Prolog
Ribuan bahkan jutaan manusia, pastinya memiliki saudara kembar. Sama halnya seperti diriku. Kembar identik. Banyak yang bilang, jika aku dan saudara kembarku mirip.
Tapi, menurutku... Tidak sama sekali. Salwa Aurelya Al-Mahdhoor, Kakak beda lima belas menit dariku itu memiliki mata ungu yang terang. Wanita berhijab syar'i yang memiliki pribadi tertutup. Tak banyak berbicara, dan... Aneh.
Bayangkan saja, setiap hari dia selalu memainkan biola. Tak pernah bercengkerama kepada setiap orang. Jangankan pada orang lain, aku saja yang Saudara kembarnya di acuhkan. Terkadang aku ingin sekali sedikit berbicara padanya, namun dirinya selalu menghindar. Seolah dia menganggapku ini ancaman.
Sama halnya seperti Abi yang menganggapku demikian...
Ya, begitulah... Meskipun kami kembar, tapi rasa sayang Abi lebih besar padanya. Kadang aku merasa iri. Aku selalu mengungkapkan ini pada Umi, tapi Umi berkata jika Abi juga menyayangiku.
Ah, sudahlah... Apalah artinya Salsa Dyvia Al-Mahdhoor di mata semua orang. Selalu tak dianggap, tak mencolok, dan brutal. Itulah julukan yang sering Abi berikan padaku. Terlebih semenjak kejadian kelam itu. Hubungkanku dan Abi semakin renggang.
Kejadian itu bermula di saat umur kami genap sepuluh tahun. Tepat di saat umur kami berdua bertambah. Aku coba menarik perhatian Salwa yang lebih mementingkan biolanya dari pada diriku. Oleh karena itu, cara gila pun aku lakukan.
“Salwa, ayo kita ke sana! Main air, yuk!” ajakku riang. Aku menggenggam tangannya, tapi secepat itu juga ia tepis.
“Gak! Itu berbahaya! Abi bilang kita gak boleh ke sana, Salsa!”
Aku mencebikkan mulut. “Yaudah, kalo kamu gak mau ke sana, biar aku sendiri aja! Main aja sana sama biola jelek, kamu!”
Aku berjalan cepat ke arah Rumah kosong di sana, tanpa menoleh lagi. Rumah yang di penuhi semak belukar dan rawa. Rawanya terlihat cukup dalam. Dari arah belakang, aku mendengar teriakan Salwa yang memperingati. Aku tetap berjalan, mengacuhkan teriakannya.
“Salsa, kamu bandel! Abi bilang jangan ke sana, Sal! Bahaya!” dia berhasil menyeimbangkan langkah kakiku. Kami berdua sekarang berjalan bersebelahan.
“Kenapa ngikut aku? Main sana sama biola, kamu!” ucapku acuh, tak memandangnya.
“Aku khawatir kamu kenapa-napa, Sal! Kita ini saudara kembar—“
“Oh, sejak kapan kamu mengakui aku saudara kembar?” dan Salwa bungkam setelah lontaran ucapan dingin dariku.
Sesampainya di sana, aku langsung berlari menuju rawa. Rawa yang di penuhi lumut, bunga teratai, dan suara katak? Suasana di sekitar rumah tua itu begitu sepi. Rumah ini berjarak dekat dengan rumah kami. Hanya berseberangan saja.
“Salsa, kita pulang aja. Di sini serem. Aku takut, nanti ada dia.” Salwa menggenggam lengangku.
Segera aku lepaskan sekali sentakan. Aku berdecak, menatapnya tajam. “Dia siapa, sih?! Kamu ini aneh banget! Dikit-dikit ada dia? Dia siapa, Salwa? Siapa dia?”
“Mbak nyeremin itu, Sal... Yang... Sering gangguin aku, rumahnya ada di sini...” Salwa kembali menggenggam lengangku erat. Dapat kurasakan tangannya bergetar.
“Mana hah, mana?! Aku gak ngeliat, tuh! Tunjukkin di mana dia! Aku gak takut!” suaraku sengaja aku besarkan. Hal itu semakin membuat Salsa bergetar ketakutan.
“Salsa, jangan teriak-teriak, nanti dia datang!”
“Dasar penakut! Cemen!” aku berjalan lebih dekat ke arah rawa, dan meskipun dia ketakutan tapi masih mengikuti ke mana aku pergi. Dasar aneh. “Loh? Katanya takut, tapi masih aja ngikutin aku! Sana pulang!”
“Gak mau! Nanti aku pulang, kamu malah di culik Mbak itu lagi! Mbak itu suka anak-anak bandel kayak kamu, Sal!”
Kami terus berjalan. Langkahku mengarah ke arah pintu rumah tua ini. Entah kenapa seperti ada yang menggerakkan. Selain itu, aku juga penasaran dengan tempat ini. Sudah lama rumah sebesar ini dibiarkan tanpa penghuni. Di Komplek perumahan elite seperti ini, masa tidak ada yang berminat merenovasi?
Di saat kami telah benar-benar memasuki rumah, Salwa bersuara. “Sal... Ini nyeremin, Sal... Pasti bentar lagi Mbak itu datang!”
“Diem, ah! Ribut banget, sih!”
“Ayo, Sal... Pulang...” Salwa sudah meneteskan air mata. Kedua bola mataku berputar. Cengeng sekali.
“Iya-iya, kita pulang! Diem dong, kamu! Cengeng bener, nanti aku dimarahin Abi kalo kamu nangis!” aku membalikkan tubuh menuju arah pintu keluar. Salwa mengikuti dari arah belakang. Di saat aku sudah menginjak ke luar pintu...
Brak!
Pintu tiba-tiba tertutup beriringan dengan suara jeritan Salwa. Aku berbalik, dan Salsa tidak ada. Dia terkunci di dalam. Aku panik. Menggedor-gedor pintu itu sekuat tenaga. Begitu juga Salwa. Teriakannya bercampur tangisan.
“SALWA BUKA PINTUNYA, WA! WA BUKA PINTUNYA!” Aku terus berteriak. Aku takut. Aku tak tahu harus berbuat apa.
“SALSA BUKAIN PINTUNYA, AKU TAKUT DI SINI!!! SALSAAAAA!!!” teriakan Salwa membuat kakiku bergetar. Seluruh tubuhku bergetar. Apa yang harus kulakukan? Pulang ke rumah, memberi tahu kejadian ini? Nanti Abi marah, apa lagi ini menyangkut Salwa! Aku takut... Aku takut Abi marah.
“Salwa! Salwa, kamu denger aku, kan?” suara teriakan Salwa tak ada lagi.
Aku semakin takut. Aku takut Salwa kenapa-kenapa, tapi di satu sisi aku takut memberitahu Abi. Tak ada yang bisaku lakukan lagi. Aku harus mengalah dengan ego ini. Demi kebaikan bersama, walaupun nantinya aku yang akan terluka, aku harus melakukan ini.
“ABIIII, TOLONG, BI...!!!” Aku berlari kencang menuju rumah. Kaki mungilku melangkah cepat mengitari lapangan luas yang mengelilingi rumah.
Air mata terus mengalir deras membasahi pipi. “ABI... SALWA, BI.. ABI, TOLONGIN SALWA...”
“Apa? Kenapa dengan, Salwa?” sesampainya di rumah, Abi dan Umi berlari menghampiriku. Abi menatapku cemas tak sabaran.
Dia mengguncang-guncang tubuh mungilku karena sedari tadi aku tak memberi respon.
“Salwa, Bi... Maafin Salsa, ini salah Salsa...”
“Iya, Salsa, tapi Salwa kenapa?! Di mana Salwa?!”
“Salwa terkunci di dalam rumah kosong, Bi... Hiks, hiks... Rumah kosong yang di depan rumah kita, Bi... Hiks...”
Secepat kilat Abi, dan Umi yang menggendongku menuju ke Rumah kosong itu kembali. Om Daniel tak sengaja melintas di depan rumah, lalu bertanya karena heran melihat kami yang berlarian.
“Eh, Za, La, kenapa? Kok, lari-larian? So sweet banget main lari-larian bareng bini!”
"Sosweet pala lu meleduk!” celetuk Umi kesal. “Ini anak gue yang satunya lagi terkunci di dalam Rumah setan, woy!”
“Ealah, buseeettt... Kok, bisa? Sini woy, gue bantuin dobrak!” Om Daniel dan Abi lantas mendobrak pintu itu sekuat tenaga. Dua kali dobrakkan, akhirnya pintu Rumah kosong itu terbuka.
Sesaat pintu terbuka, kami dibuat terkejut melihat sosok Salwa yang terkapar di lantai. Ia tak sadarkan diri dengan darah yang mengalir tepat di kening sebelah kanan. Umi berteriak histeris. Abi segera menghampiri tubuh mungil Salwa. Tangisanku semakin pecah. Ini semua salahku. Aku mengacaukan segalanya.
“Abi... Hiks, Abi maafin Salsa... Salsa gak sengaja, Bi... Salsa janji gak akan nakal lagi...” aku berusaha meraih tangannya, tapi dia malah menepis membuat hati mungilku perih.
Dia menatapku tajam. Tatapan yang tak akan pernah aku lupakan. Lalu, setelah itu dia berucap suatu hal yang membuat hatiku hancur sehancur hancurnya.
“Salsa, kenapa kamu selalu membuat hal yang merugikan orang banyak, huh? Abi bener-bener kecewa sama, kamu.” Abi berlalu pergi diikuti Om Daniel.
Aku menghambur ke dalam pelukan Umi. Aku menangis hebat di dalam pelukannya. Hanya Umi yang tak pernah menyakiti hati kecilku. “Umi... Abi jahat, Umi... Abi gak pernah sayang sama, Salsa. Salsa ini bukan anak Abi, kan? Salsa cuma anak Umi... Bukan anak Abi...”
“Nggak, sayang... Salsa juga anak Abi... Abi sayang kok, sama Salsa. Abi tadi gak sengaja, sayang. Dia gak bermaksud jahat kok, sama kamu.” Umi mengelus pelan rambutku. Umi menggendongku dalam pelukannya. Membawaku yang menangis menuju ke luar.
Tanpa sadar air mataku menetes mengingat kejadian kelam itu. Sudah tujuh tahun pristiwa itu berlalu, namun sampai sekarang aku belum mengerti kenapa Salwa bisa ditemukan dalam posisi mengerikan. Kepala berdarah tanpa adanya benda tajam yang mengenai, bukankah itu aneh?
Masa lalu kelam itu sudah sepantasnya aku lupakan. Lebih baik aku memikirkan masa sekarang, di mana kebanyakan cinta membodohi setiap manusia. Angin malam berhembus, mengenai permukaan kulitku. Langit sudah gelap gulita. Setiap orang seharusnya sudah menutup mata, tidak seperti diriku. Kedua mata ini tidak bisa di pejamkan. Terlebih suara gaduh yang berasal dari seberang Rumah, tepat di depan kamarku.
Aku berdiri di arah balkon kamar, menatap Rumah besar di hadapanku. Rumah yang dulunya kosong tak berpenghuni, dan sekarang sepertinya ingin di tempati. Rumah yang dulunya menjadi saksi bisu tragedi kelam di masa lampau.
Aku menyipitkan mata, berusaha menajamkan pandangan. Tiga buah mobil besar khusus mengangkut barang, berhenti di depan rumah besar itu. Rumah besar yang dulunya kumuh, kini sudah menjadi rumah yang bersih dan mewah. Akhirnya rumah itu di renovasi dan di tempati juga.
“Eh, itu bukannya Dwi, ya? Tuh, cowok siapa? Kok, kayak akrab banget sama Dwi?” monolog ku, menatap heran Dwi-teman sekelas, sebangku, dan tinggal satu Komplek denganku, tengah berbincang ria bersama seorang Lelaki?
Lelaki itu masih muda. Umurnya seperti masih setara denganku. Intinya masih remaja, di lihat dari raut wajahnya. Pandanganku yang sangat fokus menatap perbincangan mereka, tiba-tiba buyar dikarenakan kehadiran Umi.
“Hayo, lagi ngeliat apa?” jari telunjuk Umi mencolek pipiku.
Aku terperanjat kaget. “Eh, Umi, ngejutin! Untung Salsa gak ada riwayat penyakit jantung!”
Umi tertawa kecil. “Kan, ada Om Faisal sama Anaknya.”
“Tapi, Om Faisal dokter Bedah, Umi... Bukan dokter Jantung. Lagian Kakak Zee tahun ini baru Koas.”
Umi lantas tertawa lagi. Dia meraih tubuhku agar lebih dekat padanya. Lantas dari belakang dia melingkari tangannya. Memelukku erat. Kepalaku menyender ke arah pundaknya. Kami sama-sama menatap ke arah langit di atas balkon kamarku.
“Umi kenapa belum tidur?”
Umi beralih menatapku. “Seharusnya Umi yang tanya gitu sama, kamu. Kenapa anak sekolahan belum tidur jam segini? Besok kamu gak mau sekolah apa?”
“Gak bisa tidur, Umi. Orang pindahan ini berisik banget!” aku berusaha mengelak, tapi memang karena keributan ini juga yang tak bisa membuatku tidur.
“Oh, ada orang pindahan, ya? Kok, Umi baru tau?” Umi mengedarkan pandangannya ke bawah, di mana keluarga kecil itu sibuk menata barang. “Eh, itu bukannya Dwi?”
“Iya, Mi. Dwi aja belum tidur, tuh!”
“Loh, itu cowok yang lagi ngomong sama Dwi siapa? Bukannya Dwi itu... Pacarnya Tegar?” pertanyaan Umi sedari tadi aku balas dengan hendikkan bahu. Mana aku tahu mengenai itu. Besok pas sekolah saja, coba aku bertanya ke Dwi hal pasti dari semua ini.
°°°
Selesai sarapan, aku bergegas hendak pergi ke sekolah. Aku bergegas memakai sepatu, takutnya terlambat. Bayangkan saja, sekolahku jika terlambat lima menit pagar sekolah sudah di tutup. Meskipun anak yang melanggar keluarga Wijaya, Smith, ataupun Helvin, tetap saja peraturan adalah peraturan. Mengingat sekolah itu sekolah yang elite dan bergengsi. Anak-anak pejabat dari seluruh Indonesia maupun Asia semuanya bersekolah di sana. Terkadang di sana kami berbahasa Inggris khusus untuk satu hari. Itu wajib!
Seragam sekolah itu juga berbeda. Bukan putih abu-abu yang umumnya anak SMA Indonesia pakai, tetapi dua hari sekali sekolah itu memiliki pakaian berbeda. Hari Senin dan Selasa berwarna putih hitam. Hari rabu dan kamis berwarna hitam abu-abu.
Dan hari Jum’at Sabtu berwarna hitam merah ada sedikit campuran putih. Baju sekolah itu... Lebih mirip seperti baju sekolahan di Korea. Ya, kira-kira seperti itu. Bahkan hanya aku dan Salwa siswi yang berhijab. Selebihnya di larang. Kenapa kami di perbolehkan berhijab? Jika bukan karena embel-embel Wijaya Company, sudah pasti aku dan Salwa tak diperbolehkan berhijab di sekolah.
“Salsa, Abi udah nungguin kamu, tuh!” suara Umi menghentikan langkahku. Aku menoleh ke arah sumber suara, di mana Umi sibuk membereskan sarapan pagi. Di sebelah Umi, tampak Salwa yang menyalami Abi.
Menyalami Abi? Kebiasaan anak dan Ayah itu tak pernah aku lakukan. Semenjak pristiwa kelam itu, seinci pun kulit Abi tak pernah aku sentuh. Kami hidup satu atap, tapi tak pernah bertegur sapa.
“Gak, makasih, Umi. Salsa pergi bareng sama Dwi. Kalo nggak... Sama Yusuf aja. Salsa gak mau ganggu hubungan baik antara Ayah dan anak.” sengaja di bagian Ayah dan Anak terucap, aku tekan sedikit.
Dan itu berhasil. Secara bersamaan Abi dan Salwa menengok ke arahku. Abi dengan tatapan dingin seperti biasa yang ia pasang ketika menatapku, dan Salwa yang menatapku tak enak hati. Mungkin baginya sindiran ini sudah biasa ia dengar.
“Tapi, Nak... Kan, ada Abi...”
“Nggak usah—“
“Biarin aja dia.” sela Abi dingin, membuatku bungkam. Aku menatap dia yang melirikku dingin sekilas. “Terserah dia. Kalo dia inginnya begitu, jangan di kekang. Biarkan apa yang dia mau. Itu kan, yang selalu dia inginkan selama ini? Hidup. Bebas.”
Dua kata penekanan dari Abi barusan, membuatku tak berkutik. Tubuhku mendadak tak dapat digerakkan. Mulutku seolah terkunci. Kedua mataku terasa panas. Ada rasa sesak dalam d**a ini yang sulit aku ungkapkan.
“Eum, Salsa... Nak, kamu—“
“Salsa pergi dulu, Umi. Assalamu'alaikum.” secepat kilat aku menyalami tangan Umi, tanpa menatap Abi di sebelahnya. Tak ku salami tangan Lelaki itu. Aku berlalu pergi begitu saja, seolah sosok tegapnya tak ada.
“Wa'alaikumsallam... Hati-hati di jalan, Nak!”
°°°
Tin! Tin!
Suara klakson mobil mengagetkanku. Sebuah mobil sport berhenti tepat di depanku. Alisku saling bertautan, menatap heran pengemudi mobil itu. Yusuf Ivander Helvin. Tetanggaku, Anak kedua dari tante Nada dan Om Helvin, sekaligus... Cowok yang tak pernah lelah terus menerus mengejarku.
“Ngapain, lo?” tanyaku sinis.
“Jemput lo, lah! Mau ngapain lagi emang, selain jemput Princess.” kaca mata yang ia pasang, di bukanya. Sebentar ia merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Jujur, cowok ini tampan. Tapi, aku ini tipikal Wanita yang tak suka di kejar. Setampan apa pun itu cowok, aku tetap menolak.
“Gue kan belom bilang mau!” balasku lagi, memutar bola mata malas.
“Lo gak bisa nolak! Kalo gak dengan gue, lo pergi sama siapa, hm?”
“k*****t nih cowok! Maksa bener, dikira gue missqueen gak punya mobil!”
“Gue bisa pergi dengan Dwi!”
Yusuf berdecak samar. Ia menggeleng kepalanya pelan. Jari telunjuknya juga berotasi kiri dan kanan. “Dwi udah otw ke sekul lima menit yang lalu. You're late, Princess.”
Aku menatapnya jijik. “Gue tetep gak mau pergi dengan, lo! Gue bisa pergi sama Kakak, lo!”
“Kak Hawa udah pergi juga.” jawabnya penuh kesombongan. Ck! Aku tidak punya pilihan lain. “Gimana... Sepuluh menit lagi kita masuk, loh...” dia melirikku sekilas. Bibirnya tertarik membentuk senyuman.
Aku berdecak. “Yaudah, deh! Gue terpaksa, dan lo jangan geer!” aku berjalan mengentakkan kaki masuk ke dalam mobil. Mobil ini sport! Hanya ada dua kursi penumpang depan. Otomatis aku harus duduk bersebelahan dengannya. Mesin mobil berbunyi.
Di saat mobil ingin melaju, suara Tante Nada mengintruksi dari dalam rumah. Rumah mereka tepat bersebelahan dengan rumah kami. “Yusuuff... Kamu pergi dengan Salsa, yaa?!”
“Iya, Mommy...!” sahut Yusuf ikut berteriak. Ini cowok teriak di sebelah kuping aku. Dekat sekali dengan gendang telingaku. Untung tak pecah.
“Becarefull! Jangan macam-macam sama Salsa loh, ya! Ketahuan pegang-pegang anak perawan orang, Momy sunat lagi, kamu!”
Yusuf merinding. Melihat dia dimarahi ibunya membuatku tertawa. Sepertinya dia terlihat malu melihatku yang menertawainya. “Maklumin, ya? Lo tau sendiri mak gue, pas kecil mungkin gak sengaja nelen toa!”
°°°
Kami sampai di sekolah dua menit sebelum bel berbunyi. Kami berpisah di koridor penghubung kelas satu Ipa dan dua Ipa. Kami berdua beda kelas. Aku dan Dwi kelas 11 IPA 2. Yusuf dan Salwa kelas 11 IPA 1. Sementara Tegar 11 IPS 1. Sosok Dwi tidak aku temukan, begitu memasuki kelas. Bukannya dia datang lima menit lebih awal dariku? Seharusnya sudah sampai bukan? Kenapa belum?
Aku duduk di kursi di mana aku dan Dwi biasa duduk di kelas. Tempat duduk kami kebetulan berada paling depan, supaya aku bisa leluasa mencerna pelajaran. Tepat saat bel berbunyi, Dwi datang dengan napas terengah-engah.
“Kok lo dateng telat? Bukannya udah otw deluan, ya?” aku menatapnya sekilas. Mengingat dia yang meninggalkanku tadi pagi, jadinya membuat rasa kesal dalam diriku muncul.
“Eh, Sa... Maafin gue, ya? Lo jangan marah, gue tadi lupa bener. Gue kira lo udah pergi sama Bokap lo deluan, soalnya gue chat lo gak lo bales.” Dwi memegang pundakku. Dia duduk. Menatapku memelas.
Aku mengangguk setelah menarik napas panjang. “Iya-iya... It's, okay. Hp gue datanya gue matiin. Terus, kenapa lo bisa telat?”
“Di tilang polisi gue,”
“What?!” aku melotot. Menatapnya tak percaya dengan mulut yang menganga kecil. “Kok, bisa? Gimana ceritanya?”
Dwi menghendikkan bahu. “Gak tau juga. Dia tiba-tiba berhenti mobil gue, dan ya... Sekarang ada di kantor polisi.”
“Terus lo ke sini pakek apa?”
“Di antari ntuh polisi,”
“Waahh... Parah! Modus kali, tuh polisi.”
“Kayaknya,”
°°°
Selesai mata pelajaran Biologi, bel istirahat berbunyi. Semua anak dari mulai, satu, dua dan tiga berbondong-bondong menuju kantin. Termasuk aku dan Dwi.
“Sa, makan bakso, yuk! Lagi kepengen.”
“Lo ngidam?”
Pletak!
“Pala lo ngidam, Sumiati!” pukulan yang di berikan Dwi memang pelan, tapi lumayan sakit juga. Aku mengaduh kesakitan. Mengelus pelan kepalaku yang tertutup hijab.
Bugh!
Sudah kepala mungilku di pukul Dwi, malah sekarang menerima pukulan keras lagi dari sebuah bola basket. Aku berteriak kencang. Mencengkram kuat bola yang baru saja menimpuk kepalaku. Emosiku sudah menumpuk sempurna, siap untuk di lepaskan.
“Woy! Siapa yang maen bola basket! Hati-hati kalo maen, nimpuk pala gue, setan! Masih pagi udah mancing emosi orang!” celotehku panjang lebar, melebihi emak-emak kekurangan sembako.
Posisiku sekarang memang di lapangan basket. Tempat di mana semua orang bebas memainkan bola basket. Tak sepenuhnya Pria ini salah. Namun, arah kantin paling cepat melewati daerah ini. Dwi yang memaksa aku menuruti permintaannya. Aku hanya mengikuti ke mana arah dia membawaku.
“Sorry, gak sengaja.” seorang cowok menghampiri kami. Wajahnya asing di sini. Sepertinya dia anak baru, pasalnya baru kali ini aku melihat wajahnya.
“Eh, sorry-sorry... Bibir lo mirip Mpok Nory! Seenak cungur lo aja maen minta maaf! Gak bisa!”
Dia menghela napas malas-malasan. Apa-apaan! “Terus, gue harus apa? Ganti kepala lo yang ke timpuk?”
“Anjir... Bener-bener nyari mati nih cowok!”
“Wah, nantangin bener, lo!” selangkah lagi aku ingin mencakar wajah sok gantengnya, walaupun memang ganteng. Tetapi, Dwi segera menahanku.
“Salsa, udah, lah... Jangan di perpanjang!”
“Lah? Dia udah nimpuk pala gue, woy!”
“Tapi dia kan, udah minta maaf juga.” Dwi beralih menatap Cowok tadi. Seulas senyuman ia perlihatkan. kenapa dia malah tersenyum? Nanti ada Tegar lewat, malah cemburu. “Afiq... Maafin sahabat gue, ya? Dia emang emosian, tapi dia aslinya baik kok kalo lo kenal.”
Aku menatapnya heran, sebab dia tahu dari mana nama cowok ini. “Lo kenal sama nih cowok, Wik?”
“He'em... Ini loh, dia ini yang pindahan di depan rumah lo itu.” ah, iya... Keluarga pindahan tadi malam. Yang berisik sekali, sehingga aku sulit tidur. Aku hanya membalas dengan ber-o ria. Menatapnya acuh tak acuh.
“Lo kenalan, dong. Masa tetanggaan gak kenalan.” Dwi menaikkan turunkan dua alisnya. Kelakuan anehnya ini membuatku bingung. “Namanya Afiq. Afiq, ini Salsa. Dan Salsa, ini Afiq. Kalian itu rumahnya depanan banget, loh... Kamar lo, Salsa, balkonnya depanan ke balkon kamar Afiq, asal kalian tau.”
“Dan apa perduli gue?”
Astaghfirullah!
Kami tanpa di sengaja serempak bertanya. Aku melotot menatapnya. Begitu pun dia. Setelah itu, lagi-lagi secara bersamaan kami membuang muka. Dwi malah tertawa riang. Suaranya nyaring sekali.
“Huwaaa... Ngomongnya serempakkan! Jangan-jangan kalian jodoh! Kan, kebanyakan di film sama di dunia nyata, ada tuh yang namanya Jodoh Nextdoor! Nah, bisa jadi itu kalian!” Dwi bertepuk tangan heboh. “Gilak-gilak kalo sampe terjadi ini, mah!”
What the hell! Itu tidak mungkin! Berjodoh? Dengan Pria sejenis kadal seperti ini! Jangan sampai itu kejadiaaann... Sumpah demi apa pun, aku tidak akan rela dan tidak percaya dengan hal begituan. Jodoh dan cinta... Hal yang sangat tabu bagi diriku.
°°°
Bersambung...
PS: Cerita ini dulu berjudul "Jodoh Nextdoor" di w*****d. Setelah baca, jangan lupa beri dukungan dengan tekan tanda ❤. Terima kasih
Instagram Author: @nafla_cahya08