2. Rooftop

2223 Kata
Aku memilih meninggalkan Dwi bersama Anak baru itu. Niatku yang ingin makan bakso di Kantin, tak jadi aku lakukan. Semakin lama aku di sana, Dwi semakin gencar mengolok-olok diriku. Malas juga bertemu wajah songong Anak baru itu. Tampang saja yang rupawan, tapi tingkah mirip bakwan. “Sok ganteng, sok cool, sok perfect, walaupun emang! Njir, tuh, Cowok belagu bener! Anak baru aja macam Anak Presiden!” omelku sembari berjalan. Tujuan utamaku hanya satu. Tempat di mana aku sering menghabiskan waktu sendiri. Di sana aku merasa lebih tenang. Rasanya masalah di rumah yang terkadang terbawa sampai sekolah, aku lenyapkan di tempat itu. Tapi, langkahku sontak berhenti karena salah seorang Wanita menyenggol pundakku. Emosiku langsung terpancing. Aku berbalik menatapnya. Ah, rupanya itu kumpulan Wanita pembully di sekolah. “Mata lo di pakek, jangan bedak setumpuk aja yang di pakek!” gumamku kesal. Aku bisa saja berteriak di depan mukanya, tapi aku malas mengeluarkan suaraku hanya untuk geng alay itu. Suaraku bisa sia-sia terbuang. Tapi, tunggu dulu! Aku entah kenapa penasaran ke mana tiga Wanita itu menuju. Aku pun berbalik. Mengikuti diam-diam mereka dari arah belakang. Sepertinya aku mulai mengetahui arah mereka menuju. “Ngapain mereka ke sebelas IPA satu?” sesekali aku bersembunyi di mana saja. Seperti sekarang ini. Aku bersembunyi di sebuah lemari mading Sekolah yang kebetulan besar dan tinggi. Ketika mereka sudah masuk dalam kelas 11 IPA 1, bersamaan pula aku berjalan mendekat. Dari balik pintu, diam-diam aku mengintip sedikit. Kelas di sana sepi, karena faktor jam istirahat sedang berlangsung. Hanya ada satu orang di dalam sana. Orang itu Salwa. Saudara kembarku, Kakakku yang beda lima menit, dan Cewek t***l dalam hidupku. Aku menghela napas. “Drama Queen, di mulai dari sekarang...” Kenapa aku berucap demikian? Karena aku mengetahui betul apa yang akan terjadi setelah ini. Aku kembali mengintip sebentar, dan benar saja dugaanku. “Heh, cupu! Gimana PR MTK gue? Udah lo buat, kagak?!” Chantika yang notabenya ketua dari salah satu geng pembully itu menggebrak meja. Saudara kembarku yang t***l itu hanya diam membisu. Menunduk seperti orang mau mati. Tanganku terkepal kuat melihat tingkah Chantika yang semakin menjadi. Berani-beraninya Wanita itu menarik, dan menoyor kepala Salwa. Ya Allah, jika aku yang berada di posisi Salwa, sudah pasti tangannya itu tak berbentuk lagi besok. “Lo pinter juga, yah?! Gue kira lo t***l! Abisnya lo diam-diam bae kayak bocah i***t!” untuk kedua kalinya Chantika menoyor kepala Salwa. Buku tugasnya yang telah Salwa buat beres, ia tatap tersenyum puas. “Chan! Nih, Cewek, bisu, ya?! Kagak pernah ngomong!” salah satu temannya menyahuti. Orang itu Alya. Kedua bahu Chantika mengendik. “Gak tau. Coba lo paksa ngomong.” Mataku membulat. Alya mencengkram kuat dagu Salwa. Mungkin inilah yang dipaksa ngomong Itu. “Lo ngomong, dong! Bosen tau, lo kagak ngomong! Ngomong gue bilang!” Plak! “Yeuw... Ya, malah nangis dia,” Manda menoyor kepala Salwa. “Lembek bener lo jadi Cewek! Lo nangis biar di kasihani sama Cogan di sini, kan?! Jijik, njir! Alay bener sih, lo!” Alya dan Manda seenaknya menampar lalu menoyor kepala Salwa karena kesal?! Dan Salwa menangis! Dia hanya bisa menangis saja. Dari dulu hanya itu yang dia tahu! Pantas saja dia di bully terus. Emosiku sudah di ambang batas. Kedua tanganku terkepal. Hatiku memanas melihat ini semua. Niatku sudah terkumpul, namun terhenti. Mendadak aku memikirkan perlakuan Abi selama ini. Abi yang menjauhiku, memusuhiku, membenciku. Abi memperlakukanku seperti itu karena Salwa, jadi untuk apa aku menolong orang yang telah menghancurkan kebahagiaanku? Aku mundur. Langkahku menjauh dari kelas Salwa. “Gak ada gunanya gue nolongin dia. Toh, gue nolongin dia, Abi tetep nyalahin gue. Gak bisa jagain dia lah, gak becus lah, ini lah itu lah! Untuk apa gue capek-capek nolongin? Dia juga udah gede, dia punya otak untuk berpikir, dia punya dua tangan untuk baku hantam sendiri. Itu masalah dia. Gue gak mau kena masalah juga karena nolongin Cewek t***l itu aja.” Aku berbalik semakin menjauhi kelas itu. “Dan mungkin karenanya, gue semakin jauh dari Abi.” Sembari berjalan, tanpa sadar aku menangis. Satu sisi menangisi perlakuan Abi, dan satu sisi menangisi pilihanku yang tak menolong Salwa. Kenapa hatiku jadi bimbang begini? Langkahku membawaku ke tempat seharusnya aku berada. Angin berhembus kencang. Inilah penghiburku di kala lara. Rooftop... Dari atas sini aku bisa leluasa melihat pemandangan sekitar. Aku duduk di ujung bangunan ini. Kedua kakiku sengaja aku biarkan menjuntai. Saking tingginya tempat ini, Komplek perumahanku sampai terlihat. Tak ku sangka bangunan di perumahan itu tinggi-tinggi semua. Tes! Butiran bening yang jatuh dari kelopak mata, membuatku tersentak. Tanganku sontak mengusapnya. Aku tiba-tiba saja tertawa sendiri. Menertawai hidupku yang menyedihkan. “Kenapa sih, hidup gue gak bagus banget? Kenapa gue yang selalu nangis sia-sia? Mau nangis pun gue, gak ada yang perduli juga. Gue kan, cuma ilusi buruk dalam keluarga.” tangisanku semakin deras. Tangisan ini terasa tak bisa dihentikan. “Kalo tau gini caranya, gue juga gak mau terlahir di dunia! Gue gak minta kembar kalo nyatanya gue cuma jadi bayangan! Salwa, Salwa, dan Salwa! Selalu aja Salwa yang mereka mikirin! Bukan Salsa! Sedikit pun gue gak ada di pikiran mereka berdua!” aku benar-benar menangis. Berteriak sekencang-kencangnya dari atas sini. Melepas beban dengan cara berteriak sekuatnya. Untung saja tak ada orang, jadi aku bisa leluasa meluapkan amarah. “Kok, lo nangis makin cantik aja, sih?” Deg! Mendengar suara yang begitu ku kenal ini, membuatku tersentak. Suara langkah kaki semakin mendekat. Seseorang mengambil duduk di sebelahku. Sedikit bisa ku lihat tatapannya mengarah ke depan. “Apa dia sempat denger unek-unek gue? Gawat kalo sampe denger masalah Keluarga!” “Nangis aja lagi. Anggap gue gak ada." Arah pandangannya masih setia menghadap ke depan. Aku mendengus kesal. Menatapnya tajam. “Lo ngapain di sini? Ganggu tau, gak?!” “Gue takut aja...” jawabnya yang berhasil membuatku ambigu. “Takut kenapa?” Kepalanya menoleh ke arahku. Mata birunya kini menatap mata biruku juga. Kami memang memiliki warna mata yang sama. Maka dari itu, sering kali kami di jodoh-jodohkan di Sekolah. “Takut lo bundir. Lo koit, jodoh gue gak ada, dong!” Bugh! Ucapan Yusuf terkadang mengesalkan. Tak salah barusan aku memukulnya. Aku juga merasa tak kasihan sedikit pun. “Yusuf... Mending lo pergi aja, deh! Pergi! Lo ada di sini makin mumet otak gue! Pergi gue bilang!” Aku menarik kerah bajunya untuk menyuruhnya pergi. Dia pun berdiri juga. “Eh, gue di sini mau menyendiri, yah, dan... Dan lo dateng-dateng ngajak rusuh!” Dia tertawa. Tawanya terdengar serak. “Oke-oke, Princess, gue bakalan pergi. Tapi, lo janji jangan bundir loh, ya?” jari kelingkingnya ia arahkan padaku. “Janji dulu sama gue, baru gue pergi,” Aku menjambak hijabku. Gigiku saling beradu menahan amarah yang bisa saja diluapkan. “ASTAGHFIRULLAH, YUSUF... SEGILA ITU KAH GUE, SAMPE MAU BUNUH DIRI?!” Lagi-lagi dia tertawa. Tangannya mengusap sekilas kupingnya. “Ya... Mungkin aja. Lo tau sendiri kan, di Rooftop ini pernah ada Siswi yang bundir karena frustasi hamil di luar nikah? Gue takut aja lo kesurupan tuh, Setan.” Deg! Tubuhku membeku di tempat. Aku baru mengingat rumor yang mendarah daging di Sekolah ini. Dari desas desus yang beredar, memang ada Siswi yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Dia tak kuat menanggung malu. Karena hamil di luar nikah, Ibunya mengusir dari rumah. Orang-orang di sekitarnya juga ikut menjauhinya. Kabar kehamilannya juga sudah tersebar luas di sekolah. Pada hari dia memutuskan bunuh diri, itulah di mana hari dia di keluarkan dari sekolah. “Tadi lo sempat teriak-teriak juga. Kepala Sekolah kan, paling ngelarang adanya teriakan. Katanya pamali banget teriak di lingkungan Sekolah ini. Mereka yang tak terlihat, bakalan terusik dari zona nyamannya.” suara Yusuf terdengar pelan seperti berbisik. Ekspresinya yang melotot penuh misteri, menambah rasa ketakutan dalam diriku. “Yaudah, gue balik, yak? Mau masuk juga. Bye!” Tubuh Yusuf yang mulai berbalik segera aku tahan. “Gue... Gue i—ikut!” kataku gugup. °°° Salah seorang Siswa kelas 11 IPA 1 ingin memasuki kelasnya. Ingin menaruh tas, karena dia baru mendaftar sekolah ini di saat waktu istirahat berlangsung. Dan di saat baru pertama kali masuk saja, dia sudah di pertemukan dengan seorang Siswi tempera mental. Dia menghela napas. “Hah, jangan sampe gue satu kelas dengan Cewek brutal itu. Tapi, gak mungkin kalo di pikir-pikir! Dia sahabat Dwi, kan? Otomatis dia sekelas sama Dwi.” Pria yang berbicara sembari berjalan ini adalah Afiq. Siswa baru pindahan dari Amerika Serikat yang kedatangan perdana berhasil memikat para Siswi. Dia terus melangkah menuju kelas 11 IPA 1, di mana kelasnya berada. “NANGIS TEROOOSSS! LO BISANYA CUMA NANGIS, LO PIKIR INI SINETRON?!” teriakan kencang itu menghentikan langkah Afiq. Tepat di depan pintu kelasnya ia terdiam. Coba memastikan teriakan tadi memang benar berasal dari kelasnya atau tidak. “LEMBEK BENER SIH, LO JADI CEWEK?! ALYA, AMBIL TUH KAIN PEL. BIAR GUE APUS AJA AIR MATANYA PAKEK KAIN PEL!” Afiq melotot. Teriakan itu memang berasal dari kelasnya. Afiq memberanikan diri mengintip sedikit. “Pembulian? Gue pikir bully udah di sikat abis dari semua sekolah Indonesia, ternyata masih ada juga. Padahal ini Sekolah bergengsi, tapi masih ada aja sampah masyarakat kayak gini.” Kembali Afiq mengintip untuk melihat kejadian selanjutnya. Saat Afiq melihat Chantika yang sebentar lagi mengarahkan kain pel kepada Siswi yang di bully itu, Afiq tak bisa berdiam diri lagi. Segera ia masuk ke dalam. Berharap kedatangannya mengurungkan tindakan tak senonoh tiga Siswi itu. “EH, BERHENTI DI SITU!” ketiga Siswi itu berhenti. Menatap bingung seorang Siswa asing yang berpakaian sama seperti mereka. Afiq lebih mendekat lagi. “Taruh kain pel itu gue bilang!” Afiq menunjuk tajam kain pel yang Chantika pegang. “Siapa lo seenaknya merintah kita? Siswa baru? Belagu bener, lo!” Alya menatap remeh Afiq. Kedua tangan Wanita itu bersedekap d**a. “Bacot bener sih, kalian! Gak denger gue bilang apa? Kalian pikir hebat, bully orang? Merasa berkuasa, merasa paling di takuti?” Afiq berdecih. Ia tersenyum miring. “NYAMPAH, TAU GAK?!” “Anyink! Lo makin ngelunjak, ya?” sedikit lagi tangan Manda ingin melayangkan sebuah tamparan di pipi Afiq, tapi suara Chantika menyahuti. “Udah, Nda! Gak usah dilanjuti!” sorot mata Chantika menatap Afiq. Tiba-tiba saja dia tersenyum mengandung arti yang dalam. “Oke... Karena lo ganteng, lo berhasil mikat hati gue, nih Cewek, gue lepasin untuk kali ini aja! Ambil untuk lo, ya? Oh, ya, dan satu lagi. Ingat nama gue ini. Nama gue Chantika Pricillia. Anak pemilik sekolahan bergengsi ini. Gue anak kelas 11 IPS 1, dan dua temen alay gue ini juga. Bye-bye ganteng!” Sekilas jari telunjuk Chantika sedikit menyentuh pipi Afiq. Afiq membuang muka menjauh. Tiga Siswi Iblis tadi telah pergi meninggalkan mereka. “Pantesan belagu, anak pemilik Sekolah.” gumam Afiq, memandang pintu di mana tiga Siswi tadi pergi. Isak tangis seseorang, sontak membuat Afiq menoleh ke sumbernya berasal. “Eh? Lo—lo jangan nangis! Shut... Shut... Lo diam, ya? Gue---gue bukan orang jahat, kok.” Melihat Siswi yang menangis hebat di depannya, Afiq jadi panik sendiri. Salah satu kelemahannya, dia tak bisa melihat seorang Wanita menangis dihadapannya. Tampak Afiq merogoh-rogoh saku almamaternya. Sehelai kain ia berikan pada Wanita yang tertunduk menangis itu. “Nih! Hapus air mata, lo. Wanita emang di takdirkan lemah lembut, tapi dia gak diciptakan untuk disakiti mau pun menangis. Gue tau, lo salah satu Wanita yang kuat. Kayak Mama gue contohnya.” Perlahan namun pasti, tangan Wanita itu mengambil sapu tangan pemberian Afiq. Walaupun begitu, wajahnya masih tertunduk. “Ma—makasih banyak... Udah... No—nolongin.” Afiq tersenyum. “Gak masalah, kok. Udah tugas gue nolongin temen Sekelas. Oh, ya, kenalin, nama gue Afiq. Anak pindahan, baru aja masuk hari ini.” Afiq mengulurkan telapak tangannya untuk berkenalan. Wanita itu melirik sekilas. Tangan Afiq ia tatap terus. Dari tadi ia hanya diam, tak merespon uluran tangan Afiq. “Eum, lo gak apa?” sahut Afiq karena tak ada respon dari orang di hadapannya. “Ma—maaf! Saya harus pergi, ada---ada urusan! Nanti--- sapu tangan kamu saya... Saya balikan, kok!” Wanita itu sempat melirik Afiq sekilas begitu hendak beranjak berdiri. Afiq tersentak saat melihat dengan jelas wajah Siswi yang dari tadi terus menunduk. Wajah itu sangat ia kenali. Beberapa jam lalu dia sempat beradu mulut dengan orang ini dirasa. “Eh, lo! Lo bukannya temen Dwi? Eh, tunggu sebentar, gue belom...” sosok Siswi itu sudah menghilang keluar. Langkah Afiq terhenti di depan meja Guru. “...Selesai ngomong... Dasar aneh...” Afiq menatap datar kepergian Wanita tadi. Dia menghela napas, setelahnya berdecak. "Harapan gue pupus! Gue malah sekelas sama tuh, Cewek brutal!" tiba-tiba tingkah Cewek yang ia juluki brutal, memasuki pikirannya. “Tunggu dulu! Kayak ada yang janggal... Perasaan, tuh, Cewek kelakuannya bar-bar na’udzubillah..., kelakuannya sebelas dua belas kayak ras Kochenk Oren, tapi, kok... Yang ini beda, ya? Pendiam, cengeng, mau aja di bully, gak sesuai banget lah dengan dia pas di lapangan basket.” Afiq coba membanding-bandingkan Cewek Brutal yang ia lihat di lapangan basket, dan Cewek Pendiam yang baru saja ia temui. “Sumpah wajahnya mirip banget, tapi... Ada sesuatu perbedaan lagi sih, yang lebih mencolok. Matanya! Yang di lapangan basket matanya biru, dan yang barusan ungu? Hm... Apa jangan-jangan makek soflen, ya?” Afiq menggeleng-gelengkan kepalanya. “Au ah! Pusing otak gue mikirinnya!” Afiq berniat keluar ruangan karena di kelas itu tak ada satu pun orang. Tetapi, suara tangisan yang tertahan dari arah belakang, menghentikan langkah Afiq.  Bulu kuduk Afiq tiba-tiba semuanya berdiri. Afiq juga merasakan perubahan suasana atmosfer kelas yang lebih mendingin. “a***y, ini gue tau bener kalo yang nangis beginian! Sumpah udah bosen bener gue ketemu di Rumah baru, masa harus ketemu lagi, sih?” Dengan gerakan lambat, Afiq memberanikan diri menoleh. Dan dugaannya benar. Seorang Wanita berambut hitam nan panjang sedang terduduk di kursi Wanita tadi. Dia menunduk persis seperti posisi Wanita yang di bully barusan. Seluruh rambut hitamnya menutupi wajah. Bajunya berwarna putih bersih. “Udah gue bilang, kan...? Ya Allah, betapa bodohnya hamba-Mu ini? Bukannya berlari, tapi diam nonton doang, nih Tante-tante nangis...” “SETAAAANNNN!!!” °°° Bersambung...  Terima kasih yang sudah tekan tanda (❤). Bagi yang belom, ayo segera beri ❤ untuk membantu cerita ini! 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN