terdalam ia merasa takut. Takut jika suatu saat nanti Lucas berhasil mengetahui identitas aslinya dan segala seluk-beluk masa lalunya.
Sorot mata Lucas tampak kosong seolah tak ada kefokusan di dalamnya. Ia terlalu larut dalam pikirannya hingga melupakan bahwa yang berada di depannya saat ini adalah Anna ZE, aktris terkenal di seluruh dunia.
“Katakan padaku, kenapa kau berbohong?”
Lucas bertanya dengan suara berat, mencoba setenang mungkin untuk menghadapi situasi seperti ini. Ketika mengetahui bahwa Anna berbohong, rasa curiga di dalam benaknya tumbuh tak terkendali, menjadi sangat besar dan tak terkontrol. Rasanya seolah ia sangat ingin untuk mengusut tuntas kasus yang tengah ia alami bersama Emma. Tentang siapa Anna sebenarnya, siapa Emma sebenarnya, mengapa keduanya tampak mirip, mengapa Anna berbohong, dan rahasia apa yang ada di balik ini semua.
Sementara di sisi lain, Anna semakin gugup. Sejak tadi amarahnya terus saja memuncak hingga membuat ia lupa untuk menyusun kata-kata atau ide yang tepat untuk menjawab pertanyaan Lucas.
Wajah gadis itu tampak pucat, seolah tak memiliki kekuatan untuk sekedar berbicara dan memberitahu Lucas tentang apa yang sebenarnya terjadi. Otaknya terasa berhenti, membuat ia berpikir tentang betapa bodoh dan idiotnya otak kecil yang terletak di dalam tempurung kepalanya ini.
“Kenapa diam saja?” Ujar Lucas dengan nada yang semakin membuat Anna ketakutan.
Dari reaksi Anna, tentu saja Lucas menjadi curiga dan tak mempercayai Anna lagi. Namun sesaat kemudian, Anna mendongak menatap wajah Lucas dan berkata,
“Kenapa kau sangat penasaran dengan kehidupan pribadiku? Jangan lupa bahwa kau hanyalah seorang CEO dari negara asing yang datang ke negaraku untuk bekerja sama, mengapa bertindak seolah kita telah saling mengenal sejak lama? Tak bisakah kau menciptakan hubungan profesional layaknya bos dan pekerja?”
Mendengar ocehan panjang lebar yang diucapkan Anna bukannya membuat Lucas mawas diri, malah membuat pria itu berdecih sembari mengeluarkan seringai sinis di mulutnya. Ucapan Anna terdengar seperti suara nyamuk di telinga Lucas, tak akan berpengaruh dan tak akan membuatnya tersinggung. Juga tak akan membuatnya berhenti untuk mengejar Anna.
Baginya, Anna adalah Emma.
“Bagaimana aku bisa menjauh darimu jika kau saja enggan untuk terbuka padaku dan membuatku menjadi sangat penasaran?”
Anna hanya diam, tak habis pikir dengan cara berpikir Lucas. Setelah mencerna ucapan Lucas selama beberapa saat, Anna jadi paham bahwasanya Lucas hanya penasaran.