Bab 7

1175 Kata
“Itu syaratnya,” bisik Senja dengan senyum penuh arti. “Oke.” Morgan mengedikkan bahu. “Nggak terlalu buruk.” “Bagus. Kita mulai sejak hari ini.” “Nggak masalah.” “Kalau kamu bisa lakuin dengan baik, aku akan maafin kamu.” “Apaan cobak pake bisik-bisik? Nggak sopan lo bisik-bisik depan orang tua.” Entah apa yang terjadi dengan Langit hingga membuatnya penasaran dengan kalimat yang dibisikkan Senja. Dia curiga adiknya memiliki rencana yang bisa saja berujung melukai diri sendiri. Morgan adalah pria berbahaya. Sebisa mungkin Langit ingin semua keluarganya menghindari psikopat itu. “Rahasia!” tukas Senja membuat Langit semakin kesal. Morgan mengalihkan atensi pada pasangan paruh baya yang duduk di sofa. “Oh ya, aku juga mau minta maaf sama Om dan Tante. Aku sadar kesalahan aku terlalu besar dan aku siap kalau harus menjalani hukuman.” “Nah ini gue setuju. Lo emang harusnya mendekam di penjara buat nebus kesalahan lo.” Langit menyela. “Yah, sekarang juga gue siap.” Morgan bisa saja meminta bantuan orang-orang bawah tanah sahabat sang ayah untuk menyelamatkannya. Namun dia merasa harus bertanggung jawab. “Papa rasa semua sudah berakhir. Nggak perlu kita bawa masalah ini ke meja hijau.” “Ini nggak adil, Pa. Papa nggak ingat dia kurung Papa di penjara bawah tanah? Tiga tahun lebih loh, Pa. Itu bukan waktu yang singkat.” Tentu saja Langit tidak bisa membiarkan Morgan bebas begitu saja. Ia tidak bisa mengembalikan waktu yang terbuang bersama sang papa. Langit tidak bisa membayar tiap tetes air mata yang keluar dari netra sang mama karena berpikir papanya meninggal. “Papa tahu gimana gilanya kami karena mikir Papa udah nggak ada? Dan itu nggak bisa dibayar dengan kata maaf.” “Langit ... “ Panggilan sang mama membuat Langit mengalihkan tatapan. “Dengar, nggak semua kesalahan harus dibayar dengan hukuman.” “Tapi, Ma ....” “Morgan udah bayar dengan menyelamatkan Rindu,” timpal Lingga. “Itu nggak bisa diukur dengan apapun.” Yah. Itu yang Langit lupakan. Begitu besar kesalahan Morgan namun dibayar tuntas dengan menyelamatkan sang istri dari maut. Bukankah itu setimpal? Bagaimana jika hari itu Rindu yang terkena tembakan? Akankah ia sanggup menerima kemungkinan jika istrinya tidak bisa diselamatkan? Karena ketahanan fisik antara pria dan wanita itu berbeda. Morgan bisa bertahan belum tentu Rindu bisa melakukannya juga, bukan? Walau semua kembali pada takdir. Rindu mengusap lembut lengan sang suami. Berharap bisa mengurangi kegundahan hati pria itu. Ia tahu memaafkan kesalahan Morgan bukan hal mudah bagi Langit. Ditatapnya lekat netra yang terlihat marah itu sebelum membenamkan diri dalam rengkuhan sang suami. Membuat Langit memejamkan mata. Sejenak, suasana menjadi hening. Tidak ada yang ingin mengusik usaha Rindu menenangkan suaminya. Karena hanya pada Rindu iblis itu takluk. Beberapa menit berlalu, Rindu mengurai pelukan. Ditatapnya kembali netra yang terlihat lebih lembut, baru lah dia mulai berbicara. “Siapa korban sebenernya di sini?” tanyanya lembut. “Papa sama Senja adalah korban nyata tapi mereka dengan ikhlas memaafkan. Masa kita nggak?” Rindu membingkai wajah suaminya dengan senyum teduh. “Mas mau, ‘kan maafin Morgan buat aku?” Langit lemah. Jika sudah seperti ini tidak ada hal lain yang bisa dirinya lakukan selain mengalah. “Oke, gue nggak bakal bawa masalah ini ke ranah hukum. Tapi jaminan apa yang bisa lo kasih buat nggak bikin keluarga gue terancam?” tanyanya mengarahkan tatapan tajam pada Morgan. “Gue salah menyadari sesuatu. Itu yang bikin gue jadi jahat selama ini. Gue rasa, dengan pergi jauh dan nggak muncul lagi di depan kalian cukup bikin semua orang ngerasa aman.” “Kamu masih punya urusan sama aku jadi nggak bisa pergi gitu aja. Inget syarat yang aku ajuin barusan?” Senja membuka suara. Enak saja Morgan berniat pergi setelah menyetujui kesepakatan mereka. Morgan jadi serba salah. Sejujurnya dia ingin menghilang dari peradaban manusia dan bergabung bersama kawanan serigala bawah tanah. Namun jika tidak menuruti syarat yang Senja berikan, bagaimana caranya bertanggung jawab pada gadis itu? “Urusan apa lagi, Senja? Lo nggak kapok dijadiin mayat hidup sama dia?” “Lo tenang aja deh, Kak. Gue yakin kok, iblis ini udah tobat.” Langit menggeleng tak percaya. Tidak sang papa, mama, Senja, bahkan istrinya sendiri begitu mudah memaafkan. Lihat saja kalau sesuatu yang buruk terjadi lagi. “Yang pasti gue berterima kasih karena lo udah selametin istri gue.” Yang ini tulus. Meski seolah diucapkan dengan enggan karena setelah mengucapkannya, Langit memilih melipir ke luar ruangan. “Maafin Langit ya, Nak,” ungkap Rere tak enak hati. “Aku ngerti, Tante. Kalau ada di posisi Langit, aku juga akan lakuin hal yang sama.” Morgan tersenyum maklum. “Kalau gitu kami keluar dulu, silakan bicarakan urusan kalian berdua,” pamit Lingga membawa tangan sang istri mengikutinya. Pun dengan Rindu yang ikut melipir keluar setelah memberikan senyum penuh godaan pada sang sahabat sekaligus adik iparnya. “Apaan, deh, nggak kayak yang kamu pikir.” Protes itu membuat Rindu tergelak. “Ya udah si, ngapain juga protes,” timpal Morgan begitu semua orang pergi. “Aku nggak mau aja mereka mikir macem-macem.” “Kan kita emang mau macem-macem.” “Hih ... !!!” dorongnya kepala Morgan dengan jari telunjuk. “Nih otak m***m mulu isinya!” “m***m teriak mesum.” “Apa kamu bilang?” “Ngapain juga ngatain aku m***m. Emang apa yang kamu pikir?” “Nggak ada! Aku nggak m***m, ya,” sanggah Senja tidak terima. “Lagian, baru juga minta maaf udah kumat lagi.” “Iya, iya, minta maaf.” Morgan membawa tangan gadis itu yang terdiam di sisi ranjang kemudian mengecupnya. “Apaan lo, nyari kesempatan!” seru Senja menarik kasar tangannya, kesal. “Katanya jadi pacar.” “Pura-pura, Morgan! Gue tahu kuping lo masih normal buat denger yang gue bisikin!” Morgan terkekeh. Masih semenyenangkan itu ternyata dekat dengan gadis cantik ini. Dia khawatir lama-lama akan dibuat jatuh cinta sungguhan dengan segala tingkah ajaib Senja. “Tapi .... “ “Nggak ada tapi, kita tetep harus punya batesan,” potong Senja tak ingin mendengar protes Morgan. “Ngomong apa dibales apa.” Morgan memutar bola mata. “Emang apaan?” “Makanya dengerin dulu kalau ada orang ngomong.” “Oh ... aku lupa ternyata kamu manusia, selama ini aku pikir iblis, mirip soalnya.” Lagi, Morgan terkekeh. “Nggak usah ketawa! Lanjutin aja yang mau kamu omongin.” “Kenapa kamu mau aku jadi pacar pura-pura kamu?” “Biar nggak ada yang deketin aku.” “Dani?” “Jangan sotoy!” Senja melirik sengit. Terbaca, kah? Senja tidak pernah tahu bahwa diam-diam Morgan mengetahui hubungan mereka. Lupa jika pria itu pernah terobsesi untuk mendapatkan Senja? “Aku pernah jadi iblis pada jamannya,” kekeh Morgan. “Jamannya? Huh! Jaman kapan? Baru kemaren lo nyiksa gue.” “Maaf, Tuan putri. Janji, serius jadi pacar.” “PURA-PURA! Ya, PURA-PURA! Lo masih ngerti ‘kan bahasa manusia? Jangan pikir hanya karena luka tembak gue bakal ngira lo amnesia.” “Oke, kita liat akan seperti apa hubungan kita.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN